Menyambut Laki-Laki Baru di Tahun yang Baru

Laelatul Badriyah
Ibu Rumah Tangga yang telah menyelesaikan pendidikan magister di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Konten dari Pengguna
29 Desember 2022 18:14 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Laelatul Badriyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ayah dan pekerjaan rumah tangga Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
ayah dan pekerjaan rumah tangga Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Tiga laki-laki telah duduk di depan para peserta dan bersiap memaparkan pengalaman mereka mendampingi sesamanya untuk belajar tentang keadilan gender. Mereka datang dari Negara Burundi, satu nama negara dari benua Afrika yang baru saya dengar, India, dan Indonesia. Seorang perempuan yang berasal dari Thailand berperan sebagai moderator.
ADVERTISEMENT
Ruangan itu hampir penuh. Saya nyaris batal untuk terlibat memenuhi ruangan tersebut. Tetapi topik pembicaraannya telah menerbitkan rasa penasaran sejak saya melakukan pendaftaran International Conference (IC) Kongres Ulama Perempuan Indonesia yang dilaksanakan pada 23 November 2022 lalu di UIN Walisongo, Semarang. Alhasil, saya mengendap masuk ke ruangan tersebut. Ada beberapa kursi yang kosong. Namun banyak peserta yang memilih berdiri atau duduk di tangga. Saya memberanikan diri menuju sebuah kursi dan menikmati topik pembahasan dengan khidmat.
Imam Bukuru Elie Khalfan, seorang Global Director dari gerakan #ImamsForShe bercerita bahwa gerakan ini terinspirasi dari gerakan kampanye #HeForShe dari UN Women’s. Gerakan ini diluncurkan pada tahun 2015 dalam pertemuan komisi perempuan PBB. Beberapa kegiatannya yaitu membangun gerakan, mendorong dialog, dan mengedukasi masyarakat. Dalam ranah pendidikan, gerakan ini mencoba membuat kurikulum pendidikan Islam yang inklusif berdasarkan pada hak asasi anak-anak. Setiap selesai salat Jumat mereka pun melakukan dialog tentang apa kesetaraan gender dan masalah-masalah yang dihadapi oleh perempuan.
ADVERTISEMENT
Mata saya berbinar-binar mendengar penjelasan gerakan #ImamsForShe. Pun dengan beberapa teman yang saya kenal dan turut hadir di ruangan ini. Kabar bahagia ini kami simak dengan hati dan pikiran terbuka. Saya merasa optimis bahwa dunia ini sedang menuju pada perubahan kondisi masyarakat yang lebih baik dan lebih adil bagi perempuan maupun laki-laki.
Nur Hasyim, Co Founder Aliansi Laki-Laki Baru (ALB) mengatakan bahwa budaya patriarki tidak hanya membelenggu perempuan tetapi menjadikan laki-laki sebagai korban. Dalam budaya ini, masyarakat menetapkan standar maskulinitas bagi laki-laki seperti laki-laki harus kuat, laki-laki tidak boleh menangis, laki-laki harus bekerja dan mencari nafkah, laki-laki harus membahagiakan keluarga. Ya, itu benar adanya. Saya pun hampir tidak pernah mendengar laki-laki mengeluh.
ADVERTISEMENT
Lebih dari 25 tahun hidup saya, saya baru satu kali mendengar bapak saya menangis kencang. Sudah berapa puluh kesedihan yang mengendap di dalam hatimu, Pak? Sudah berapa banyak emosi yang tak kau tuangkan dalam air mata? Barangkali setiap kesedihan dan kemarahan hanya berujung pada kepalan tangan yang mencengkeram kuat, suara gigi yang beradu, tenggorokan yang sakit karena menahan tangis, dan tarikan napas yang sangat berat. Ah, mari berhenti menahan segala emosi.
“Ada tempat untuk merefleksikan dan belajar tentang pengalaman menjadi laki-laki di ALB. Dengan berbasis komunitas, kita menyediakan waktu dua jam untuk diskusi sebagai laki-laki, dibuka juga fathers class dan boys class,” terang Nur Hisyam. Ruang ini ada untuk mentransformasi kepercayaan tentang maskulinitas yang mereka jalani, kadang dengan sepenuh hati namun juga sangat memberatkan. Laki-laki adalah manusia dengan segala ragam emosi, kelebihan dan kekurangannya. Namun dalam masyarakat patriarki, laki-laki ideal dibuat seragam. Sebuah penyeragaman yang terjadi juga di kalangan perempuan.
ADVERTISEMENT
Aliansi Laki-Laki Baru juga mencoba memperkenalkan perilaku baru yang sesuai dengan prinsip dan nilai kesetaraan gender. “Seringkali saya berbelanja ke warung. Saya mendapatkan pertanyaan dari penjual warung. Kenapa kok belanja? Istrinya ke mana? Lama-lama dia pun curhat kalau suaminya tidak pernah membantu untuk mengerjakan pekerjaan domestik,” papar Nur Hisyam menceritakan pengalamannya mendapatkan stigma dari perempuan.
Cerita tersebut menunjukkan dua hal. Pertama kuatnya perspektif pekerjaan domestik adalah pekerjaan perempuan, dan laki-laki tidak perlu terlibat dalam pekerjaan tersebut. Kedua, perempuan mencita-citakan laki-laki di sekelilingnya dapat terlibat dalam kerja-kerja domestik yang selama ini dibebankan penuh pada perempuan.

Urgensi Keterlibatan Laki-Laki dalam Gerakan Kesetaraan Gender

Mengapa perlu lebih banyak laki-laki terlibat dalam gerakan ini? Dalam sebuah forum, seorang pendamping masyarakat bercerita ada seorang perempuan yang ditampar oleh suaminya setelah dia menceritakan apa yang dipahaminya tentang kesetaraan gender. Kisah ini pilu. Seorang perempuan yang mencoba membangun kesadaran kritisnya, malah menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) karena kesadaran yang timpang antara dirinya dan suaminya. Alih-alih dia menjadi perempuan berdaya, malah menjadi tiada daya.
ADVERTISEMENT
Satu kisah di atas menjadi bukti bahwa diperlukan perubahan perspektif pada laki-laki tentang maskulinitasnya. Konsep perempuan berdaya jika dijodohkan dengan konsep maskulinitas lama menjadi tidak pas. Yang akan muncul adalah konflik perempuan dan laki-laki yang merasa terancam kelaki-lakiannya. Oleh karenanya, untuk membangun kesepahaman relasi yang harmonis antara laki-laki dan perempuan, diperlukan transformasi maskulinitas dari laki-laki. Kami membutuhkan laki-laki yang suportif, egaliter, dan mau menghargai. Saya sepakat dengan apa yang dituliskan oleh Nur Hasyim dalam bukunya Good Boys Doing Feminism. Untuk menciptakan pola relasi yang setara dan adil, transformasi perempuan saja tidak cukup. Diperlukan juga transformasi laki-laki yang baru.
Jumlah perempuan adalah separuh populasi dunia ini. Laki-laki pun demikian. Jika ingin menciptakan keadilan gender, maka segala permasalahan yang melibatkan perempuan perlu juga melibatkan laki-laki yang memiliki privilege dalam masyarakat patriarki. Sejatinya masalah ketidakadilan gender pada perempuan bukan hanya masalah perempuan. Lebih jauh lagi, ini adalah masalah kemanusiaan. Sehingga perempuan dan laki-laki perlu bekerja sama untuk menciptakan ruang yang aman dan nyaman.
ADVERTISEMENT
Gerakan laki-laki baru yang ada di Indonesia, India, dan Burundi perlu kita lihat sebagai angin segar yang akan mendukung gerakan perempuan mencapai kesetaraan gender, pengurangan kasus KDRT, pernikahan anak, dan kasus serius lainnya. Semoga makin banyak lahir laki-laki baru pada tahun-tahun yang akan datang. Ada humor yang biasanya diluncurkan perempuan. “Laki-laki kalau sudah terlibat pekerjaan domestik kegantengannya bertambah berkali-kali lipat.” Duhai para laki-laki, ini humor serius dari kami.