Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Politik Identitas: Membangun atau Menjatuhkan?
21 Juni 2023 14:26 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Laurentius Demas Abhista Daniswara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Indonesia merupakan negara yang sangat menjunjung tinggi sikap demokrasi. Demokrasi yang dimaksud ialah pemerintahan yang kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat dan negara memberi kebebasan bagi semua rakyatnya untuk ikut terlibat aktif dalam partisipasi politik, berpendapat serta menjalani kehidupannya.
ADVERTISEMENT
Demokrasi yang ada terus berkembang mengikuti alur zaman dan keanekaragaman yang ada di Indonesia. Namun, sejalan dengan perkembangan demokrasi yang ada terjadi banyak pergeseran paradigma dalam partisipasi berpolitik dari beberapa kalangan.
Kemunculan Pandangan Politik Identitas
Sejalan dengan perkembangan dari kebebasan dan keanekaragaman yang ada munculah istilah tentang politik identitas. Politik identitas sendiri secara umum mempunyai arti pemanfaatan suatu identitas individu maupun kelompok sebagai strategi dalam praktik politik. Dengan munculnya politik identitas dalam tatanan politik justru menjadi bumerang bagi keadaan demokrasi di negara kita.
Hal ini justru membangun sekat pembatas yang semakin menonjolkan perbedaan antar individu atau kelompok lainnya yang berbeda latar belakang identitasnya. Sehingga, yang awalnya identitas sebagai jati diri justru dengan identitas yang dimiliki seseorang tersebut menjadi akar dari konflik dan permasalahan yang terjadi. Ditambah adanya isu identitas seperti agama sangat 'seksi' untuk diperbincangkan dan dipolitisasi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Perkembangan dari permasalahan identitas banyak kita jumpai sekarang ini mulai dari aspek sosial dalam hidup bermasyarakat dan beragama sampai ke ranah yang lebih luas dalam sistem politik di pemerintahan Indonesia. Perbedaan seseorang dalam berpendapat dan menafsirkan suatu gagasan serta ditambah dengan munculnya kepentingan individu atau kelompok yang dibawa menuai konflik yang sampai sekarang masih terjadi.
Padahal, dengan keanekaragaman identitas yang ada di Indonesia seharusnya hal tersebut menjadi tonggak utama dalam memperjuangkan demokrasi yang ada. Namun, ironisnya hal tersebut tidak sejalan dengan apa yang diharapkan. Sekarang banyak dijumpai bahwa keberagaman identitas yang ada justru menimbulkan konflik, bermunculan kelompok sosial yang memiliki kesamaan dalam identitas dan kepentingan yang dibawa di dalamnya. Hal ini justru menjadikan ketidakstabilannya persatuan di negara Indonesia karena munculnya kelompok atau seseorang yang berkubu sesuai dengan latar belakang identitasnya.
ADVERTISEMENT
Perbincangan identitas seseorang seperti agama, ideologi, etnis bahkan gender menjadi hal yang sangat sensitif untuk diperdebatkan. Terdapat seseorang atau kelompok yang bermunculan di mana mereka memanfaatkan momentum ini untuk menjadikan perbedaan identitas yang ada sebagai alat politik lalu menjadi dasar mereka untuk mencapai tujuan pribadi ataupun kelompok.
Politik Identitas Dalam Politik Elektoral
Banyak penyelewengan yang terjadi seperti dalam segi politik elektoral pada masa pemilu orde baru para pegawai negeri diwajibkan untuk memilih suara hanya dari Partai Golkar, jika ada pegawai negeri yang tidak patuh pada kebijakan tersebut maka seseorang tersebut bisa saja dihancurkan karirnya secara perlahan dan bahkan dikeluarkan dari pekerjaannya sebagai PNS.
Hal ini menjadi sorotan yang menonjol bahwa identitas seseorang sangat berpengaruh pada masa itu dalam demokrasi. Ditambah identitas seseorang dimanfaatkan sebagai alat politik untuk memenangkan suatu partai dan membuat seseorang tersebut tidak bisa memilih suara sesuai keinginannya. Adanya 'pengikat' tersebut seolah-olah ada tekanan yang harus individu tersebut ikuti.
ADVERTISEMENT
Seiring dengan proses pemilu di Indonesia, identitas agama seringkali menjadi patokan seseorang untuk memilih kandidat paslon yang ada berdasar agamanya. Muncul kelompok sosial yang terdikotomi menjadi 2 seperti kelompok yang mengatasnamakan agama dan bersifat nasionalis.
Namun, jika dilihat dari kacamata perspektif lain adanya kelompok yang bersifat nasionalis merupakan kaum minoritas yang dari segi kekuatannya lemah dan masanya sedikit dibanding dengan agama mayoritas. Dalam konteks ini identitas agama dapat mempengaruhi pemikiran dari pemilih karena didasarkan pada identitas yang sama, dan digunakan untuk menyaring pendukung dan-menjatuhkan lawan-yang tidak sejalan dengan identitasnya.
Kepentingan elite yang masuk di dalamnya juga sangat berperan besar. Mereka mempunyai salah satu syarat dalam berpolitik yaitu kekuasaan, dengan kekuasaan itu mereka dapat mengontrol pendukungnya dengan menyisipkan hal yang menyangkut agama demi kepentingan partai. Kepentingan partai menghegemoni lewat media sosial.
ADVERTISEMENT
Hal itu diperparah juga dengan munculnya konflik di media sosial seperti ujaran kebencian (hate speech). Hate speech media sosial dengan hitungan waktu saja sudah menyebar ke semua orang. Dikhawatirkan dengan cepat menyebarnya berita tersebut banyak hoaks yang tersebar di media sosial dan sulitnya mengendalikan isu politik yang dapat menambah perseteruan.
Kemudian peranan kepentingan elite dapat kita jumpai pula pada pemilu dan kampanye bahwasanya identitas agama dipolitisasi oleh kelompok-kelompok elite politik untuk menjalankan kepentingannya. Seperti pada ada pemilu capres dan cawapres Jokowi periode ke-2, dalam momentum ini Jokowi memilih wakilnya yaitu Ma’ruf Amin yang merupakan salah satu tokoh penting NU di Indonesia.
Dilihat dari kacamata politik strategi Jokowi melakukan hal tersebut bukan tanpa sebab, karena mayoritas masyarakat Indonesia yang beragama muslim dan kesempatan ini menjadi strategi untuk mendapatkan dukungan politik khususnya dari kalangan masyarakat yang beragama islam. Ditambah posisi strategis Ma’ruf Amin sebagai tokoh penting di NU dapat menggaet pendukung dari umat islam khususnya golongan NU.
ADVERTISEMENT
Identitas Seseorang Menjadi Syarat Bagi Seseorang Untuk Memiliki Hak Kepemilikan?
Kemudian dalam permasalahan identitas juga menyangkut etnis seseorang seperti dalam permasalahan warga negara non-pribumi yakni etnis Tionghoa yang tidak diperbolehkan untuk memiliki hak kepemilikan tanah di DIY sampai sekarang. Seperti yang tertuang dalam peraturan pemerintah DIY yakni Instruksi 898/1975 yang berisikan pelarangan warga non-pribumi atas kepemilikan hak tanah.
Dengan adanya pernyataan tersebut menjadi polemik di tengah pluralisme yang ada, tindak diskriminasi terhadap warga non-pribumi menjadi suatu kebijakan yang melanggar hak asasi manusia. Padahal tercantum di dalam UU No 39 Tahun 1999 bahwa negara mengatur dan melindungi hak asasi manusia. Ujung dari permasalahan ini warga etnis Tionghoa yang ingin mengurus kepemilikan tanah tidak diperkenankan dari pemerintah DIY karena adanya identitas non-pribumi (etnis Tionghoa) itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Jika berkaca dari asal mula pemerintah DIY yang tidak memperbolehkan etnis Tionghoa dalam kepemilikan tanah karena 'kekecewaan' historis di masa lalu yakni adanya konflik antara kesultanan Yogyakarta dengan orang-orang etnis Tionghoa yang dianggap 'memanfaatkan' pribumi dan memonopoli perekonomian pada waktu itu. Namun, adanya latar belakang kekecewaan historis di masa lalu tidak sepenuhnya dapat memvalidasi bahwa keberadaan etnis Tionghoa di Yogyakarta harus terus mendapatkan diskriminasi sampai saat ini.
Dalam hal ini agama dan etnis bukan lagi menjadi identitas diri dan komunitas yang monolitik belaka. Seiring dengan perkembangan yang ada agama dan etnis justru menjadi alat yang berkorelasi dengan budaya praktik politik di Indonesia. Lalu mengapa identitas seseorang dapat dijadikan sebagai alat politik? Ya, karena sifat dari identitas itu sendiri yang mengikat dan universal, ditambah narasi atau pembawaan isu identitas sangat 'seksi' di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Evaluasi Pemanfaatan Identitas dalam Politik
Perpecahan, pergeseran paradigma, serta kepentingan politik yang dibawa di dalamnya dapat menyebabkan terganggunya persatuan dan kerukunan di negara Indonesia. Padahal dengan berbagai perbedaan dan keanekaragaman yang ada sudah sepatutnya sebagai masyarakat Indonesia merasa bangga bahwa Indonesia disatukan di atas segala keragamanan yang ada.
Terlepas dari berbagai kontroversi mengenai identitas seseorang sebagai alat politik, budaya Indonesia yang masih kental terhadap politik identitas memang tidak terhindarkan. Namun, sejatinya substansi dari keberadaan identitas merupakan jati diri seseorang bukan sebagai instrumen yang bisa dipolitisasi.
Politik identitas sendiri juga harus dikaji lebih lanjut agar tidak terjadi lagi salah penempatan dan memberikan ruang terbuka bebas untuk umum agar dibuktikan bahwa identitas dan politik sejalan satu tujuan untuk kepentingan bangsa bukannya menjadi jurang pembatas yang dapat memecah belah di tengah keberagaman yang ada di Indonesia.
ADVERTISEMENT