Cikaracak Ninggang Batu Laun-laun Jadi Legok

Linda Satibi
Guru SMAIT Adzkia Sukabumi, lulusan Universitas Padjadjaran Bandung jurusan Sastra Jepang. Penulis cerita anak, pernah mendapat IBF Award untuk kategori Fiksi Anak Terbaik.
Konten dari Pengguna
2 Agustus 2021 12:02 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Linda Satibi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pemenang Lomba Menulis FB Grup Teman Kumparan
Bahagia membersamai orangtua hingga masa senjanya. (sumber foto: dokumen pribadi)
Anda yang bukan orang Sunda, tentu mengernyit membaca judul tulisan ini, Cikaracak Ninggang Batu Laun-Laun Jadi Legok. Bahkan boleh jadi, ada juga orang Sunda yang menggeleng, tanda nggak paham..😅
ADVERTISEMENT
Itu adalah peribahasa Sunda yang artinya air tetesan yang terus menerus menimpa batu, lama-kelamaan secara perlahan tapi pasti, akan membuat batu yang keras menjadi cekung. Peribahasa ini biasa dikiaskan pada seseorang yang menuntut ilmu. Maksudnya, materi pelajaran yang sulit, bila terus dipelajari dengan sabar dan tekun, pasti lama-lama akan bisa dipahami. Begitu pun dalam hal pekerjaan. Serumit atau seberat apa pun, bila terus berusaha pantang menyerah, pasti akan selesai juga.
Namun, saya melihat sisi lain yang tersirat dari peribahasa tersebut. Betapa kelembutan akan mampu melunakkan sesuatu yang keras. Bisa dibayangkan, air yang menetes itu, hanya berupa butiran lembut yang jatuhnya pun dengan lembut, tetapi bisa membuat batu yang begitu keras menjadi cekung bahkan hingga berlubang.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut bisa diterapkan dalam pola hubungan anak dengan orang tua. Tidak jarang saya menerima keluhan siswa, "Bu, orang tuaku ngeselin deh, nggak mau ngertiin aku!" Sebagai guru SMA, saya bisa memahami gejolak emosi remaja seusia itu. Karena saya terbiasa bergaul dengan mereka. Maka saya tidak langsung menyalahkannya.
Yang pertama saya tanamkan bahwa orang tua pasti ingin kebaikan bagi anaknya. Biasanya siswa saya berkilah, "Kebaikan apaan? Itu yang ada malah bikin aku bètè!"
Kenapa jadi berlawanan gitu, ya? Itulah adanya perbedaan cara pandang. Dan masing-masing mengklaim dari sisinya-lah pendapat yang benar. Ibunya bilang, "Ih, apa-apaan sih kayak gitu? Nggak boleh!" Sementara anaknya berdalih, "Duh, ibu kuno, deh.. kan bla.. bla.. bla.."!
ADVERTISEMENT
Bisa dibayangkan bukan, bila sama-sama keras kepala, ya nggak ada solusi, konflik terus meruncing. Kedua pihak sama-sama nada tinggi.
Maka di sinilah peribahasa itu mengajarkan. Bila anak yang berusaha melembutkan hati, melunakkan suara, bukan nggak mungkin orang tua lama-lama akan luluh.
Anak harus berusaha menerima kondisi orang tua. Mau bawel, cerewet, nggak percayaan, dan semacamnya, ya diterima aja. Orang tua memiliki masa hidup yang lebih lama. Sekian tahun dengan perangai demikian, tentu bukan hal mudah untuk mengubahnya. Maka anak, sebagai yang lebih muda, akan lebih bijak bila berusaha memahami.
Memang iya mungkin capek harus manut terus, sementara hati menolak. Tapi, cobalah ingat, bahwa segala kebaikan akan kembali kepada diri kita. Apalagi berbuat baik kepada orang tua. Tuhan sangat suka anak yang berbakti kepada orang tua.
ADVERTISEMENT
Bisa dilihat, orang-orang yang takzim kepada orang tua, apalagi kepada Ibu, jalan hidupnya lancar dan kesuksesan ada di tangan. "Ya iyalah, enak berbuat baik sama ortu yang baik mah, nggak kayak ortu aku yang ngeselin!" Lagi-lagi si remaja menyanggah.
Ilustrasi anak dan ibu. Foto: Shutter Stock
Jadi begini, Nak.. Lihat lagi itu air tetesan yang menetesi batu. Tetes demi tetes akhirnya mampu menembus kerasnya batu. Apalagi kita manusia, yang dengan kelembutan dan kesabaran, pasti Tuhan akan membantu. Bukan tidak mungkin, kekerasan pendapat yang dipegang kukuh orang tua akhirnya lumer. Maupun sikapnya yang ngeyel bisa melunak.
Meskipun di awal saya contohkan ini kasus anak remaja, tapi ini berlaku juga bagi orang dewasa yang orang tuanya dikaruniai usia panjang hingga mungkin lebih dari 60-an tahun. Maksudnya, bagaimana pun kondisi orang tua, yang namanya anak harus berusaha menerima. Se-'buruk' apa pun, tetaplah berbuat baik kepadanya. Doakan selalu agar kebaikan senantiasa melingkupinya.
ADVERTISEMENT
"Ah, saya mah berbuat baik terus, tapi tetep aja orang tua nggak ngerti-ngerti." Coba sudut pandangnya diarahkan begini: kalau orang tua nggak ngerti-ngerti, lalu kita ngebales dengan perilaku nggak baik, maka kita rugi dua kali. Satu, orang tua yang masih begitu, dan kedua, kita dapet dosa karena berbuat tidak baik. Namun bila orangtua keukeuh keras kepala, sementara kita berbuat baik, maka kita punya tabungan pahala karena kebaikan yang kita lakukan.
Jadi, jangan ngerasa rugi untuk berbuat baik kepada orang tua. Jangan pula lelah lalu menyerah. Ingatlah lagi kesabaran tetesan air. Tak ada yang sia-sia dari usaha yang dilakukan. Kelembutan akan melahirkan kelembutan dan kedamaian. Sebaliknya kekerasan yang dibalas dengan kekerasan lagi, nggak akan ada titik temu. Ketika akhirnya bisa berdamai, maka hubungan dengan orang tua akan terasa nyaman dan membahagiakan. Seperti itu yang saya rasakan dan saya lihat. Kelembutan orang tua terasa bagai oase di tengah sabana. Bikin nyess banget. Begitu pun orang-orang di sekitar saya, bahkan murid-murid saya yang bisa menahan ego di hadapan orang tuanya, mereka akhirnya lulus seleksi masuk di PTN yang diidamkan.
ADVERTISEMENT
Jadi tunggu apa lagi? Selamat melembutkan hati, selembut tetesan air.