Suka Duka Mahasiswa KMP Mengajar di SD Terpencil

lita tania
Mahasiswi Semester 7 di Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Jawa Barat.
Konten dari Pengguna
24 Desember 2020 8:20 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari lita tania tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber; kemendikbud.go.id.
zoom-in-whitePerbesar
Sumber; kemendikbud.go.id.
ADVERTISEMENT
Kegiatan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) memberikan hak belajar tiga semester di luar program studi untuk meningkatkan kompetensi baik softs skill maupun hard skill agar lebih siap dan relevan dengan kebutuhan zaman sebagai pemimpin masa depan bangsa yang unggul dan berkepribadian.
ADVERTISEMENT

KAMPUS MENGAJAR PERINTIS

Kampus Mengajar Perintis (KMP) merupakan salah satu bentuk pelaksanaan MBKM berupa asistensi mengajar untuk memberdayakan mahasiswa dalam membantu proses pembelajaran di Sekolah Dasar berbagai desa/kota di Indonesia.
Sebanyak 2.390 Mahasiswa, dengan 89 Perguruan Tinggi, 237 Dosen Pembimbing Lapangan, 692 Sekolah Dasar, 277 Kabupaten/Kota serta 32 provinsi ikut berperan dalam mensukseskan program Kampus Mengajar Perintis.
Para mahasiswa ini sudah melalui penyeleksian yang dilakukan oleh pihak kampus, LPDP, serta tim Kemendikbud. Sudah dua bulan lebih, terhitung dari tanggal 12 Oktober 2020 hingga 18 Desember 2020, mereka diterjunkan ke lapangan.
Di tempat mengajar masing-masing, para mahasiswa menemukan beragam pengalaman unik dan menarik. Pengalaman itu mereka bagikan dalam assesmen mandiri di web kampusmerdeka.kemendikbud.go.id. Dalam assesmen ini, mahasiswa akan membagikan cerita selama proses mengajar, proses membantu adaptasi teknologi dan proses membantu administrasi, seperti hal-hal menarik yang mereka temukan, inovasi yang mereka hasilkan, serta hambatan dan rencana perbaikan yang akan mereka lakukan selama proses tersebut.
ADVERTISEMENT
Vannesya Trifhadilla Maudian, mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia, bercerita bahwa ia mendapat tugas mengajar di SDN 2 Hergamanah, Garut, Jawa Barat. Vannesya menyampaikan kesan pertama saat menjalankan program KMP yang sangat sulit beradaptasi dengan metode Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).
“Ketika ingin melakukan visit home ke masing-masing siswa, ternyata jarak rumah para siswa dari sekolah cukup jauh,” papar Vannesya.
Adapun Vannesya menyatakan bahwasanya melakukan PJJ melalui daring di SD tersebut tidak akan bisa, karena keterbatasan fasilitas seperti akses internet dan kondisi siswa yang tidak memiliki gawai ataupun laptop.
“Banyak siswa dan orang tua siswa yang nggak punya hp atau laptop yang bisa dipakai untuk zoom dan lain-lain, karena rata-rata hp yang dimiliki itu hp jadul. Di sekolah pun lampu, listrik, sinyal tuh nggak ada. Makanya nggak ada fasilitas yang memumpuni untuk PJJ. Akhirnya belajar bersama di sekolah, Dan saya mengajar di kelas 4 dan kelas 6. Pembelajarannya itu di hari Selasa, Rabu, sama Jum’at, dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan,” kata Vannesya tentang solusi untuk tetap memberikan pembelajaran kepada siswa.
ADVERTISEMENT
Lain lagi dengan Neng Salbiyah, mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia. Selain praktik mengajar di SDN Angkasa 01, Bandung, Jawa Barat, Neng juga melakukan sharing dengan guru dan kepala sekolah terkait bagaimana pemanfaatan modul dan adaptasi rumah belajar yang diberikan oleh Kemendikbud, serta adaptasi teknologi lainnya. Kemudian pada akhir bulan Oktober, Neng juga membantu dalam monitoring dan evaluasi untuk kepala sekolah.
“Dalam praktik mengajar saya membuat video pembelajaran dan pemanfaatan teknologi pembelajaran lainnya yang disesuaikan dengan tema yang ada di RPP. Saya juga membuat daftar kehadiran untuk jenjang kelas 1, 3, dan 6. Pada akhir Oktober saya bantu monev,” cerita Neng.
Sementara itu, kendala yang dihadapi oleh Neng dan guru-guru adalah masih ada beberapa orang tua yang tidak memiliki gawai jadi sulit untuk melakukan komunikasi. SDM mahasiswa KMP di sekolah tersebut juga masih kurang. Adapun kendala lainnya yakni keterhambatan pengumpulan tugas.
ADVERTISEMENT
“Ada orang tua yang nggak punya gawai, jadi sulit komunikasi. Sdmnya kurang, kita ada 5 orang sedangkan kelas itu ada 10 kelas, karena kelas 1 dan 4 itu dua kelas, jadi kewalahan. Trus ada kendala setor tugas ke gclass itu dari kelas 1-6 hanya kelas 1 yang lancar, yang lain tiap setor nggak pernah sampe setengahnya karena masih ada yang kurang paham,” imbuh Neng.
Desti Pratiwi, mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia, bercerita pengalamannya ikut program KMP di SDN Otista Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat. Ia mengatakan semenjak mengikuti kegiatan ini, Desti merasa semakin semangat menjalani hari karena memiliki kegiatan baru yakni tuntutan pekerjaan sebagai guru bantu.
“Sejak ikut KMP saya jadi semangat, guru-guru pun sangat ramah dengan mahasiswa. Saat pertama konsultasi datang ke sekolah disambut dengan hangat, kegiatan di sekolah lebih menyenangkan dan tidak membebani,” ungkap Desti.
ADVERTISEMENT
Ia menyampaikan pada saat melakukan pembekalan media pembelajaran, ia dan para guru yang lain pun semakin akrab. Mereka saling membantu satu sama lain sehingga kegiatan mengajar menjadi menyenangkan. “Saya dan para guru dapat saling membantu dan lebih akrab. Kegiatan jadi semakin seru, nggak bosan,” katanya.
Desti melanjutkan, ada beberapa kendala saat melakukan proses pembelajaran, khususnya saat melaksanakan pembelajaran secara daring karena tidak semua siswa memiliki gawai. Adapun kendala lainnya seperti sinyal yang masih buruk, dan para guru yang belum melek teknologi.
“Pembelajaran daring tidak maksimal karena nggak semua siswa punya hp. Banyak siswa yang pake hp orang tuanya, dan orang tuanya kadang kerja, jadi kalau belajar daring tuh cuma beberapa yang hadir. Kadang sinyal juga masih jelek, dan banyak guru yang masih belum bisa menggunakan dan memanfaatkan teknologi secara baik,” jelas Desti.
ADVERTISEMENT