Keadaan Membuat Skeptis dengan Pandemi, Bukan Konspirasi

Latief Fadhlan
Mahasiswa aktif Ilmu Komunikasi UPN "Veteran" Yogyakarta yang gemar fotografi dan berkelana
Konten dari Pengguna
15 Juli 2021 18:49 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Latief Fadhlan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Driver ojek online yang sedang mengantarkan pesananan. (Sumber: Latief Fadhlan)
zoom-in-whitePerbesar
Driver ojek online yang sedang mengantarkan pesananan. (Sumber: Latief Fadhlan)
ADVERTISEMENT
Sudah tak terasa Virus Corona di Indonesia berumur lebih dari setahun. Bukannya mereda tetapi semakin menjadi-jadi. Hingga saat ini pandemi belum menemukan babak akhir. Pastinya dari semua orang bertanya-tanya kapan hal ini dapat berakhir. Mungkin sudah cukup bosan dengan kegiatan yang melulu dibatasi dan merasa takut kena patroli polisi.
ADVERTISEMENT
Hal ini paling dirasakan oleh teman-teman kita yang selalu bekerja di luar ruangan. Mereka yang menjadikan jalanan sebagai ladang rezeki namun dibajak oleh keadaan sekarang ini. Apalagi tak sedikit juga yang pekerja kantoran pun harus meminum pil pahit akibat mendapat PHK dari kantornya.
Pengalaman pribadi, saya pernah terkena COVID-19, saat itu saya kembali dari luar kota karena sedang membantu saudara bekerja. Kemudian selama lebih dari dua minggu saya melakukan isolasi mandiri di kampus. Kebetulan kampus saya, UPN "Veteran" Yogyakarta menyediakan tempat khusus karantina untuk para mahasiswa, karyawan hingga dosen yang terpapar COVID-19.
Banyak cerita serta pengalaman yang didapatkan. Salah satunya cerita pilu ketika memesan makanan melalui aplikasi ojek online. Selama isolasi mandiri, saya menyediakan tempat khusus di halaman depan untuk para driver meletakkan pesanan yang dipesan supaya tidak ada kontak fisik.
Warga yang menggunakan masker melintasi mural yang berisi pesan waspada penyebaran virus Corona di kawasan Tebet, Jakarta. Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/REUTERS
Namun, dari banyaknya saya memesan makanan selama isolasi mandiri, ada salah satu driver yang berani mendekati saya. Dia menolak meletakkan pesanan di tempat yang sudah disediakan. Sempat saya tegur, namun dia langsung lantang mengatakan tidak percaya COVID-19.
ADVERTISEMENT
Mendengar hal itu cukup kaget dan lebih memilih sedikit menghindari kontak fisik, dengan alasan kasihan jika dia terkena COVID-19 karena saya. Karena penasaran, saya mencoba bertanya alasan mengapa dia berkata seperti itu. Jawaban yang dia lontarkan cukup membuat saya iba.
Orang dengan berjaket hijau itupun bercerita bahwa ibunya sempat jatuh di kamar mandi, namun saat dibawa ke rumah sakit, ibu beliau malah dinyatakan terpapar COVID-19. Baginya hal semacam itu tidaklah masuk akal dan dengan diagnosis itulah membuat penanganan menjadi salah dan membuat sang ibu meninggal dunia. Sejak itulah dia tak percaya bahwa adanya virus tersebut.
Selain itu, salah satu kontak WhatsApp saya selalu membuat story WA yang beranggapan dia skeptis tentang Corona ini. Selalu menampilkan video atau gambar yang mengasumsikan bahwa dia tak percaya bahkan tidak peduli oleh COVID-19. Dia pun sempat mengatakan dalam ceritanya pandemi ini hanyalah buaian yang dibuat-buat. Teman saya ini berlatar belakang pekerja di bidang pariwisata, jelas dia mendapatkan penghasilan dari para wisatawan yang menggunakan jasanya. Namun efek pandemi ini pemasukannya semakin kurang sehingga dia tak tahan dan berargumen seperti itu.
ADVERTISEMENT
Dari kedua cerita tersebut, mereka menambahkan tetap berharap kepada pemerintah yang berwenang untuk memikirkan nasib-nasib pekerja lapangan. Hal yang membuat skeptis tentang pandemi bukanlah konspirasi bak membicarakan bumi datar. Namun keadaanlah yang membuat mereka merasa tercekik akibat efek berkepanjangan ini.
Masih adanya distorsi komunikasi yang disampaikan oleh pemerintah kepada masyarakat tentang edukasi COVID-19. Hal itu yang membuat jarak antara pemerintah dengan masyarakat. Sehingga informasi yang didapatkan masyarakat adalah suara akar rumput yang menggunakan argumen "katanya" dinilai cukup kuat untuk mendoktrin skeptis tentang pandemi.