Konten dari Pengguna

Kebebasan Berpendapat yang Tidak Bebas

Levina Anjani
Mahasiswa Universitas Airlangga Program Studi Teknik Informatika
15 Mei 2023 17:22 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Levina Anjani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bima Yudho, TikToker yang kritik Lampung. Foto: Instagram/@awbimax
zoom-in-whitePerbesar
Bima Yudho, TikToker yang kritik Lampung. Foto: Instagram/@awbimax
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Belakangan ini, viral sebuah kasus di mana pemerintah Australia memberikan Visa Protection kepada Bima Yudho Saputro atau yang dikenal dengan nama akun TikTok-nya, Awbimax Reborn. Hal itu terkait aksinya yang mengkritik pemerintah Provinsi Lampung dalam menangani permasalahan sosial di wilayah tersebut.
ADVERTISEMENT
Kasus tersebut semakin menjadi perhatian, setelah Bima mengaku mendapat ancaman yang mengarah kepada keluarganya di Lampung pasca videonya viral. Dia menyebut polisi sampai mendatangi kantor ibunya, juga ayahnya yang seorang PNS disebut mendapat ancaman.
Hingga kemudian, kasus ini menimbulkan pertanyaan mengenai kebebasan berpendapat dan kritik dalam negara demokrasi. Apakah kita menjadi negara otoriter dan anti-kritik seperti pada masa Orde Baru?
Sebagai warga negara, kita memiliki hak untuk mengkritik penguasa yang dianggap tidak memenuhi hak-hak kita sebagai warga negara atau tidak memperbaiki keadaan negara. Namun, kita juga harus memahami bahwa ada beda antara kritik dan penghinaan.
Pengendara roda dua menghindari jalan berlubang di Jalan Lingkar Selatan, Kota Cilegon, Banten, Sabtu (1/4/2023). Foto: Muhammad Bagus Khoirunas/Antara Foto
Kritik seharusnya membangun, bukan merusak. Namun, UU ITE sering kali mengekang kebebasan berpendapat dan kritik. Ada perbedaan antara kritik dan ancaman atau radikalisme. Permasalahan sosial yang diakibatkan oleh sebuah kebijakan dapat mempengaruhi kepercayaan masyarakat, sehingga kritik tersebut penting untuk diberikan.
ADVERTISEMENT
Kasus Bima Yudho Saputro mengingatkan kita akan pentingnya perlindungan terhadap hak asasi manusia, termasuk hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi. Pemerintah harus memastikan bahwa hak-hak ini terlindungi dengan baik tanpa adanya intervensi yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri.
Pemerintah juga harus memberikan ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan kritik, saran, dan masukan demi terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik dan berkeadilan.
Kasus Bima juga memicu perdebatan mengenai peran media sosial dalam memberikan ruang untuk berpendapat dan mengkritik. Media sosial dapat menjadi wadah yang efektif bagi masyarakat untuk menyampaikan kritik dan masukan kepada pemerintah, namun juga dapat menimbulkan masalah seperti penyebaran informasi yang tidak akurat atau provokatif.
Wawancara eksklusif kumparan bersama Bima Yudho. Foto: Retyan Sekar Nurani/kumparan
Oleh karena itu, perlu adanya upaya untuk memperkuat peran media sosial dalam memberikan ruang untuk berpendapat dan mengkritik, namun tetap menjaga kualitas dan keakuratan informasi yang disampaikan.
ADVERTISEMENT
Kasus Bimo juga menunjukkan bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi bukan hanya isu internal suatu negara, tetapi juga dapat menjadi isu internasional jika melibatkan negara lain. Oleh karena itu, negara-negara di seluruh dunia harus memperkuat kerja sama internasional dalam memperjuangkan hak asasi manusia dan demokrasi.
Kasus Bima Yudho Saputro menjadi sebuah pelajaran bagi kita untuk tetap menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan hak asasi.