Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Cinta Itu Proses Biologis
30 Agustus 2019 11:01 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Lex dePraxis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ketika cinta terjadi dan tersimpan di sebuah lokasi, di manakah dia: hati atau otak? Ketika kita jatuh cinta dan mencintai seseorang, di manakah bayangan sosok dia tinggal: hati atau otak kita?
ADVERTISEMENT
Orang biasanya refleks menjawab hati, kadang sekaligus mengarahkan tangan ke dada, karena kita selalu merasakan sensasi di sana sepanjang interaksi mencintai dan dicintai. Bahkan kosa kata yang kita pakai untuk menjelaskannya langsung tertuju ke sana; jatuh hati, sakit hati, patah hati.
Namun realitanya, di balik rongga dada kita hanya ada jantung yang berdebar dan paru-paru yang kembang-kempis. Cinta dan seluruh memori dan perasaan kita tidak tersimpan kedua organ itu. Bukan hanya tidak tersimpan, keduanya juga tidak benar-benar terjadi di sana.
Memang benar cinta adalah urusan hati, namun hati tidak memiliki bentuk ataupun lokasi fisik yang sebenarnya. Apa yang kita sering sebut sebagai hati hanyalah manifestasi mental berisi kesadaran, memori, pikiran, perasaan, imajinasi, kepribadian, dan sebagainya yang muncul akibat kombinasi impuls listrik dan gejolak kimiawi di otak kita.
ADVERTISEMENT
Hati atau sebagian orang menyebut ‘jiwa', tidak berada di dalam dada, melainkan di dalam tempurung kepala. Kita merasa dada sejuk ringan saat jatuh cinta dan dasa sesak saat patah hati karena otak memproduksi hormon stres yang memengaruhi kinerja dan ritme jantung. Itu sebabnya, kondisi yang sangat positif ataupun sangat negatif langsung memberikan sensasi tertentu di dada.
Dalam penelitiannya, Helen Fisher, seorang biological anthropologist, menaruh 37 orang yang sedang jatuh cinta ke mesin pemindai otak.¹ Jadi, ketika orang-orang itu diminta memikirkan kekasihnya, kehadiran perasaan romantis langsung terdeteksi lewat peningkatan aktivitas di area otak yang kaya akan dopamine. Itu sebabnya Fisher menyebutkan rasa cinta itu seperti memiliki orang yang berkemah di dalam kepala kita.
ADVERTISEMENT
Dunia medis memiliki istilah brain death alias kerusakan organ otak yang tidak bisa diperbaiki lagi.² Walau fungsi jantung, paru-paru, dan sistem tubuh lainnya masih bisa dijalankan dengan bantuan mesin, pada titik itu secara medis seseorang sudah dinyatakan meninggal dunia.³ Ketika otak tidak lagi berfungsi, segala sesuatu tentang diri kita lenyap begitu saja.
Termasuk cinta, kasih sayang, dan segala sensasinya.
Biologi (Jatuh) Cinta
Oke, saatnya agak berat sedikit. Maaf, ya, namanya juga Kelas Cinta, bukan kata-kata bijak dan motivasi cinta. 😉
ADVERTISEMENT
Anda tidak perlu mempercayai apa pun yang saya tulis, tapi setidaknya berusahalah mengikuti dan memahaminya karena akan berguna suatu saat nanti.
Jadi, menurut kajian biologi evolusioner, manusia tidak semerta-merta dari awal punya sistem otak yang mengenal berbagai dimensi cinta seperti yang kita sekarang alami. Sama seperti seluruh makhluk hidup berevolusi dari makhluk sel tunggal, demikian juga spesies kita berevolusi selama sekian ribu generasi sampai akhirnya memiliki organ tubuh dan otak yang sangat kompleks. Berikut adalah video sangat singkat perkembangan seluruh makhluk hidup di bumi.
Para ahli biologi evolusioner seperti Fisher di atas sepakat bahwa perasaan cinta dan kemampuan mencintai merupakan hasil seleksi alam yang amat sangat panjang, berakar dari motif hidup setiap makhluk hidup: berkembang biak demi mempertahankan kelangsungan genetiknya.
ADVERTISEMENT
Ratusan ribu tahun yang lalu, spesies manusia belum mengenal ritual percintaan dan rumah tangga yang kompleks seperti kita saat ini. Apa pun yang dilakukan nenek moyang kita adalah untuk tujuan bertahan hidup dan bereproduksi. Keluarga prehistorik yang sesungguhnya tidak hidup dalam pernikahan harmonis monogami seperti yang kita biasa lihat di film Flintstones.
Salah satu komponen penting untuk bertahan hidup adalah seorang ibu perlu punya kepedulian yang tinggi pada anak-anaknya. Ibu yang tidak terikat emosional dengan anak jelas membuka risiko anaknya mati terlantar atau dimangsa binatang buas. Anak-anak yang terlahir dari ibu tanpa struktur otak demikian perlahan punah terseleksi oleh alam, hingga tersisa hanya kalangan manusia punya kapasitas biologis untuk merasa sayang pada anaknya.
ADVERTISEMENT
Karena ratusan ribu tahun yang lalu dunia masih sangat keterlaluan keras dan kejamnya, rasa sayang dan perlindungan ibu masih kurang cukup mengamankan masa depan anak. Itu sebabnya proses seleksi alam kembali bekerja: otak manusia berkembang memanfaatkan sistem biologis yang awalnya bertujuan mengikat ibu-dan-anak itu agar juga bisa terikat dengan ayahnya juga untuk waktu yang lebih lama. Ayah dan ibu dibuat merasa melekat (istilah teknisnya pair bonding), masa depan anak pun lebih terjamin dan selamat. ⁴
"Romantic love provides a potent motivational push toward the kind of devotion and commitment required for the huge investment needed to support a mate and raise children successfully." ⁵
Begitulah skema terbaik alam sampai akhirnya otak kita, homo sapiens, memiliki sistem untuk perasaan cinta, sayang, dan sejenisnya. Secara biologis, mesin otak kita di zaman modern ini masih sama persis seperti nenek moyang kita yang berburu dan bercocok tanam. Itu sebabnya setelah sekian tahun, perasaan lekat (baca: cinta) pada pasangan itu perlahan memudar dan hilang.
ADVERTISEMENT
Perasaan-perasaan itu sebenarnya hanya dimaksudkan untuk melekatkan ayah-ibu sampai anaknya besar, tidak untuk bertahan dalam ikatan pernikahan seumur hidup. Otak manusia modern memang mengenal cinta, tapi bukan cinta yang suci, permanen, tak bersyarat seperti yang kita pikir selama ini.
Menurut Fisher, cinta bukan emosi tunggal, melainkan kumpulan perasaan dari tiga sistem lust, attraction, dan attachment yang telah berevolusi selama ratusan ribu tahun. ⁶ Otak manusia memunculkan cinta lewat tiga sirkuit tersebut. Jika ada gangguan pada sirkuit itu, maka orangnya akan alami gangguan juga dalam mengekspresikan, menikmati, menjalani (hubungan) cinta.
ADVERTISEMENT
Agar Anda tidak mengantuk dan ketiduran, saya akan lanjutkan pembedahan biologi cinta ini dalam bentuk infografik. ⁷
Demi kemudahan pengajaran, di Kelas Cinta saya mengadopsi teori itu dengan nama lain -Arousal (ketergodaan), Attraction (ketertarikan), Attachment (kelekatan)- dan menetapkan perasaan yang paling intens hanya ada di tahap terakhir. Tahap pertama disebut MAU, tahap kedua disebut SUKA, tahap terakhir barulah disebut CINTA. Penjelasan yang lebih detil akan saya bahas di artikel lainnya.
Masing-masing dari ketiga sistem itu bisa berdiri sendiri. Itu artinya kita bisa tergoda orang A, tertarik orang B, dan terikat orang C. Bahkan kita bisa merasakan tergoda pada beberapa orang, tertarik beberapa orang, dan terikat beberapa orang. Intensitasnya memang tidak persis sama, tapi semua perasaan itu bisa muncul dan terpecah berbarengan ke beberapa orang.
ADVERTISEMENT
Kalau Anda tidak percaya, ingat bahwa seorang ibu (dan juga ayah) yang bisa mencintai semua anaknya secara (hampir) merata, termasuk mencintai orangtuanya dan mertuanya, dan berbagai keluarga lainnya. Bahkan saya yakin Anda juga diam-diam masih bisa merasakan beberapa aspek cinta pada mantan di masa lalu, walaupun sepenuhnya mencintai pasangan yang sekarang.
Temuan dunia biologi tersebut cukup sejalan dengan teori paling terkenal di dunia psikologi, yaitu Triangular Theory of Love. ⁸
Menurut Robert Sternberg, cinta terdiri dari tiga dimensi: Intimacy, Passion, dan Commitment. Kombinasi dari tiga dimensi itulah yang akan menghasilkan 7 jenis cinta seperti terlihat dalam tabel di atas. Kita bisa menumbuhkan ketiganya pada satu orang (yang disebut consummate love), bisa juga memiliki satu atau dua yang terpisah-terpisah pada orang berbeda.
ADVERTISEMENT
Kini Anda jadi paham ‘kan mengapa perselingkuhan adalah sesuatu yang sangat wajar terjadi. Sebegitu alami, saya selalu berseloroh begini: segala sesuatu selingkuh pada waktunya. Kalau merasa penasaran, silakan klik baca artikelnya . 😉
Oke, bagaimana perasaan Anda sekarang?
Pusing?
Atau makin bersemangat karena belajar hal baru?
Nah inilah tujuannya saya ajak Anda memahami perjalanan evolusi yang asing, ribet, dan membosankan di atas. Hampir semua masalah relasi cinta dan rumah tangga yang kita alami di kehidupan sehari-hari, termasuk diberitakan oleh media massa, itu terjadi karena ketidaktahuan kita tentang fenomena cinta di atas.
Misalnya:
ADVERTISEMENT
Cinta itu nyata, tapi bukan kekuatan positif yang akan menjawab dan memperbaiki segalanya. Cinta merupakan gejolak biologis yang menyenangkan, sekaligus juga bisa membahayakan. Ketika cinta berbalas, hari-hari terasa begitu berwarna indah. Tapi bila kita mengikutinya saja tanpa melibatkan logika , cinta akan membawa kita pada perilaku, keputusan, dan keadaan yang merusak hidup.
Lebih dari 10% pembunuhan di Amerika Serikat dilakukan oleh pasangan korban. ⁹ Atau ketika patah hati, rasa cinta tak berbalas dan hancur hati itu bisa membuat kita depresi, menarik diri dari masyarakat, bahkan melukai diri sendiri. ¹⁰
Memahami dan menerima cinta sebagai gejolak otak bukanlah upaya untuk menepis kekuatannya. Ini justru upaya untuk memegang kendali dan melindungi diri (serta pasangan, anak, rumah tangga) dari berbagai kekeliruan atau kecelakaan lainnya.
ADVERTISEMENT
Biologi Patah Hati
Sama seperti kita bisa kecanduan dengan alkohol, demikian juga kita bisa sebegitu kecanduan dengan biokimia cinta. Pada di awal hubungan dan semasa segala sesuatunya masih menyenangkan, otak kita dibanjiri berbagai senyawa tersebut di atas. Kita menikmati 'suntikan' oxytocin, dopamine, vasopresin, serotonin, dsb setiap kali berinteraksi dengan sang kekasih hati.
Bisa dibilang, kita bukannya mencintai pasangan. Kita mencintai berbagai biokimia positif yang tubuh kita produksi karena kehadiran dia. Kita menikmati biokimianya, bukan orangnya. Siapa orangnya tidak begitu penting, karena dia selalu bisa tergantikan. Orang yang sudah pernah berpacaran beberapa kali pasti tahu bagaimana rasanya cinta sekali pada pacar pertama, lalu pada pacar kedua merasakan yang sama lagi, lalu pacar ketiga, dst.
ADVERTISEMENT
Too dark, too much? Oke, maaf. Saya hanya menyampaikan informasi, Anda tidak perlu menerima ataupun mempercayainya.
Ketika hubungan terputus (apalagi saat lagi sayang-sayangnya 😄), kita mendadak kehilangan itu semua suguhan koktil kimia tersebut; atau lebih tepatnya, otak kita kehilangan sosok yang bisa memicu candu-candu tersebut. Pasokan yang terhenti membuat tubuh kita berantakan selama berminggu-minggu, kadang bisa sampai sekian tahun: cemas, depresi, dan terisolasi. ¹¹
Kita mengalami fase withdrawal cinta, persis ketika seorang pecandu kehilangan zat adiksinya. Itu sebabnya tidak sedikit orang jadi sakit, menggila cari cara apapun demi bisa balikan dengan mantan. Kalaupun tidak mau (atau bisa) balikan, kita terdorong untuk mengecek media sosial, mengenang kejadian masa lalu, seolah mengais-ngais sisa candu apapun yang masih bisa dicari untuk melipur lara.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, semua upaya itu malah makin menambah kesakitan, ¹² baik secara psikis dan juga fisik. ¹³ Sebegitu sakitnya, dunia medis mengenal fenomena stress cardiomyopathy alias broken heart syndrome, dimana orang yang patah hati memiliki jumlah adrenaline dan noradrenaline 2-3 kali lipat lebih banyak daripada orang yang serangan jantung beneran, dan 7 - 34 kali lebih banyak dibanding orang yang tidak sakit jantung. ¹⁴
Saat kesakitan begitu, kita merasa terluka di hati. Namun karena hati hanyalah manifestasi impuls listrik di otak, maka upaya manipulasi biologis pun bisa mengurangi hati yang patah itu. Ada dua studi yang menyatakan paracetamol ¹⁵ atau acetaminophen ¹⁶ mampu meminimalisir rasa sakit hati, walau itu sangat tidak dianjurkan karena zat yang sama juga menumpulkan perasaan positif.
ADVERTISEMENT
Sebuah studi di tahun 2010 menemukan orang-orang yang patah hati selalu teringat akan mantannya 85% dari sepanjang waktu bangun, dan selalu dibayangi keinginan untuk balikan. Mereka menunjukkan, “signs of lack of emotion control on a regular basis since the initial breakup, occurring regularly for weeks or months. This included inappropriate phoning, writing or e-mailing, pleading for reconciliation, sobbing for hours, drinking too much and/or making dramatic entrances and exits into the rejecter’s home, place of work or social space to express anger, despair or passionate love.” ¹⁸
ADVERTISEMENT
Ketika dipindai oleh MRI, terlihat bahwa otak mereka masih menganggap hubungan itu tetap ada. Otak yang sudah kecanduan itu tidak tahu bahwa hubungannya telah kandas. Jadi semua syaraf di sana masih menunggu suntikan neurotransmitter yang tidak pernah kunjung datang itu. Ketika melihat foto mantan, terlihat aktivitas pada bagian otak yang biasanya menyala ketika pecandu nikotin atau kokain sedang sakau.
Menurut sebuah studi, ada tiga strategi umum yang orang lakukan untuk mengurangi efek kehancuran saat patah hati: memikirkan keburukan mantan, mengevaluasi perasaan, dan mengalihkan perhatian. Cara pertama memang terbukti bisa mengurangi perasaan sayang, namun ternyata itu juga menambah rasa sakit dan merasa diri bersalah telah menyudutkan dia. ¹⁹
Selain itu, menyakini mantan sebagai orang yang buruk tidak memperbaiki struktur otak yang sudah kecanduan dia. Jika hubungan itu sudah berjalan lama, maka pihak yang ditinggal memiliki ribuan sirkuit syaraf yang sudah melekat terkoneksi dan menciptakan memori yang sangat kuat. Mustahil berusaha menghilangkan atau melupakannya; mengingat-ingat keburukan juga akan sekaligus memicu memori kebaikannya.
ADVERTISEMENT
Itu juga sebabnya kadang kita bisa terhempas perasaan-perasaan manis ketika bertemu dengan mantan dari bertahun-tahun yang lalu. Sebagian sirkuitnya masih melekat di otak. Kita sering membayangkan hati kita berlubang besar berbentuk mantan ketika hubungan kandas. Bayangan itu tidak sepenuhnya salah, tapi itu terjadi di otak kita dan bentuknya bukan lubang hampa, melainkan rangkaian sinapsis. Otak kita tidak dengan cepat dan mudah melepaskan rangkaian itu, walau kita sudah bahagia membangun kelekatan dengan pasangan yang baru.
Justin Garcia, associate director untuk riset dan edukasi di Kinsey Institute, mengatakan kangen dan terpercik lagi itu reaksi normal, sama seperti seorang mantan pemabuk yang sudah bebas alkohol satu dekade bisa mudah tersugesti lagi ketika melihat minuman.
ADVERTISEMENT
“It doesn’t mean you still want to be with that person, It doesn’t mean there’s something wrong with you. It means there’s a complex physiology associated with romantic attachments that probably stays with us for most of our lives — and that’s not something to be afraid of, particularly if you had a great run.” ²⁰
Itu alasan kita masih terus dibayangi rasa cinta dan sayang yang menggebu-gebu, khususnya pada minggu-minggu awal patah hati. Bukan tanda jodoh, bukan juga tanda cinta sejati. Murni efek jaringan otak yang masih terkoneksi.
Tidak ada satu atau dua tehnik untuk cepat mengatasi patah hati, karena seluruh otak dan tubuh kita sudah merekam keberadaan sang mantan. Sistem itu akan terus 'meraung-raung' kehilangan, dan akan tetap demikian sampai kebutuhannya terpenuhi.
Atas dasar pengetahuan itulah saya mengaplikasikan cara kedua dan ketiga dalam e-book Move On Dalam 30 Hari. ²¹ Pengetahuan tentang biologi cinta ini sangat memudahkan kita untuk paham bahwa sebenarnya bukan jiwa kita yang sedang terluka, tapi otak dan tubuh kita yang sedang kelewat banjir oleh hormon stres (cortisol dan epinephrine) dan kelewat defisit happy chemicals.
ADVERTISEMENT
Jadi yang perlu kita lakukan adalah melakukan aktivitas-aktivitas menyehatkan yang memicu produksi dopamine, endorphin, oxytocin, dan serotonin kembali. Olahraga, mengatur pola makan dan istirahat, ikut kegiatan sosial, dan berkonsultasi dengan psikolog merupakan empat langkah penting yang bisa memicu itu, selain tiga puluh ide dan tugas harian yang saya jelaskan dalam buku digital tersebut.
Sayang sekali kita tidak bisa membuat ramuan penawar cinta dari ranting Wiggentree, minyak biji Castor, dan ekstrak Gurdyroot seperti dalam kisah Harry Potter. ²² Namun saya menduga tidak lama lagi dunia medis akan mulai bereksperimen dengan obat yang bisa memanipulasi efek kelekatan cinta yang sudah sempat tercetak di otak manusia, seperti sudah diteliti dan diwacanakan oleh Brian Earp.
ADVERTISEMENT
Pemikiran serupa disuarakan oleh Larry Young, seorang neurobiologist, yang meyakini cinta bisa dimodulasi secara kimiawi. Sama seperti Fisher dan ilmuan evolusioner lainnya, Young memandang cinta sebagai, “an emergent property of a cocktail of ancient neuropeptides and neurotransmitters.” Menurutnya, hanya masalah waktu saja manusia menemukan obat untuk meningkatkan atau menurunkan efek cinta di ketiga sistem cinta di otak kita. ²⁴
ADVERTISEMENT
"There is always some madness in love. But there is also always some reason in madness," demikian kata Friedrich Nietzsche. Hari ini Anda baru saja menemukan (banyak) alasan tersebut. Alasan-alasan yang sangat masuk akal, tapi tidak nyaman untuk diterima.
Saya bisa paham jika sampai paragraf ini pun Anda (masih) merasa berat menerima fakta cinta sebagai 'fatamorgana' yang terjadi di otak manusia. Walau sudah baca penjabaran cinta dari kacamata psikologi tempo hari dan biologi di atas ini, Anda belum siap untuk melepaskan keyakinan akan keagungan cinta. Tidak apa-apa, Anda tidak perlu memaksakan diri dan merelakannya hari ini.
Kemungkinan besar, Anda sedang berada di tahapan pertama dari jalur Stages of Grief yang memang dialami orang berduka dan patah hati: denial. ²⁵ Masih ada empat langkah lagi untuk tiba di tahapan Acceptance.
ADVERTISEMENT
Sabar saja, tak ada gunanya terburu-buru.
Cepat atau lambat, hati (baca: otak) Anda akan sampai di sana. 😊
[REFERENSI]
¹ Romantic love: an fMRI Study of a Neural Mechanism for Mate Choice
² Understanding Brain, Mind and Soul: Contributions from Neurology and Neurosurgery
³ Why Brain Death is Considered Death and Why There Should Be No Confusion
⁴ The Evolution of Love in Humans
⁵ Pair-Bonding, Romantic Love, and Evolution: The Curious Case of Homo sapiens
⁶ Defining the Brain Systems of Lust, Romantic Attraction, and Attachment
⁷ Love and Science
⁸ A Triangular Theory of Love
⁹ Federal Bureau of Investigation Uniform Crime Reports
¹⁰ Coping With A Breakup: Negative Mood Regulation Expectancies and Depression Following The End of A Romantic Relationship
¹¹ Broken heart, broken brain: The Neurology of Breaking Up
¹² Sakitnya Tuh Di Sini: 5 TKP Sakit Hati
¹³ Social Rejection Shares Somatosensory Representations with Physical Pain
¹⁴ On Romantic Love
¹⁵ Hurt Feelings? You Could Take A Pain Reliever
¹⁶ Acetaminophen Reduces Social Pain: Behavioral and Neural Evidence
¹⁷ Tylenol Might Dull Emotional Pain Too
¹⁸ Reward, Addiction, and Emotion Regulation Systems Associated with Rejection in Love
¹⁹ Down-regulation of Love Feelings After A Romantic Break-up
²⁰ Your Brain's Response To Your Ext: According To Neuroscience
²¹ Move On Dalam 30 Hari
²² Love Potion Antidote
²³ If I Could Just Stop Loving You: Anti-Love Biotechnology and the Ethics of a Chemical Breakup
²⁴ The Neurobiology of Pair Bonding
²⁵ The Five Stages of Grief
ADVERTISEMENT