news-card-video
21 Ramadhan 1446 HJumat, 21 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Drama Skincare: Perempuan Bertarung, Kapitalisme Menang!

Laili Zailani
Ibu Rumah Tangga, Pendiri HAPSARI (Himpunan Serikat Perempuan Indonesia), dan Fellow Ashoka (Indonesia, 2000)
20 Maret 2025 18:16 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Laili Zailani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi gambar dibantu AI (dok.pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gambar dibantu AI (dok.pribadi)
ADVERTISEMENT
Skincare itu, Mak, ibarat kamera jahat di Android: hasilnya glowing, tapi penuh filter. Aslinya? Ya entahlah... Tapi, meski semua orang tahu itu tipu-tipu, tetap saja banyak yang terjebak dalam ilusi ini—terutama perempuan.
ADVERTISEMENT
Tidak heran, industri kecantikan Indonesia bernilai sekitar $7 miliar dan diproyeksikan mencapai $10 miliar pada 2027, didorong oleh pertumbuhan ekonomi serta meningkatnya permintaan akan produk perawatan kulit lokal. Pasar kecantikan ini terus berkembang pesat, mencerminkan bagaimana standar kecantikan yang diciptakan industri mampu menggerakkan konsumsi secara masif dan berkelanjutan (east.vc).
Kenapa? Karena patriarki dan kapitalisme bekerja sama dalam proyek besar mengontrol tubuh perempuan, dengan menciptakan standar kecantikan yang memperdaya. Kecantikan bukan lagi sekadar perawatan diri, tapi alat kontrol yang nyaris sempurna atas tubuh perempuan. Dari iklan sampai algoritma media sosial, semuanya didesain agar perempuan merasa selalu kurang—kulit kurang putih, tubuh kurang ideal, wajah kurang glowing. Dan di ujung permainan ini, apa yang bisa dijual cepat? Skincare!
ADVERTISEMENT
Menjual Keresahan, Menawarkan Ilusi
Industri skincare itu punya jurus maut, Mak! Jual ketakutan, tawarkan solusi. Mereka paham betul bahwa satu jerawat bisa bikin perempuan uring-uringan, bahwa noda hitam sekecil tahi lalat bisa menciptakan krisis eksistensial. Apalagi flek cokelat bernama melasma yang membuat perempuan di atas empat puluh tahun mulai resah, tidak percaya diri.
Maka datanglah mereka, membawa krim pencerah, serum anti-aging, toner ajaib—semua dikemas dengan janji manis.
"Whitening dalam 3 hari!"
"Glowing dalam seminggu!"
"Bebas kerutan dalam 7 hari!"
Kenyataannya? Kalau benar bisa whitening dalam 3 hari, harusnya kita semua sudah jadi bule dari dulu, kan?
Dan kita tertipu berjamaah. Mungkin kita tahu ini tipu-tipu, tapi ya sudahlah, asal muka tetap kinclong di kamera depan. Maklum, iklan gencar, testimoni palsu, dan endorsement artis yang kulitnya memang sudah kinclong dari lahir membuat kita lupa satu hal penting: keajaiban biasanya hanya ada di iklan.
ADVERTISEMENT
Seorang teman saya pernah cerita, dia rela ngutang pakai PayLater demi serum anti-aging harga jutaan. “Biar wajah muda, meskipun cicilan tua,” katanya. Dan lucunya, dia tetap stres karena flek di pipinya nggak juga hilang meski sudah dua botol. Tapi, seperti pelanggan skincare yang taat, dia tetap percaya mungkin kurang rajin pakai. Atau kurang ikhlas berdoa? Jadi, ya, tetap beli lagi. Ngutang lagi.
Menurut laporan VOI.id, industri kecantikan di Indonesia diperkirakan mencapai Rp146 triliun pada 2024 (VOI.id). Segmen produk anti-aging terus berkembang, dengan berbagai produk seperti krim, serum, dan losion yang semakin menjadi bagian dari rutinitas perawatan kulit (Halodoc). Industri ini terus berkembang pesat karena bisnis paling menguntungkan adalah menjual solusi untuk masalah yang mereka ciptakan sendiri.
ADVERTISEMENT
Perempuan dalam Jebakan Skincare Overclaim
Standar kecantikan ini bukan hanya menguntungkan para kapitalis besar, tapi juga memberi peluang bagi siapa saja yang punya modal untuk ikut bermain. Termasuk para artis. Bisnis skincare menjadi ladang uang baru. Mereka bukan sekadar korban sistem, tapi juga pemain yang turut memperkuatnya.
Belakangan, media dipenuhi dengan perseteruan artis—seperti Nikita Mirzani yang akhirnya berujung ke penjara. Apa yang diperdebatkan? Lagi-lagi soal kecantikan: skincare! Tentang overclaim.
Seolah-olah, urusan krim wajah lebih penting daripada isu gaji buruh atau RUU Pekerja Rumah Tangga yang tak kunjung disahkan. Netizen pun berbondong-bondong menjadi hakim kecantikan, mendebatkan skincare siapa yang lebih ‘asli, natural’ dan skincare siapa yang ‘abal-abal’. Seakan-akan kalau bisa memenangkan argumen ini, mereka akan langsung diangkat jadi ambassador skincare dari brand ternama.
ADVERTISEMENT
Ini bukan sekadar drama selebriti yang sedang viral, dan akan panjang daftar pemainnya seperti episode sinetron televisi swasta Indonesia. Melainkan cerminan dari bagaimana industri kecantikan bekerja. Figur publik mengambil keuntungan dengan menjual impian kulit sempurna lewat endorsement, mempromosikan produk yang sering kali overclaim, bahkan meluncurkan brand skincare sendiri. Namun, meskipun mereka tampak berada di atas, mereka tetaplah bagian dari sistem yang dirancang untuk menempatkan perempuan dalam posisi rentan.
Mirisnya, mereka berkelahi bukan hanya karena rivalitas pribadi, tetapi karena sistem ini memang dirancang agar perempuan saling bersaing, saling menjatuhkan, dan tetap terjebak dalam ketidakpuasan. Namun, tetap saja, pemenangnya bukan mereka—melainkan patriarki dan kapitalisme.
Bagaimana caranya kapitalisme memastikan mereka tidak benar-benar menang? Dengan memastikan kita, perempuan-perempuan biasa, tetap duduk manis di depan layar android, menikmati drama mereka.
ADVERTISEMENT
Isi paket data, menonton dengan antusias, menjadi netizen yang sibuk scroll sana-sini, hanya untuk memastikan perkembangan kasus perseteruan antar artis yang berjualan skincare. Dan setiap klik, setiap detik waktu yang kita habiskan untuk menonton siaran mereka di media sosial, adalah sumber cuan berikutnya bagi mereka.
Dan selama kita sibuk dengan semua ini, mereka terus meraup keuntungan tanpa perlu repot-repot bertarung.
Apakah kita akan terus terjebak dalam siklus ini? Jangan la. Kapitalisme telah lama berkolaborasi dengan patriarki dan mendikte standar kecantikan: menekan, membandingkan, dan mengadu kita satu sama lain. Mereka selalu punya cara baru menjual ketidakpercayaan diri perempuan.
Kita memang perlu merawat diri, tapi tak perlu tunduk pada standar mereka. Kita bisa tampil cantik tanpa perlu merasa kurang setiap saat. Kita bisa menjadi diri sendiri, tanpa terus dipaksa membeli ilusi.
ADVERTISEMENT
Jadi, Mak, kapan kita mulai mendikte kecantikan kita sendiri? Atau tetap setia cari serum ajaib yang bikin wajah glowing, tapi dompet makin kusem?***