Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Refleksi Hari Kartini: Dari Perempuan Akar Rumput di Kebun Sawit
20 April 2025 11:16 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Laili Zailani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Kata-kata R.A. Kartini ini terasa dekat saat saya duduk melingkar bersama perempuan komunitas petani sawit, di halaman rumah mereka yang sederhana. Di sana, kesetaraan gender bukan sekadar slogan, tapi perjuangan sehari-hari—siapa yang memutuskan uang hasil panen, siapa bangun paling pagi, dan siapa yang selalu luput disebut meski ikut bekerja di kebun.
ADVERTISEMENT
Identitas yang Membatasi
Menjadi "istri petani" bukan sekadar status, tapi identitas yang membatasi. Perspektif feminisme materialis menyebut ini sebagai invisible labor—kerja tak terlihat yang menopang segalanya: membersihkan kebun, mengatur pengeluaran, mengasuh anak—namun tetap dianggap tidak produktif karena tanpa upah.
Dan dalam sistem yang mengandalkan kerja tak dibayar itu, perempuan tetap berada di pinggiran—baik secara ekonomi maupun simbolik.
Seperti ditulis Mariarosa Dalla Costa dan Selma James dalam The Power of Women and the Subversion of the Community (1972): “Women’s unpaid labor in the home is the foundation upon which wage labor and the economy are built.” Artinya, tanpa kerja perempuan di rumah, roda ekonomi tak akan berputar.
Di tengah kebun sawit dan semak-semak, kutipan itu menjadi nyata: tanpa kerja perempuan, kebun tak rapi, anak-anak tak sekolah, tak ada nasi di meja, rumah tangga tak berjalan. Di komunitas petani sawit, mereka menjaga kebun tetap produktif, memastikan anak-anak sekolah, makanan tersaji, pakaian bersih, dan rumah terurus—semua tanpa upah, dan sering kali tanpa penghargaan.
ADVERTISEMENT
GESI: Ruang Baru Kesadaran Gender
Pelatihan Gender Equality and Social Inclusion (GESI) dan Dialog Rumah Tangga yang dijalankan HAPSARI bersama SNV—lembaga pembangunan asal Belanda dalam proyek HORAS Hub di Sumatera Utara—membuka ruang baru bagi kesadaran gender.
Sangat menantang memulai program ini. Kami mengajak petani sawit, pasangannya, dan anak-anak mereka dalam pertemuan di Balai Desa. Tapi lebih sering duduk di atas tikar, di halaman rumah di bawah pohon yang rindang, kadang di tengah suhu udara yang panasnya minta ampun!
Mereka saling mendengar, sesekali saling melempar senyum. Ini pertama kali mereka duduk bersama dan mulai bertanya: siapa yang mengatur ekonomi rumah tangga, siapa yang mencuci piring saat istrinya membersihkan kebun, dan kapan anak laki-laki ikut membersihkan rumah?
ADVERTISEMENT
Di sinilah kesetaraan mulai menemukan bentuknya—dari percakapan ringan setelah bikin kopi. Seorang bapak petani yang sudah lansia bilang, "Dulu semua orang berfikir, masak itu kerjaan perempuan. Sekarang saya tahu, kita bisa kerjasama. Saya mau anak-anak laki-laki saya mendengar dan mempraktikkan ini."
Kesadaran Dimulai dari Rumah
Lewat dialog rumah tangga, perubahan mulai terasa. Seorang ibu, misalnya, berbagi cerita tentang bagaimana suaminya—yang dulu sepenuhnya menyerahkan urusan rumah padanya—kini mulai terlibat. Sepulang dari kebun sawit, sang suami ikut membersihkan rumah. Bukan sebagai bantuan, tapi sebagai bagian dari tanggung jawab bersama.
Perubahan kecil ini tampak sepele, tapi berdampak besar. Ia menggeser dinamika kekuasaan dalam rumah tangga: dari relasi yang mendominasi menjadi kerjasama. Saling menghargai—dimulai dari kesediaan untuk mendengar dan berubah.
ADVERTISEMENT
Seperti yang dikatakan Silvia Federici dalam bukunya Revolution at Point Zero: Housework, Reproduction, and Feminist Struggle (2012): "The reorganization of domestic work is essential to the transformation of society." Artinya, jika kita ingin mengubah masyarakat, kita harus mulai dari bagaimana kerja dibagi di rumah.
Laki-Laki dan Beban Sosial Maskulinitas
Pendekatan ini juga menantang bentuk maskulinitas lama yang menuntut laki-laki selalu dominan dan tidak emosional. Dalam Dialog Rumah Tangga, kami melihat mereka mulai melepaskan beban itu: mulai mendengar, bertanya, dan mengakui kerja domestik bukan hanya urusan perempuan.
Seorang peserta laki-laki bilang, "Dulu saya pikir laki-laki yang ngatur rumah tangga, gak boleh dibantah. Sekarang saya sadar, jadi suami itu berarti berbagi tanggung jawab."
ADVERTISEMENT
Karena itu, membongkar maskulinitas bukan hanya soal teori, tapi soal membebaskan semua pihak—termasuk laki-laki sendiri. Raewyn Connell menyebut maskulinitas hegemonik tak hanya menindas perempuan, tapi juga mengekang laki-laki sendiri. Saat laki-laki terlibat dalam proses pembebasan ini, kesetaraan menjadi perjuangan bersama.
Tentu, perjuangan kesetaraan di komunitas petani sawit ini tidak mudah. Norma sosial yang diwariskan dalam kultur patriarkal masih kuat: bahwa perempuan sebaiknya “di belakang saja.”
Penutup: Menghidupkan Kartini dari Akar Rumput
Lewat pendekatan komunitas, kesadaran mulai tumbuh. Bukan lewat ceramah, tapi dialog di dapur, dan halaman rumah. Perubahan pun muncul: bapak menyapu, anak laki-laki bantu kakak, ibu-ibu bersuara di rapat desa.
Seperti kata seorang kader perempuan—penyintas kekerasan dalam rumah tangga—dengan tangan gemetar tapi mata berbinar, “Ternyata kita bisa, ya...”
ADVERTISEMENT
Di sini, Kartini tak hanya hadir dalam buku sejarah, tapi dalam langkah-langkah kecil perempuan yang bangkit di tengah sawit, menyapu patriarki dari lantai rumah mereka sendiri.
Selamat Hari Kartini! Dari perempuan akar rumput, untuk dunia yang lebih setara.***