Konten dari Pengguna

Nestapa Anak Rantau yang Enggak Bisa Ngomong 'Lo-Gue'

27 November 2019 16:31 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lolita VC tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi perantau. Dok Flickr/ Agung Maryadi
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perantau. Dok Flickr/ Agung Maryadi
ADVERTISEMENT
Bulan Oktober tahun 2017 adalah momen pertama kali aku diterima kerja di kumparan dan pertama kalinya juga menginjakkan kaki di Jakarta.
ADVERTISEMENT
30 hari sebelum mulai bekerja di kumparan, aku menghabiskan kontrak kerjaku di sebuah media nasional di Solo.
Kabar tentangku yang akan melanjutkan kerja di Jakarta, tentu sudah ramai jadi bahan gunjingan anak-anak kantor.
Aku ingat, seorang rekan kerja, sebut saja namanya Mbak Galak, suatu hari menghampiri meja kerjaku dan berkata,"Jakarta tuh keras, lo kalau enggak bisa adaptasi gak akan sanggup. Gue aja setahun di Jakarta, gak mau balik," ujarnya menggebu-gebu.
Aku yang mendengarnya saat itu bereaksi biasa saja, yang enggak biasa ialah ketika ku sadari bahwa logat Mbak Galak yang mulanya 'kowe karo aku' berubah seketika menjadi 'lo dan gue'. Mungkin membicarakan Jakarta memang harus berganti dengan 'lo gue' supaya feel hype and dope-nya dapet.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, sesampainya di rumah, perlahan tapi pasti omongan Mbak Galak ini merasuk ke sanubariku. Aku mulai memikirkan, bagaimana agar aku bisa beradaptasi di Jakarta. Aku lantas mulai latihan ngomong 'lo-gue' di kamar dengan logat yang estetik dan enggak medhok tentunya.
Namun, baru sehari dua hari latihan, aku kok mulai merasa gelisah. Gelisah karena gilo (geli) mendengarkan aku yang ngomong 'lo-gue' dengan logat Solo.
Lagi pula, masa iya hanya karena aku enggak bisa ngomong 'lo-gue', orang-orang akan membenci dan menjauhi. Ra masyook blas (enggak masuk akal).
Hal ini lantas mengingatkanku pada sebuah cuitan milik @sudjiwotejo tentang anak rantau di Jakarta yang aku simpan di Twitter sebagai penyemangat apabila beradaptasi di Jakarta terasa begitu berat.
ADVERTISEMENT
Di akun Twitternya, seniman gondrong ini menulis, 'Sudah hampir 30 tahun aku hidup di Jakarta masih belum bisa ngomong Lo-Gue'.
Membaca cuitan itu dengan kondisi bingung enggak bisa ngomong logat 'lo-gue' adalah hal yang perlu ku syukuri. Aku jadi merasa enggak sendiri mengarungi bahtera 'lo-gue' ini.
Omongan Mbak Galak tak terbukti
Kita flashback sebentar omongan Mbak Galak. (Jika dalam sebuah sinetron omongan Mbak Galak ini hanya berupa suara dengan penampakan mimik ndombleh-ku di layar kaca)
"Jakarta tuh keras, lo kalau enggak bisa adaptasi gak akan sanggup. Gue aja setahun di Jakarta, gak mau balik."
Nyatanya, kerja di kumparan terasa menyenangkan. Bahkan di hari pertama aku bertemu dengan Sari, ia mengajariku dengan sabar, lembut dan ke-aku-kamu-an. Meskipun aku juga tak keberatan jika Sari ngomong dengan 'lo-gue'.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya bertemu Marissa dan Eka yang juga memahami kesulitan berbahasa logat Jakarta yang aku alami. Sehingga perbedaan saat bercakap jadi terasa biasa saja.
Aku ingat suatu hari Marissa curhat, gara-gara sekarang di kantor kalau ada aku ngomongnya 'aku-kamu' dia jadi kebablasan ngomong 'aku-kamu' dengan teman-temannya yang lain.
Saat itu aku hanya mendengarkan sambil tertawa. Aku kalau begini sudah bisa disebut influencer kali, ya.
Hal serupa aku temui di Kolaborasi, bahkan lebih ekstrem. Bukan hanya Jawa, dan Jakarta, teman-teman Kolaborasi juga sering berbicara Bahasa Sunda. Walaupun aku enggak paham apa yang mereka bicarakan, tapi kalau mendengar anak-anak berbahasa Sunda, serasa lagi cangkrukan di saung.
Adaptasi
Empat bulan pertamaku tinggal di Jakarta adalah masa-masa sulit beradaptasi. Aku yang sudah terbiasa berbahasa Jawa-Solo dan Jawa-Malang ini terkadang susah untuk mengutarakan satu kalimat penuh dalam Bahasa Indonesia walaupun enggak pakai 'lo-gue' setidaknya dengan logat yang lebih Jakarta.
ADVERTISEMENT
Terkadang aku sering menertawakan diri sendiri apabila pelafalan saat berbicara Bahasa Indonesia berlogat Jakarta yang aku ucapkan tak sesuai 'tajwid'.
Misalnya, saat aku mencoba ngomong 'gue' yang malah terdengar seperti 'ggghuwwe' dengan pelafalan huruf 'g' yang lebih tebal sehingga menyebabkan kata yang terdengar medhok. Atau ketika aku mencoba mengucapkan kata yang berawalan huruf 'B' seperti 'batu' yang malah seperti 'mmmmbbbbbaaaattu', 'mmmBaliiii', 'mmmBogor'.
Meski sepele, empat bulan pertama beradaptasi di Jakarta ini ku akui merupakan titik nadir dalam perjalanan hidup dan karierku. Namun, aku melewatinya dengan gembira.
Kemajuan
Kini, tak terasa sudah dua tahun aku bekerja dan tinggal di Jakarta. Tapi masih saja nyaman dengan 'aku-kamu'.
Walaupun begitu, sepertinya dalam dua tahun aku sudah bisa membuat kemajuan dalam perlogatan Bahasa Indonesia versi Jakarta 4.0 (dibaca four point o).
ADVERTISEMENT
Testimoni dari Sari, orang pertama yang kutemui saat bekerja di kumparan mengatakan, "Kamu sekarang enggak medhok lagi kalau ngomong, mendingan. Enggak kaya dulu pas awal masuk. Haha".
Pada akhirnya, tulisan ini tak ada tujuan atau niatan untuk mendiskreditkan bahasa atau logat seseorang. Tak lebih dari itu, tulisan ini bercerita soal pengalaman pribadi yang niatnya untuk introspeksi diri agar bersikap lebih chill saat menemui perbedaan atau sebuah fenomena budaya.