Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Perempuan Menolak Militerisasi Anak Sekolah Atas Nama Disiplin
1 Mei 2025 14:53 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Laili Zailani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Menuju bulan Mei, menyongsong Hari Pendidikan Nasional. Tapi di banyak dapur rumah-rumah kami yang sempit, api keresahan lebih dulu menyala. Sebab beberapa hari terakhir, kami—para ibu dari komunitas perempuan akar rumput: HAPSARI—Himpunan Serikat Perempuan Indonesia, mendengar satu wacana yang mengusik nurani: anak-anak SMA/SMK yang “nakal” akan dikirim ke barak militer.
ADVERTISEMENT
Pendidikan: Ruang Tumbuh, Bukan Barak Pelatihan
Ngeri! Bukan hanya karena anak-anak kami yang akan jadi sasaran, tetapi juga karena bangsa ini seolah lupa bahwa pendidikan bukan instrumen kekuasaan. Pendidikan adalah ruang tumbuh anak manusia, bukan barak pelatihan.
Apa yang diusulkan Dedi Mulyadi—pejabat yang mengusulkan wajib militer bagi pelajar—bukan sekadar ide yang keliru. Pandangannya menganggap kedisiplinan bisa dipaksakan melalui baris-berbaris, bahwa ketundukan lebih penting daripada kesadaran, bahwa ketakutan lebih efektif dari pengertian.
Kami setuju dengan Imparsial: TNI bukan lembaga pendidikan. TNI dibentuk untuk pertahanan negara, bukan untuk mengurusi anak-anak remaja yang sedang belajar mengenal dirinya. Militerisasi pendidikan akan mengacaukan peran kedua lembaga ini, dan yang paling berbahaya adalah dampaknya bagi anak-anak kami.
ADVERTISEMENT
PP Pergunu juga menegaskan bahwa pendidikan dan militer memiliki sistem nilai yang berbeda. Memaksa keduanya bersatu hanya karena anak-anak dianggap “bermasalah” akan merusak fondasi pendidikan itu sendiri. Kami tidak membutuhkan pendekatan yang berfokus pada hukuman, tetapi empati.
Menteri Pertahanan, Sjafrie Sjamsoeddin, mengatakan, “boleh saja,” asal bukan untuk latihan militer. Namun, kami ingin menegaskan: ini bukan soal ‘boleh’ atau ‘tidak boleh’. Ini soal bagaimana negara memandang anak-anak kami—sebagai manusia yang membutuhkan bimbingan, bukan sebagai masalah yang harus dikendalikan.
Pendekatan militer, meski “hanya” untuk disiplin, tetap berbahaya. Karena ia membawa nilai dasar yang bertolak belakang dengan prinsip pendidikan: tunduk, patuh, diam. Disiplin yang ditanam bukan kesadaran, melainkan rasa takut. Ini bukan pembentukan karakter, ini pembentukan trauma.
ADVERTISEMENT
Seperti yang dikatakan oleh Alfie Kohn dalam bukunya Punished by Rewards, "Hukuman dan disiplin yang mengandalkan ketakutan menciptakan anak-anak yang patuh, bukan anak-anak yang berpikir atau yang berperilaku dengan kesadaran moral" (Alfie Kohn, Punished by Rewards). Pendekatan semacam ini, termasuk disiplin militer, berpotensi menghasilkan anak-anak yang tunduk tanpa pemahaman, yang lebih takut daripada sadar.
Pendidikan Tanpa Hukuman: Melihat Contoh Negara Lain
Dan kami menolak narasi yang membandingkan pendekatan ini dengan praktik “wajib militer” di negara lain. Karena faktanya, negara-negara maju justru menempatkan anak-anak mereka dalam sistem pendidikan yang paling manusiawi dan empatik.
Di negara-negara maju seperti Finlandia, Selandia Baru, dan Denmark, pendidikan berfokus pada empati dan pengertian. Di Finlandia, anak-anak tidak diberi hukuman atau ujian nasional. Mereka dibimbing dengan kepercayaan, bukan kontrol. Di Selandia Baru, jika seorang siswa bermasalah, mereka diajak berbicara dalam lingkaran untuk memulihkan keadaan. Sementara di Denmark, empati adalah bagian dari kurikulum, mengajarkan anak mengenali perasaan diri dan orang lain. Semua negara ini menunjukkan bahwa anak-anak berkembang melalui kasih sayang, bukan ketakutan atau disiplin militer.
ADVERTISEMENT
Sementara kita di Indonesia, masih mengira bahwa “latihan baris-berbaris” akan menyelesaikan persoalan struktural dalam dunia pendidikan kita.
Solusi yang Membutuhkan Dukungan, Bukan Militerisasi
Kami yang tinggal di kampung, yang tiap hari bekerja sebagai petani, buruh tani, buruh perkebunan, nelayan, atau pedagang dengan warung kecil, kami sadar bahwa anak-anak kami tidak sempurna. Tapi mereka bukan kriminal. Mereka butuh pendidikan yang berpihak, bukan penjara berkamuflase.
Kenakalan remaja bukan penyakit yang bisa disembuhkan dengan disiplin militer. Ia adalah gejala dari ketimpangan struktural: kemiskinan, keterbatasan akses pendidikan, ketidakhadiran negara dalam layanan psikososial, bahkan kekerasan yang dibungkam di dalam rumah.
Solusinya bukan barak, tapi dukungan nyata: guru yang cukup, konselor di sekolah, komunitas yang peduli. Seperti yang dikatakan James W. Coleman dalam bukunya Social Capital in the Creation of Human Capital, "Akses yang terbatas terhadap pendidikan berkualitas dan layanan psikososial menciptakan ketimpangan yang merugikan perkembangan remaja. Solusi terhadap masalah ini harus melibatkan penguatan dukungan sosial dan pendidikan, bukan hukuman atau disiplin militer." (James W. Coleman, Social Capital in the Creation of Human Capital)
ADVERTISEMENT
Penutup
Hari Pendidikan Nasional adalah momen untuk refleksi. Jika sistem pendidikan gagal, yang perlu diperbaiki adalah sistemnya, bukan anak-anaknya. Kami menolak militerisasi pendidikan; pendidikan harus membebaskan, bukan menundukkan.***