Konten dari Pengguna

Unsur Feminisme dalam Film Kim Ji-Young: Born 1982

Ladyna Chelsiandra
Mahasiswa Sastra Indonesia, Universitas Pamulang
17 Desember 2022 14:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ladyna Chelsiandra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Foto pribadi
ADVERTISEMENT
Pada kesempatan ini, saya akan mencoba memaparkan unsur feminisme yang ada di dalam film yang berasal dari Korea Selatan, yaitu "Kim Ji-Young: Born 1982". Film yang mengangkat tema feminisme ini ditayangkan pada tanggal 23 Oktober 2019, film ini merupakan sebuah adaptasi dari novel karya Cho Nam-Joo yang memiliki judul yang sama seperti judul filmnya tersebut.
ADVERTISEMENT
Sedikit cerita dari novel ini sangatlah berpengaruh sekali, khususnya pada ketidaksetaraan gender dan diskriminasi yang sering terjadi di negara Korea Selatan. Di Korea Selatan sendiri feminisme juga masih dianggap hal aneh oleh masyarakatnya. Novel ini juga tentunya sudah banyak sekali diterjemahkan ke dalam banyak bahasa, termasuk ke dalam bahasa Indonesia sendiri tentunya.
Film "Kim Ji-Young: Born 1982" menceritakan seorang istri dan ibu muda berusia 30-an yang bernama Ji Young (Jung Yu Mi) yang menikah dengan Dae Hyun (Gong Yoo) dalam film tersebut. Sebelum keduanya memutuskan untuk menikah, Kim Ji Young bekerja sebagai pegawai kantoran, tapi mau tidak mau ia harus berhenti bekerja untuk fokus mengurus keluarganya.
Dilihat sekilas memang hidup Ji Young sangat bahagia bersama sang suami dan anak perempuannya, akan tetapi banyak yang tidak tahu kalau Ji Young memendam apa yang dirinya rasakan, baik sebagai ibu, istri, wanita, anak perempuan, dan menantu. Karena untuk sampai saat ini budaya di Korea Selatan masih sangat menjunjung tinggi budaya patriarki seperti yang cerita dalam film tersebut.
ADVERTISEMENT
Rutinitas pada hari-hari Ji Young hanya itu-itu saja, seperti mengurus anak, rumah, mengurus suami tanpa libur satu hari pun membuatnya semakin depresi. Ji Young merasa dirinya mulai kelelahan dan merindukan masa-masa di mana sebelum dirinya menikah. Karena kegiatan yang itu-itu saja dan dirinya merasa tertekan oleh keadaan sekitarnya, membuat Ji Young perlahan mulai kehilangan jati dirinya.
Kadang emosinya seperti rollercoaster, kadang dirinya juga berbicara sendiri dan seolah berperan menjadi orang lain. Mungkin karena sifatnya seperti itu terus, hingga sang suami merasa ada yang tidak beres dengan istrinya. Pasalnya, dirinya seperti orang yang berbeda. Karena sangat khawatir, sang suami akhirnya bertemu dengan psikolog untuk mendiskusikan keadaan istrinya.
Sebelum dijadikan film, novel ini sudah banyak kontroversi di negara Korea Selatan. Karena para pembaca khususnya para laki-laki menganggap bahwa buku ini seperti menggambarkan laki-laki sebagai makhluk penindas, dan mereka berpendapat bahwa mereka juga memiliki nasib yang sama. Mungkin karena adanya peraturan soal wajib militer yang telah diterapkan pemerintahnya.
ADVERTISEMENT
Menurut saya penggambaran Cho Nam-Joo selaku pengarang pada novel atau film tersebut sudah pas, dengan negara yang sangat menjunjung budaya patriarki. Ji Young selaku perempuan dihadapkan dengan berbagai bentuk diskriminasi, ketidakadilan gender, penindasan di lingkungan pekerjaan, lingkungan umum, bahkan di lingkungan keluarga sekalipun. Meski keadaan Ji Young sangat membuat tertekan, tetapi dirinya masih bertahan sampai akhir.
Dalam lingkungan keluarga Ji Young juga masih kental dengan budaya patriarki, dan salah satu contohnya yaitu, saat ibu Ji Young meminta maaf kepada mertuanya. Karena telah melahirkan seorang anak perempuan bukannya anak laki-laki, menurut mertuanya saat dewasa nanti anak laki-laki lebih menguntungkan dari pada anak perempuan. Karena mereka bisa mendapat pekerjaan yang lebih baik, dan nasibnya akan lebih beruntung dari anak perempuan.
ADVERTISEMENT
Dalam lingkungan keluarga sang suami, Ji Young juga mendapatkan perlakuan yang sangat tidak pantas, dan terkesan menyudutkan seorang perempuan. Saat Ji Young membantu mertuanya di dapur, sang suami juga ikut membantu mencuci piring dan Ji Young mulai panik karena disindir oleh ibu mertuanya tentang keberuntungannya mendapat suami seperti anaknya yang rela turun ke dapur.
Dari situ pula kesabaran Ji Young semakin menipis, karena sang mertua sangat jelas menunjukkan rasa ketidaksukaan terhadap dirinya. Ji Young mulai menegur mertua dengan nada tinggi, tentang statusnya selama ini yang seperti itu. Tidak hanya di lingkungan keluarganya dan suaminya saja, Ji Young juga mendapatkan perlakuan yang tidak pantas dan tidak layak dari lingkungan sekitarnya.
Kemudian ada beberapa orang yang menyindir Ji Young karena bersantai sambil meminum kopi dengan gaji suami, terkesan seperti menjadi seorang ibu itu tidak melakukan hal yang berarti, padahal dalam sehari dirinya bahkan kurang istirahat. Saya tidak tahu apakah cerita yang ditulis Cho Nam-Joo itu pengalaman pribadi atau hanya karangan saja. Tapi yang pasti permasalahan yang ada di dalam film ini sangat menggambarkan keadaan sesungguhnya di kehidupan nyata, baik di negara Korea Selatan maupun di negara Indonesia.
ADVERTISEMENT
Jadi dari film ini kita dapat belajar tentang penerapan rasa empati secara mendasar, tentunya bukan berempati kepada laki-laki saja yang sebagai kepala keluarga, melainkan pada peran wanita sebagai ibu rumah tangga yang pekerjaannya tidak ada habisnya. Kita tidak pernah tahu apa yang telah mereka lalui di hidup ini, jadi jangan menjadi manusia egois dan hargailah setiap pencapaian orang lain.