Konten dari Pengguna

PPN 12%: Dilema Antara Pembangunan dan Kesejahteraan

Santika Betara
Saya mahasiswa aktif Program Studi Akuntansi Perpajakan semester 7 di Universitas Pamulang. Dengan minat yang kuat terhadap perpajakan dan keuangan, saya aktif mengikuti berbagai kegiatan akademik seperti seminar dan workshop terkait perpajakan.
30 Desember 2024 10:14 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Santika Betara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dibuat oleh penulis di Canva
zoom-in-whitePerbesar
Dibuat oleh penulis di Canva
ADVERTISEMENT
Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% telah menyulut perdebatan sengit yang mengguncang sendi-sendi perekonomian Indonesia. Kebijakan kontroversial ini, yang digadang-gadang sebagai upaya pemerintah untuk menggenjot pendapatan negara demi membiayai proyek-proyek pembangunan infrastruktur dan program kesejahteraan, justru memicu kekhawatiran mendalam di kalangan masyarakat, terutama mereka yang berpenghasilan rendah.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks daya beli masyarakat yang masih lemah, apakah kenaikan ini benar-benar merupakan solusi fiskal yang efektif atau justru akan memperburuk ketimpangan ekonomi di negara ini?
Perubahan tarif ini menjadi kesempatan penting untuk menilai kembali peran Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam sistem perpajakan di Indonesia. Sebagai pajak konsumsi yang bersifat regresif, PPN cenderung memberikan beban yang seragam kepada semua lapisan masyarakat, tanpa mempertimbangkan kemampuan ekonomi masing-masing individu.
Pemerintah berargumen bahwa kenaikan PPN merupakan langkah strategis untuk mewujudkan pemerataan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang. Mereka berargumen bahwa dengan dana tambahan yang diperoleh, pemerintah dapat membangun infrastruktur yang lebih baik, meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan, serta menciptakan lapangan kerja baru. Selain itu, pemerintah juga menekankan aspek keadilan fiskal, di mana kelompok masyarakat yang mampu akan lebih banyak berkontribusi dalam pembangunan negara.
ADVERTISEMENT
Namun, di sisi lain, masyarakat merasa kebijakan ini justru akan memperberat beban hidup mereka. Kenaikan harga barang dan jasa yang diproyeksikan akibat kenaikan PPN dikhawatirkan akan menggerus daya beli masyarakat, terutama di tengah kondisi ekonomi yang masih belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi Covid-19. Banyak masyarakat yang mempertanyakan efektivitas dan transparansi penggunaan dana pajak yang selama ini telah mereka bayarkan. Mereka merasa belum merasakan manfaat nyata dari pajak yang telah mereka setorkan.
Kritik lain yang muncul adalah mengenai timing dari kebijakan ini. Beberapa kalangan menilai bahwa kenaikan PPN di tengah situasi ekonomi yang belum stabil justru akan memperlambat pertumbuhan ekonomi dan memperparah ketimpangan sosial. Mereka menyarankan agar pemerintah mencari alternatif sumber pendapatan lain, seperti melalui optimalisasi penerimaan pajak dari sektor korporasi atau dengan memperketat pengawasan terhadap potensi tindak pidana korupsi.
ADVERTISEMENT
Para ahli menyarankan perlunya pendekatan yang lebih seimbang dalam merumuskan kebijakan pajak. Pemerintah diharapkan dapat memberikan insentif bagi usaha kecil dan menengah serta melindungi kelompok rentan dari dampak negatif kenaikan pajak. Selain itu, transparansi dalam penggunaan dana hasil pajak juga sangat penting untuk membangun kepercayaan publik.
Dilema antara pembangunan dan kesejahteraan menjadi tantangan besar bagi pemerintah Indonesia. Dalam menghadapi situasi ini, dialog terbuka antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta sangat diperlukan untuk menemukan solusi yang saling menguntungkan. Hanya dengan cara ini, cita-cita pembangunan yang berkelanjutan dapat tercapai tanpa mengorbankan kesejahteraan rakyat.
Dengan demikian, masa depan kebijakan PPN 12% akan sangat bergantung pada bagaimana pemerintah mampu menyeimbangkan antara kebutuhan pembangunan dan perlindungan terhadap kesejahteraan masyarakat.
ADVERTISEMENT