6 Hal yang Memasung Orang dalam Toxic Relationship

Lex dePraxis
Love & Relationship Coach, Founder of KelasCinta.com - Check out HIGHLIGHTs in my IG instagram.com/lexdepraxis for more lessons! Follow also kumparan.com/kelascinta And get more lessons @ shor.by/lexdepraxis
Konten dari Pengguna
13 Desember 2019 12:01 WIB
comment
13
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lex dePraxis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi toxic relationship Foto: Resty Pangestu/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi toxic relationship Foto: Resty Pangestu/kumparan
ADVERTISEMENT
Kenapa tidak sedikit orang yang sudah begitu kesakitan dan kepayahan tapi masih kekeh bertahan dalam hubungan bermasalah?
ADVERTISEMENT
Di Kelas Cinta, saya sering pakai istilah 'bermasalah', 'tidak sehat', 'disfungsional', dan 'toxic' secara bergantian untuk menggambarkan kondisi generik hubungan yang gagal membantu kedua pemiliknya hidup lebih produktif, bermakna, dan sejahtera.
Bayangkan relasi cinta (dan rumah tangga) sebagai sebuah kendaraan. Seseorang membeli kendaraan pasti berharap mudah berpergian melakukan tugas sehari-hari. Selain moda transportasi bekerja, mobil tersebut juga diharapkan bisa membantu pemiliknya berjalan-jalan menikmati hidup, mengunjungi tempat, dan kegiatan yang menyenangkan.
Sebuah mobil dikatakan bermasalah atau rusak ketika dia gagal beroperasi memenuhi ekspektasi tersebut. Misalnya, saat dipakai, pengendaranya merasa kepanasan, cepat lelah, keracunan karena saluran udara yang kotor, sering mogok, atau bisa juga tergelincir kecelakaan. Bila terus bertambah parah, mobil itu tidak lagi membantu, justru jadi mengganggu. Mobil tersebut bisa jadi beban yang toxic (beracun).
Seperti sudah dibahas, hubungan bukanlah (kota) tujuan yang membahagiakan. Hubungan justru kendaraan agar kedua orangnya dapat mencapai tujuan-tujuan bahagia yang diinginkan. Sama seperti mobil rusak akan mencelakai pengendaranya, demikian juga hubungan (pacaran dan rumah tangga) yang tidak sehat akan menggerogoti kondisi fisik dan jiwa orang-orangnya, serta gagal mengantarkan ke tempat-tempat bahagia.
ADVERTISEMENT
Misalnya, kita merasa sakit, lelah, berat, tidak kemana-mana, berputar di masalah yang sama. Kesesakan itu tidak hanya dirasakan pemilik hubungan, tapi juga orang-orang di sekitar hubungan itu, seperti anak, keluarga, sahabat, dan sebagainya.
Menurut Dr. Deborah Offner, orang yang berada dalam hubungan demikian biasanya merasa malu, menutup diri, dan berusaha menyembunyikannya orang lain.
"If you feel protective of your toxic partner or feel like you need to conceal their abusive behaviors so family and friends don’t know what’s really happening in your relationship, this can also lead to feelings of loneliness and isolation."
Secara biologis, hubungan yang buruk akan memicu peningkatan kortisol sehingga mengganggu sistem kekebalan tubuh, kesehatan jantung, dan juga kadar gula dalam darah. Jadi selain terisolasi secara sosial dan merasa stres sendirian, orang-orang yang berada dalam hubungan buruk jadi lebih mudah terjangkit kelelahan, sakit kepala, gangguan pencernaan, kelebihan atau kekurangan berat badan, gangguan tidur, tekanan darah tinggi, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Bahkan beberapa penelitian menemukan bahwa konsekuensi negatif perceraian masih lebih mendingan dibanding bertahan dalam hubungan yang tidak membahagiakan. Bahkan orang yang bercerai (dan tidak menikah lagi) secara umum lebih sehat fisik dan jiwanya dibanding pasangan yang menikah tidak sejahtera.
"People who divorce but subsequently remarry are happier overall than unhappily married people. Divorced individuals who do not remarry have greater life satisfaction than unhappily married people, probably due to being freed from an unhappy marriage."
Tidak sedikit studi yang mengungkap efek ngeri dari hubungan bermasalah. Namun, mengapa banyak sekali orang yang bersikeras mempertahankannya?
Mengapa orang-orang ngotot bertahan dengan pasangannya yang egois, mendominasi kontrol, cemburu akut, gemar menutup komunikasi, posesif, melakukan kekerasan verbal dan fisik?
ADVERTISEMENT
Menurut pengalaman saya, setidaknya ada delapan jawaban yang bertumpang-tindih dan saling mempengaruhi.
Mari kita amati satu per satu. Dan jujurlah pada diri sendiri berapa banyak poin-poin ini yang pernah terjadi dalam hubungan yang sekarang ataupun masa lalu.
Sekian lama bersama dengan pasangan yang kurang baik dan berusaha keras memperbaiki (dia atau hubungan) akan mengubah cara pandang kita terhadap diri sendiri.
Kita jadi ragu akan nilai yang kita miliki. Kita jadi bingung tentang apa yang benar dan apa yang salah. Segala upaya yang kita lakukan selama ini terasa tidak mengubah apa-apa, jadi kita merasa jangan-jangan kita yang payah dan bermasalah. Pemikiran itu jadi lebih tajam lagi jika pasangan selama ini berperilaku abusive.
ADVERTISEMENT
Dia mencuci otak kita, membuat kita berpikir seolah perilaku buruk dia adalah akibat kesalahan kita. Selagi kita merasa bersalah, dia menunjukkan diri sebagai orang yang bisa menerima dan memaafkan kita. Bahkan tidak jarang dia bilang, "Maafkan aku keras, ini karena aku mencintaimu, walau kamu yang bikin aku jadi begini."
Setiap kali pesan itu disampaikan, kita semakin menyakini (baca: menipu diri) bahwa kita sedang beruntung bersama orang terbaik yang sangat setia. Kita digiring untuk percaya bahwa diri kita sedemikian buruknya, sehingga tidak akan ada orang lain di luar sana yang bisa menerima.
Salah satu ciri khas hubungan tidak sehat adalah pasangan menempatkan dirinya sebagai pusat alam semesta dan mengikat kita untuk hanya berputar mengelilingi dia. Kita dibuat jadi cemas dan merasa tidak aman dengan orang lain, teman, bahkan keluarga. Baik secara ditekan pasangan ataupun kemauan sendiri, kita jadi membatasi interaksi dengan dunia luar.
ADVERTISEMENT
Dengan terputusnya koneksi tersebut, semakin kita merasa kecil, terancam, dan tidak apa-apanya jika tidak bersama dia. Kita jadi menerima apa pun perilaku buruk dari pasangan, karena itu terasa lebih baik daripada orang-orang ngeri yang ada di luar sana.
Seburuk-buruknya pasangan, setidaksehat-tidaksehatnya perilaku dia, nyaris tidak mungkin dia 100 persen brengsek. Istilahnya, tidak ada orang yang pure evil.
Ada masanya pasangan menunjukkan sisi yang dewasa dan pengertian. Ada masanya dia menjaga kepercayaan yang diberi, lembut mempedulikan, dan bahkan rajin mengorbankan ini-itu demi kepentingan kita. Ada masanya dia bisa menarik simpati keluarga dan sahabat dekat kita, sehingga mereka mendorong kita untuk bertahan lebih lama lagi. Bila melakukan kealpaan atau kesalahan, ada masanya dia proaktif meminta maaf dan berusaha memperbaiki diri.
ADVERTISEMENT
Pemikiran itulah yang membuat kita jadi sangat berat melepaskan hubungan yang buruk, walau mengakui dirinya tersiksa. Kita sibuk mengingat-ingat ketika pasangan yang abusive itu sedang berlaku baik, bisa dipercaya, lembut. Kita gemar mengenang ketika pasangan yang toxic itu rajin memberi perhatian di sana-sini atau perubahan kecil yang menyenangkan hati.
Ketika orang-orang di sekeliling (terutama mereka yang mendengar curhatan kita) melihat pasangan kita sebagai sosok yang negatif, kita merasa bisa melihat dia secara positif dan lengkap. Ketika keluarga atau sahabat menekankan keberadaan sisi negatifnya, kita bersikeras membela dan mengungkit sisi positifnya.
Saya yakin Anda sering melakukan itu, kan?
Seseorang yang terjerat hubungan buruk akan menganggap orang-orang di luar hubungan tidak bisa melihat sisi positif tersebut. Ilusi sebagai orang yang paling mengerti pasangan inilah yang membuat korban jika dinasihati, maka akan semakin yakin dengan pasangannya.
ADVERTISEMENT
Fokus dengan sisi positif pasangan dan menihilkan semua tindakan abusive, toxic, atau negatif. Optimisme tersebut menciptakan proyeksi bahwa pasangan akan jadi pribadi yang lebih baik kedepannya. Kalaupun ada perubahan, biasanya sebentar saja lalu kembali lagi ke pola semula Pada akhirnya tidak ada yang berubah, malah makin parah.
Tapi di sepanjang perjalanan itu, Anda berpikir, "Hubungan ini layak dipertahankan. Dia perlu dimaklumi. Tidak mungkin dia benar-benar jahat ingin melukai aku, buktinya dia masih punya banyak sisi baik lainnya. Aku perlu sabar dan menolong dia."
Ketahuilah logika itu sebenarnya keliru sekali. Pemikiran tersebut berlandaskan pada asumsi keberadaan pure evil yang saya sebut di atas tadi.
Bahkan tokoh super villain (ingat Thanos?) pun memiliki banyak sisi positif dan baik, bahkan mampu memiliki kasih sayang. Apakah itu artinya Anda akan menolong, membela, dan menemani dia berusaha memusnahkan setengah populasi makhluk hidup di seluruh dunia?
ADVERTISEMENT
Selama menjalani hubungan, pasti ada banyak hal yang dibayarkan, terpakai, hilang, habis, atau dikorbankan. Sebagian berupa materi, sebagian lainnya non-materi.
Misalnya, waktu yang habis dan berlalu sekian tahun. Kerja keras merawat hubungan dan upaya mendekati keluarganya. Proses adaptasi karena berasal dari latar belakang yang sangat berbeda. Bila sudah menikah, ada juga pengeluaran besar seperti biaya pernikahan, kredit, dan utang, pembiayaan anak, dan berbagai tetek bengek lain yang tidak kecil nilainya.
Orang yang kekeh bertahan dalam hubungan beracun biasanya menyakini dirinya akan rugi besar bila harus melepaskan itu semua. Dia gagal melihat bahwa hal yang selama ini dia 'bayarkan' untuk hubungan itu sebenarnya SUDAH hilang tak berguna. Dia pikir dirinya dan semua jerih payahnya itu masih dihargai, dianggap, dihormati. Dia pikir itu semua baru hilang dan lenyap KALAU DIA KELUAR PERGI dari hubungan tersebut.
ADVERTISEMENT
Padahal saat ini dia merasa menderita KARENA dirinya dan segala upaya dia itu tidak dianggap berharga oleh pasangannya. Pasangannya melalaikan, mengabaikan, menelantarkan hubungan. Dia dan hubungan yang sedang dijalani itu tidak dinilai penting oleh pasangannya. Dia dan hubungan itu sebenarnya sudah tidak ada.
Hubungannya memang seolah masih ada dan berjalan, tapi itu hanya tampilan luar dan status saja. Isinya hampa, berantakan, penuh kekecewaan dan ketidakbahagiaan.
Dan bila hubungan itu diteruskan, segudang kerugian itu akan TERUS BERTAMBAH, BERLIPAT GANDA HINGGA HARI TUA. Pihak yang bertahan akan terus memeras hati sendiri, memberikan ini-itu, mengorbankan diri sampai remuk habis. Pasangannya yang buruk itu akan terus bersikap seenaknya saja, karena memang hubungan itu terasa enak banget, semuanya disediakan, dirinya selalu dimengerti dan dimaafkan.
ADVERTISEMENT
Itulah realita yang gagal dilihat oleh orang-orang yang bertahan. Mereka meyakini dirinya akan lebih rugi dan sengsara bila berpisah. Padahal perpisahan itu bisa membawa dirinya pada banyak kehidupan dan kesempatan yang lebih baik. Perpisahan itu akan mempertemukannya dengan orang baru yang benar-benar bisa menghargai seluruh investasinya.
Dalam toxic relationship, perpisahan bukan kerugian. Justru memperkecil kerugian dan membuka keuntungan-keuntungan baru.
Dalam setiap seminar dan gathering Kelas Cinta, saya selalu mengingatkan pentingnya kedua orang yang berhubungan/berumahtangga untuk tetap bekerja dan berpenghasilan agar tidak ada pihak yang kehilangan daya dan jadi bergantung pada pihak lainnya.
Bila ada ketimpangan kuasa seperti itu dalam sebuah hubungan, besar sekali kemungkinan timbul sikap-sikap yang buruk ataupun abusive. Anda ingat dengan istilah power corrupts 'kan?
ADVERTISEMENT
Kemandirian itu luar biasa pentingnya. Saat seseorang kehilangan daya, perlahan-lahan pasangannya akan jadi overpowering dan otoriter, sengaja ataupun tidak sengaja.
Itu sering sekali terjadi pada hubungan yang toxic. Pasangan yang mendominasi biasanya lebih mapan secara status sosial/finansial. Secara sengaja ataupun tidak, dia menjadi satu-satunya penyedia sumber daya dan fasilitas sehingga pasangannya tidak punya pilihan lain.
Misalnya, dia melarang pasangannya bekerja, menghasut pasangannya untuk tidak mempercayai keluarga dan orang lain, bahkan membatasi ruang gerak dan pergaulan pasangannya.
Dia akan memposisikan diri sebagai sang juru selamat, dan pasangannya sebagai domba tersesat yang telah ditolong dan berhutang hidup padanya.
Coba bayangkan selemah, setakberdaya apa pihak yang berpikir dan bergantung begitu setelah jalani hubungan sekian bulan/tahun.
ADVERTISEMENT
Sekeras apa pun Anda menasihati dia untuk keluar dan berpisah, mengingatkan bahwa dia layak mendapat kebahagiaan di luar sana, pasti akan terdengar angin lalu saja bagi dia. Kalaupun dia merasa masuk akal dan tahu ada orang-orang yang siap membantu, dia tetap merasa powerless untuk bertindak.
Istilah kerennya, dia sudah terlatih (baca: tercuci otak) untuk meyakini dirinya tak berharga, tak berdaya.
Itu adalah racun paling mengerikan yang sangat umum ditemukan dalam hubungan-hubungan yang disfungsional, apalagi dalam konteks abusive relationships.
Ini adalah 'kesalahan kecil' (baca: kesalahan super fatal) para married couples yang belakangan menyadari keburukan pasangannya.
Merasa percuma dan powerless mengubah sikap pasangan, mereka memilih telan saja pil pahitnya dan bertahan dalam kesengsaraan itu atas dasar demi anak. Mereka memilih terus merawat hubungan (sendirian), melayani kebutuhan pasangan dan menyesuaikan diri dengan segala keinginannya, mendedikasikan seluruh sisa waktu dan tenaga untuk mengurus anak.
ADVERTISEMENT
"Enggak apa-apa, lah, aku sakit dan sengsara begini, yang penting anak tetap sehat sejahtera karena punya orang tua dan keluarga lengkap," demikian pikir mereka.
Sedikit sekali orang sadar bahwa pilihan itu menghadirkan empat buah konsekuensi secara bersamaan:
ADVERTISEMENT
Anda bisa melihat bagaimana berfokus pada anak malah menjerat lebih erat dalam hubungan bermasalah, sekaligus menjerat anak-anaknya jadi terbiasa dalam hubungan bermasalah?
Anda bisa melihat bagaimana keputusan bertahan demi anak justru malah meracuni siapa pun yang ada dalam hubungan itu, dan semakin membuat diri lumpuh tak berdaya?
Dalam seminar dan gathering, ada banyak sekali anak (muda) yang curhat pada saya tentang kondisi papa-mamanya yang sangat berperilaku tidak sehat. Mereka mengaku sangat sedih melihat salah satu orangtuanya didera, diabaikan, diperlakukan buruk oleh pihak lainnya.
ADVERTISEMENT
Mereka bercerita sering memohon, "Ma, sudahlah.. mama cerai saja, tidak perlu lanjut, Ma. Kita bisa hidup lebih baik, kok, kalau pisah dari papa," tapi permintaan itu ditepis oleh sang ibu yang merasa yakin sedang menolong anak-anaknya.
Saya jamin beberapa tahun lagi Anda akan terkejut sekali mengetahui kelakuan dan prinsip hidup anak-anak Anda, setelah mereka bertahun-tahun menyimak bagaimana Anda seumur hidup setia bersama orang yang menyakiti.
Jangan marah ataupun menangis jika nanti mereka sering/selalu terjerumus dalam situasi hubungan serupa, walau Anda sudah berbusa mewanti dan melarang-larang mereka.
Anda masih ingat tentang racun mengerikan pada poin 4 tadi?
Saat berada dalam hubungan disfungsional, biasanya kita secara terstruktur, sistematis, dan masif 'disunat', dipreteli sedemikian rupa hingga merasa tak bisa hidup sendiri dan sangat bergantung pada pasangan. Kita dibuat percaya bahwa kita sebenarnya beruntung dan berhutang telah diselamatkan olehnya.
ADVERTISEMENT
Itu racun paling mengerikan yang mengunci banyak orang dalam hubungan yang rusak.
Namun ada satu lagi racun saudara kembarnya yang seringkali disuntikkan bersamaan: Kita dibuat percaya bahwa kelakuan buruk pasangan dan masalah hubungan itu adalah karena salah kita.
Racun ini biasanya masuk lewat pola yang saya sebut Violate-Then-Affectionate (VTA): pelaku bersikap buruk atau menyakiti, lalu ketika korbannya menangis atau terluka, dia meminta maaf dan merawat korban sepenuh hati sambil mengakui bahwa dia kelepasan begitu karena kesalahan korban. Bahkan tidak jarang dia jadi bersikap ekstra hangat dan romantis pasca pelanggarannya itu.
Saya tidak perlu jelaskan lebih panjang lagi, karena saya yakin Anda bukan cuma mengerti, tapi langsung terbayang kejadian-kejadian di masa lalu yang persis sekali demikian.
ADVERTISEMENT
Ini luar biasa mengerikannya.
Seperti sudah saya jelaskan dalam poin A, kita dicuci otak hingga merasa payah dan bertanggung jawab atas kelakuan buruk dia, kekerasan yang dia lakukan, perselingkuhan yang dia ulangi, dsb. Kita digiring untuk meyakini segala kekacauan dia disebabkan oleh kekurangan dan kesalahan kita.
Apabila virus itu telah tertanam di kepala, alhasil kita akan merasa sangat bersalah dan jahat sekali saat terpikir kemungkinan menyudahi hubungan itu.
Kita tahu kita sudah terjangkit virus demikian bila setiap kali ada masalah, kitalah satu-satunya pihak yang berusaha mendekati dengan hati-hati sambil lirih bertanya, "Kamu kenapa mengulangi begitu lagi? Kasih tahu, dong, apa kekurangan aku, biar aku bisa perbaiki sikapku."
Di tahap ini, cukup jarang orang yang berani melangkah pergi. Kalaupun akhirnya mereka cerai atau bubar, biasanya karena dia-lah yang ditinggal oleh orang yang menyakitinya. Pasca-perpisahan itu, dia akan masih terus merasa kecil, bersalah, dan membenci diri sendiri yang telah merusak segalanya.
ADVERTISEMENT
Sebagai relationship coach, saya akui racun ini sangat tangguh dan sulit 'ditawarkan' karena tetap bercokol di pikiran sekalipun hubungannya sudah kandas bertahun-tahun yang lalu. Sembari menjalani proses coaching, biasanya saya mendorong klien berkonsultasi dengan psikolog juga demi memulihkan luka dan kekacauan lainnya yang terjadi dalam hati.
Kalau kita bicara stereotip, kondisi sulit ini dialami oleh kebanyakan wanita. Realitanya, tidak sedikit juga pria juga yang mengalami tekanan dan diracuni sepanjang hubungan. Ini bukan perkara jenis kelamin, ini adalah perkara ketimpangan kuasa.
Kapanpun ada jenjang kuasa yang terlampau jauh, sikap-sikap buruk beserta berbagai bentuk racun pikiran akan mulai bermultiplikasi di dalam hubungan itu.

Jadi Solusinya Apa?

Ketika belajar dan menganalisa masalah, saya paling enggan langsung melompat pada solusi. Pertama, masalah hubungan tidak pernah sesederhana itu, jadi terburu-buru memecahkannya biasanya akan menghantarkan kita pada solusi yang memperkeruh kesejahteraan.
ADVERTISEMENT
Sepanjang artikel ini, saya habiskan waktu panjang sekali menjelaskan masalah dan tekanan dari sudut pandang korban. Masih ada ada faktor-faktor lain lagi yang tetap perlu digali, misalnya:
Masing-masing poin itu perlu diperhitungkan secara seksama sebelum mengambil keputusan ataupun memformulasi langkah solusi. Jawabannya pun tidak selalu putus, keluar, cerai, dsb. Ada beberapa jalur lain yang bisa dicoba terlebih dahulu.
ADVERTISEMENT
Alasan kedua, karena tahu solusi dan jalur-jalur lain pun tidak berarti mampu melaksanakan ataupun kuat menelusurinya. Anda sudah baca sendiri bahwa orang-orang yang berada dalam hubungan tidak sehat seperti itu nyaris pasti sudah mengalami pelemahan.
Logika tips dan trik saja tidak cukup untuk membuat mereka berani pergi; yang ada malah biasanya mereka makin patah hati dan rendah diri ketika sadar tidak mampu mengikuti tips dan trik yang Anda tawarkan.
Jadi izinkan kali ini saya tidak menawarkan solusi praktis ataupun spesifik terkait mengatasi hubungan disfungsional. Secara konsep, saya yakin kini Anda sudah bisa memahami kenapa orang bisa masuk dalam hubungan demikian dan terus terpenjara di dalamnya.
Theoritically, solusinya ya, tinggal ubah saja elemen-elemen pemikat dan penjerat tersebut. Easier said than done yah. Itu sebabnya saya tidak akan mengentengkan kondisi, berapi-api memotivasi mereka keluar dari hubungan atau rumah t̶a̶n̶g̶g̶a̶ neraka itu. Saya juga rekomendasi Anda tidak bernafsu mendorong-dorong sahabat atau anggota keluarga untuk segera lompat keluar dari toxic relationship mereka.
ADVERTISEMENT
Tapi ada yang bisa saya dan Anda bisa tawarkan kepada mereka.
Bantu, bujuk, dorong mereka untuk semakin sering cerita perasaan mereka ke teman-teman terdekatnya. Jika memungkinkan, jadilah teman yang sering mengajak mereka keluar makan, ngobrol bertukar cerita, dan peduli akan kesejahteraan mereka. Perlahan-lahan bantu mereka merasakan sendiri keberadaan persahabatan atau hubungan yang aman, baik, dan sehat di luar sana.
Biarkan mereka menyadari bahwa apa pun kondisinya mereka selalu diterima, didengarkan, dihargai. Kita tidak bisa menyembuhkan mereka, tapi kita bisa meneteskan air sejuk dan mengingatkan bahwa mereka boleh memintanya lagi, lagi, dan lagi.
Selain menerima mereka dan meneteskan kesejukan, jadilah teman yang menimbun mereka dengan berbagai tawaran keseruan dan ajakan keasyikan. Dorong mereka (mencuri-curi waktu) mencoba dan mencicipi sendiri berbagai kenikmatan lainnya di luar. Biarkan mereka jadi bergairah dan gatal iseng-iseng kembali, seperti anak kecil yang penasaran mau coba ini-itu.
ADVERTISEMENT
Apakah itu solusi?
Jelas tidak.
Itu adalah langkah paling awal, sederhana, tapi sangat berharga untuk membawa mereka ke state of mind yang lebih sehat dan berdaya. Apabila apinya sudah tepercik, kita tinggal sabar mengipasnya hingga rasa penasarannya membesar, mereka bertanya-tanya dan terbuka akan ide ajakan follow Kelas Cinta, baca semua highlight IG saya, meminta bantuan psikolog, atau berbagai langkah pembelajaran praktis lainnya.
Para peneliti dari studi yang sama menulis, "It is not clear why divorced/unmarried people also have better overall health than unhappily married individuals. Dissolving a low-quality marriage may eliminate a significant source of stress, although this too could be, in part, a selection effect in that healthy individuals are more capable of leaving their marriages."
ADVERTISEMENT
Orang yang keluar dari hubungan bermasalah terbukti lebih sehat dibanding orang yang bertahan. Itu logika sederhana, Anda pasti mengerti kenapa begitu. Tapi satu hal yang jarang disadari adalah orang yang akhirnya mampu keluar dari hubungan bermasalah itu juga biasanya orang yang memang sudah cukup sehat/fit untuk melangkah.
Itu sebabnya saya akan lebih sering lebih mengajak mereka keluar main, menawarkan coba-coba kegiatan beda, menyimak curhatan mereka, memperkenalkan teman-teman baru, menerima mereka apa adanya, dsb daripada mengajari teknik-teknik melarikan dan menyelamatkan diri.
Itu sebabnya juga saya merekomendasi Anda bersikap serupa pada teman-teman yang masih terpasung dalam hubungannya.
Saya akui itu pekerjaan yang amat sulit dan panjang. Sadari bahwa Anda tidak wajib selalu ada untuk mereka dan membantu begitu. Anda tidak bertanggung jawab untuk hidup mereka.
ADVERTISEMENT
Lakukan hanya ketika Anda merasa tergerak atau memiliki waktu. Jika Anda terlalu berambisi, kegeregetan itu akan bocor dan terasa menekan mereka. Ingat, mereka sudah biasa ditekan di dalam hubungannya, jadi hal terakhir yang bisa Anda lakukan adalah menekan dan mendesak-desak mereka lagi.
Semoga tulisan ini mencerahkan Anda, baik sebagai orang yang sedang menjalani hubungan tidak sehat maupun sebagai sahabat seseorang yang demikian.
REFERENSI
ADVERTISEMENT