Konten dari Pengguna

Relasi Kuasa, Akar dari Kekerasan yang Tak Terlihat

Laili Zailani
Ibu Rumah Tangga, Pendiri HAPSARI (Himpunan Serikat Perempuan Indonesia), dan Fellow Ashoka Indonesia, (tahun 2000)
14 April 2025 15:36 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Laili Zailani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Gambar dibantu AI (Dok.pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Gambar dibantu AI (Dok.pribadi)
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini, publik ramai membicarakan isu perselingkuhan yang menyeret nama Ridwan Kamil. Di tengah sorotan itu, Atalia Praratya—istrinya—muncul dalam konferensi pers.
ADVERTISEMENT
Namun yang menarik, ia tidak bicara soal rumah tangganya, melainkan mengangkat isu yang jauh lebih besar: kekerasan seksual dan relasi kuasa. Dalam pernyataannya, Atalia menyebut: “Banyak kasus kekerasan seksual terjadi karena adanya relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban,” ujarnya.
Pernyataan itu terasa kuat. Di tengah badai kehidupan pribadinya, ia justru menyuarakan realitas yang selama ini kerap disisihkan: bahwa kekerasan seksual tumbuh subur dalam sistem yang timpang dan bias kuasa.
Relasi Kuasa dalam Kehidupan Sehari-hari
Relasi kuasa bukan sekadar soal jabatan atau status sosial, melainkan bagaimana kekuasaan digunakan—untuk mengontrol, memanipulasi, bahkan membungkam yang lebih lemah. Ketimpangan ini memungkinkan pelaku bertindak tanpa takut konsekuensi—mengatur narasi dan melemahkan suara korban.
Secara konseptual, relasi kuasa merujuk pada pola hubungan yang tidak setara antara dua pihak, di mana satu pihak memiliki kemampuan lebih besar untuk memengaruhi atau mengendalikan pihak lain—baik melalui jabatan, akses terhadap informasi, norma budaya, hingga kekuatan simbolik (Foucault, 1977; Bourdieu, 1991).
ADVERTISEMENT
Di lingkungan pendidikan, institusi kesehatan, atau tempat kerja, relasi yang tidak setara ini menciptakan ruang di mana kekerasan seksual bisa terjadi dengan mudah. Hal ini semakin kompleks ketika perempuan secara historis dan struktural telah ditempatkan dalam posisi subordinat, menjadikan tubuh dan suara mereka lebih rentan dikendalikan.
Memahami Relasi Kuasa Secara Sistemik
Dalam kerangka feminisme, relasi kuasa dipahami sebagai struktur sosial yang sistemik, di mana dominasi laki-laki atas perempuan dibentuk dan dipertahankan oleh norma budaya, hukum, dan institusi. Sebagaimana dikatakan oleh Bell Hooks, “Patriarchy has no gender.” Pernyataan ini menyoroti bahwa sistem patriarki tidak hanya dijalankan oleh laki-laki, tetapi juga dapat direproduksi oleh siapa saja yang mendapat keuntungan dari ketimpangan kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Filsuf feminis Simone de Beauvoir pernah menulis, “One is not born, but rather becomes, a woman.” Kutipan ini menunjukkan bahwa peran gender dibentuk oleh konstruksi sosial yang menempatkan perempuan dalam posisi inferior, termasuk dalam relasi kuasa yang timpang.
Sementara itu, Judith Butler berargumen bahwa identitas gender itu sendiri adalah performatif — artinya, ia dikonstruksi dan dipelihara melalui tindakan dan relasi sehari-hari. Dalam konteks kekerasan seksual, ini menunjukkan bahwa relasi kuasa tak hanya hadir dalam struktur formal, tetapi juga tertanam dalam interaksi paling sederhana sekalipun.
Ketakutan, Diam, dan Kekuasaan yang Membungkam Korban
Ketakutan, tekanan sosial, hingga potensi retaliasi—balas dendam, menjadi tembok tinggi yang menghalangi korban untuk mencari keadilan. Pelaku yang memiliki posisi lebih tinggi atau pengaruh sosial lebih besar sering kali dapat memutarbalikkan narasi, memperburuk situasi korban, dan bahkan lolos dari jerat hukum.
ADVERTISEMENT
Pernyataan Atalia Praratya bahwa ini adalah fenomena gunung es menjadi pengingat penting:
“Kasus-kasus kekerasan seksual sangat marak terjadi dan muncul ke permukaan. Kita tahu bahwa ini fenomena gunung es, yang muncul adalah mereka-mereka yang berani speak up.”
Ketimpangan Relasi Kuasa Bukan Sekadar Dugaan
Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2024 menunjukkan bahwa sekitar 60 persen korban kekerasan seksual memilih untuk tidak melapor. Ketimpangan relasi kuasa menjadi salah satu faktor utama di balik kebungkaman ini—korban kerap menghadapi ketakutan, ancaman, hingga intimidasi dari pelaku yang memiliki posisi dominan.
Temuan ini menegaskan bahwa kekerasan seksual bukan hanya persoalan tindakan individu, tetapi juga bagian dari struktur kekuasaan yang membungkam. Mengatasi relasi kuasa yang timpang tidak cukup dengan respons individual.
ADVERTISEMENT
Dibutuhkan perubahan sistemik melalui tiga langkah utama. Pertama, dibutuhkan reformasi institusional yang menjamin proses pelaporan yang aman dan berpihak pada korban, dengan aparatur yang benar-benar memahami dinamika kekuasaan. Kedua, kesadaran kritis perlu ditanamkan sejak dini melalui pendidikan kesetaraan yang mendorong pemahaman tentang batas, persetujuan, dan relasi yang adil. Ketiga, akuntabilitas lembaga dan para pemimpin—agar kekuasaan tidak dibiarkan bekerja dalam ruang gelap tanpa kontrol.
Penutup
Kesadaran terhadap dampak relasi kuasa bukan beban korban atau aktivis semata, tapi tanggung jawab kolektif. Hanya dengan membongkar struktur timpang, kita bisa menciptakan ruang yang aman dan adil bagi semua.
Mari kita mulai dengan mendengar, memercayai, dan berdiri bersama mereka yang selama ini dibungkam.***