Sinergitas Kebijakan bagi Perempuan yang Rentan HIVAIDS di Jawa Barat

Lia Fitrianingrum
Analis Kebijakan ahli muda Pemerintah Propinsi Jawa Barat
Konten dari Pengguna
4 September 2022 21:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lia Fitrianingrum tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber yogi prayoga dokpim jabar
zoom-in-whitePerbesar
sumber yogi prayoga dokpim jabar
ADVERTISEMENT
Isu kasus HIV AIDS di Jawa Barat kembali merebak di media massa akhir-akhir ini yang menyebabkan Jawa Barat dianggap sebagai daerah darurat HIV AIDS. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat selama 30 tahun lebih, sejak tahun 1989 hingga 2022, ada 55.609 orang dengan HIV, sedangkan data AIDS 12.223 Orang dan tidak ada peningkatan kasus HIV AIDS yang signifikan per tahun, terutama tahun 2022. Apabila dilihat berdasarkan gender maka jumlah yang terkena HIV AIDS baik secara Nasional dan regional Jawa Barat tidak lebih dari 50% wanita terkena HIV AIDS, tetapi tentu ini tidak bisa diabaikan begitu saja mengingat perempuan sangat rentan terhadap penularan HIVAIDS.
ADVERTISEMENT
Bila pada awalnya kelompok yang beresiko tinggi HIV AIDS ialah mereka dengan perilaku seksual tertentu, seperti kelompok homoseksual, heteroseksual yang berganti-ganti pasangan, pekerja seksual, dan mereka yang menggunakan jarum suntik tidak steril, antara lain para pengguna narkoba suntik, kini HIVAIDS juga menginfeksi perempuan, istri atau ibu rumah tangga yang setia pada suami atau pasangannya. Jadi paparannya pun tidak lagi hanya pada kelompok yang selama ini telah terstigma, tapi juga telah merambah luas ke kelompok paling rentan, yaitu perempuan dan bayi.
Ibu Rumah Tangga rentan terinfeksi virus HIV AIDS karena rendahnya daya tawar dan negosiasi dalam hubungan seksual. Kerentanan penularan HIV dan AIDS pada perempuan disebabkan oleh minimnya informasi tentang hak reproduksi dan hak seksual bagi perempuan. Perempuan Ibu Rumah Tangga mempunyai keterbatasan akses mengenai informasi HIVAIDS serta ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender menyebabkan adanya relasi yang tidak seimbang antara suami dan istri, sehingga perempuan tidak bisa menolak atau tidak bisa meminta suaminya menggunakan pengaman ketika memaksakan hubungan seksual tidak aman. Perempuan juga tidak bisa menolak hubungan seksual meskipun telah mengetahui suaminya memiliki hubungan dengan sejumlah perempuan lain di luar perkawinannya. Imbas lebih jauh apabila ibu rumah tangga ini hamil maka anak yang akan dilahirkannya berpotensi terkena HIV AIDS dari ibunya.
ADVERTISEMENT
Faktor lainnya yang ikut mempengaruhi terjangkitnya perempuan ibu rumah tangga terhadap HIVAIDS adalah adanya potensi kekerasan seksual terhadap perempuan, khususnya dalam rumah tangga yang memiliki peluang terkena infeksi menular seksual (IMS) termasuk HIVAIDS. Secara khusus terdapat tiga faktor yang menyebabkan perempuan mengalami kekerasan seksual rentan terinfeksi HIVAIDS yaitu faktor ekonomi, biologis dan sosial kultural.
Pertama adalah faktor biologis, seperti struktur di dalam dinding vagina yang memiliki lapisan tipis yang mudah terluka. Kedua, faktor sosial kultural. Perempuan sulit untuk menolak hubungan seksual dengan pasangannya karea perempuan tidak memiliki kekuasaan untuk menyarankan penggunaan pengaman dalam hubungan seksual. Faktor tabu membicarakan seks, kesehatan reproduksi, dan informasi lain membuat perempuan sulit membicarakan masalah seks dengan pasangannya, apalagi didukung dengan perkawinan diusia yang masih belia. Akibat lebih lanjut, perempuan sulit melakukan tindakan cepat untuk mengakses pengobatan bagi penyakit seksual yang sudah dideritanya. Ketiga adalah faktor ekonomi. Perempuan umumnya sangat tergantung secara ekonomi kepada laki-laki. Ini menyebabkan perempuan tidak memiliki posisi tawar menolak hubungan seksual dengan pasangannya.
ADVERTISEMENT
Persoalan HIV AIDS bukan persoalan sektor kesehatan saja, tetapi juga persoalan multidimensi. Dalam penanganan HIV AIDS pun membutuhkan pelibatan semua stakeholders. Tidak hanya peran para komunitas penggiat HIVAIDS saja tetapi juga peran Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat menjadi sangat dibutuhkan. Saat ini dengan telah diterbitkannya Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang merupakan kekuatan baru bagi perempuan, mengingat UU ini memberikan penguatan perlindungan dan pemulihan terhadap korban kekerasan seksual.
Sinergitas pentaheliks menjadi solusi bagi upaya pencegahan, perawatan dan monitoring yang dapat dilakukan. Persoalan HIV AIDS terutama bagi kelompok rentan tidak hanya berbicara mengenai perawatan dan pengobatan pasca terkena HIV AIDS, tetapi berbicara mengenai edukasi dan pencegahan. Remaja Perempuan dan diusia produktif yang sudah menikah hendaknya dibekali dengan pendidikan kesehatan organ reproduksi. Pendidikan kesehatan seksual sejak dini memang idealnya dilakukan oleh orang tua dengan pembekalan ilmu agama yang baik, yang kemudian dilegalisasi di sekolah-sekolah. Edukasi kesehatan reproduksi sebaiknya dilakukan dari tingkat SD sampai dengan SMU sesuai usia anak. Fase remaja perempuan khususnya, sangat rentan jika tidak memiliki pengetahuan tentang pergaulan.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Provinsi Jawa Barat sendiri telah mengundangkan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jawa Barat Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pencegahan Dan Penanggulangan Human Immunodeficiency Virus (Hiv) Dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (Aids). Perda ini dimaksudkan untuk untuk menekan laju epidemi HIV dan AIDS pada populasi kunci dan populasi umum, melalui penyediaan dan penyebarluasan informasi serta menciptakan suasana kondusif, penyediaan pelayanan perawatan, dukungan dan pengobatan kepada ODHA secara komprehensif, dengan meningkatkan peran masyarakat dan mengembangkan kemitraan.
Regulasi yang sudah tersedia tersebut diikuti dengan upaya nyata yang dilakukan dalam penanganan permasalahan HIV AIDS di Jawa Barat seperti melakukan screening HIV terhadap populasi rawan HIV, dengan melakukan kolaborasi dengan Pemerintah Pusat, Kabupaten Kota dalam meredam perluasan dan melakukan deteksi dini. Pemerintah Provinsi Jawa Barat juga memiliki program perlindungan dan jaminan sosial bagi masyarakat miskin melalui beberapa bantuan dan Program rehabilitasi sosial. Kebijakan Pemerintah Jawa Barat dengan model pentaheliks ini perlu lebih disinergikan dengan program yang lebih nyata terpadu dan diagendakan dalam kebijakan prioritas daerah sehingga penanganan HIV AIDS dapat tepat sasaran dari hulu ke hilir.
ADVERTISEMENT
Tentu persoalan HIV AIDS bukan hanya persoalan regulasi, kesehatan, anggaran tetapi juga persoalan sosial, ekonomi masyarakat, pendidikan, komunikasi, penyebaran informasi, kesetaraan gender, maka diperlukan sinergitas kerjasama. Kerjasama lintas program dan sektor sangat perlu dilakukan, dengan pelibatan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota,tokoh masyarakat, akademisi, komunitas penggiat, media dan keluarga penderita. Keterlibatan tokoh masyarakat dan pemuka agama saat ini menjadi unsur utama dalam membantu memberikan motivasi, komunikasi dan edukasi sehingga dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dalam upaya mencegah penularan HIVAIDS dan mengurangi reaksi masyarakat terhadap stigma dan diskriminasi terhadap penderita HIV/AIDS terutama perempuan.