Era Baru Aktivisme: Dinamika Gerakan Masyarakat Sipil di Era Digital

Muhammad Lukman Hakim
Dosen dan Pegiat Literasi serta pengamat kebijakan publik yang berfokus pada isu ekologi, Masyarakat sipil dan pembangunan perkotaan
Konten dari Pengguna
10 Januari 2024 20:33 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Lukman Hakim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto Hasil kompilasi penulis dari canva.com
zoom-in-whitePerbesar
Foto Hasil kompilasi penulis dari canva.com
ADVERTISEMENT
Di era yang serba digital ini, kita menyaksikan sebuah transformasi besar dalam cara gerakan masyarakat sipil beroperasi. Kemajuan dalam teknologi informasi dan komunikasi, terutama kehadiran media sosial yang omnipresent, telah mengubah lanskap aktivisme sosial secara fundamental. Dengan kemudahan akses internet dan penetrasi smartphone yang meluas, media sosial telah menjadi alat yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, termasuk dalam aspek berkomunikasi, berkoordinasi, dan beraksi dalam berbagai agenda sosial dan politik.
ADVERTISEMENT
Media sosial, dengan cakupan dan kecepatan distribusi informasinya, telah mengubah cara individu dan kelompok membangun kesadaran tentang isu-isu sosial. Platform ini memungkinkan pesan-pesan dari aktivis dan kelompok masyarakat sipil menyebar dengan kecepatan dan jangkauan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pesan yang sederhana tapi kuat dapat menjadi viral dalam hitungan jam, mencapai audiens global, dan memicu dialog serta aksi kolektif.
Selain itu, media sosial juga telah mengubah cara kelompok-kelompok ini berorganisasi dan berkoordinasi. Dalam era sebelumnya, mengorganisir protes atau kampanye sosial membutuhkan waktu yang lama dan sumber daya yang besar. Namun, dengan media sosial, organisasi dan koordinasi dapat dilakukan secara lebih cepat dan efisien. Grup dapat dengan mudah dibentuk secara online, strategi dapat dibagikan dan disesuaikan dalam waktu nyata, dan informasi penting dapat disebarluaskan secara instan ke anggota dan pendukung.
ADVERTISEMENT
Penggunaan media sosial dalam aktivisme juga telah membuka peluang bagi partisipasi yang lebih luas. Orang-orang yang sebelumnya mungkin tidak terlibat secara aktif dalam isu sosial atau politik kini menemukan cara mudah untuk berpartisipasi, baik itu melalui penyebaran informasi, partisipasi dalam diskusi online, atau bahkan menyumbang untuk kampanye. Dengan demikian, media sosial telah berperan dalam demokratisasi aktivisme, memungkinkan lebih banyak orang untuk terlibat dalam proses pembentukan opini publik dan pembuatan keputusan sosial.

Kekuatan dalam Konektivitas

Konektivitas yang disediakan oleh teknologi digital telah memberikan dimensi kekuatan baru kepada masyarakat sipil. Dalam konteks ini, manifestasi digital dalam bentuk kampanye online, petisi, dan penggalangan dana telah menunjukkan efektivitas dan efisiensi yang signifikan. Fenomena ini dapat dipahami melalui lensa teori komunikasi dan gerakan sosial, yang menekankan pada penyebaran pesan dan mobilisasi massa.
ADVERTISEMENT
Gerakan seperti #Gejayanmemanggil dan #BlackLivesMatter adalah contoh utama dari bagaimana pesan yang artikulatif dan resonan mampu menyebar secara viral, menghasilkan dampak substantif dalam masyarakat. Dari perspektif teori gerakan sosial, fenomena ini menandai pergeseran paradigma dalam cara masyarakat sipil mengorganisir diri dan menyuarakan tuntutan. Kedua gerakan tersebut, yang bermula dan berkembang melalui platform digital, menggambarkan bagaimana narasi yang kuat dapat memobilisasi dukungan lintas geografis dan demografis, menghasilkan kesadaran dan perubahan pada skala global.
Penggunaan media sosial dan alat digital lainnya dalam konteks ini tidak hanya memfasilitasi penyebaran informasi, tetapi juga memungkinkan partisipasi interaktif dari berbagai kelompok masyarakat. Ini sejalan dengan teori komunikasi yang menekankan pada peran media sebagai alat untuk memperkuat suara dan partisipasi publik. Dalam konteks ini, teknologi digital berfungsi sebagai katalisator dalam mempercepat dan memperluas jangkauan gerakan sosial.
ADVERTISEMENT
Selain itu, efektivitas kampanye online, petisi, dan penggalangan dana dalam konteks ini dapat dianalisis melalui kerangka kerja ekonomi politik media. Penyebaran pesan melalui media digital menawarkan rute yang lebih hemat biaya dan efisien dibandingkan dengan metode tradisional. Hal ini secara signifikan mengurangi hambatan masuk bagi pelaku gerakan sosial, memungkinkan kelompok dengan sumber daya yang lebih terbatas untuk mengambil bagian dalam dialog publik dan advokasi.
Oleh karena itu, konektivitas yang disediakan oleh teknologi digital telah menjadi aset penting bagi masyarakat sipil dalam mengadvokasi perubahan sosial. Hal ini menciptakan ruang baru untuk dialog, aktivisme, dan mobilisasi yang lebih inklusif dan demokratis, sekaligus menantang batasan tradisional dalam komunikasi massa dan politik partisipatif.

Tantangan Baru

Era digital, meskipun menyediakan peluang baru untuk aktivisme dan mobilisasi masyarakat sipil, juga membawa tantangan yang signifikan. Dua tantangan utama yang muncul adalah penyebaran misinformasi dan propaganda digital, serta kekhawatiran terkait privasi dan keamanan data pribadi.
ADVERTISEMENT
Misinformasi dan propaganda digital telah menjadi ancaman serius dalam pembangunan diskursus yang sehat dan produktif. Fenomena ini dapat dipahami melalui penyebaran informasi palsu atau menyesatkan yang disengaja, seringkali dengan tujuan untuk memanipulasi opini publik atau mendistorsi percakapan politik. Sebagai contoh, dalam pemilihan umum di berbagai negara, telah tercatat penggunaan kampanye misinformasi yang dirancang untuk mempengaruhi pemilih. Ini mencakup penciptaan narasi palsu, penyebaran berita palsu, dan penggunaan akun bot untuk memperkuat pesan tertentu. Dampaknya bukan hanya pada hasil pemilu, tetapi juga pada erosi kepercayaan publik terhadap institusi dan media.
Selain itu, kekhawatiran mengenai privasi dan keamanan data pribadi juga menjadi isu penting dalam aktivisme digital. Di era di mana data adalah aset berharga, pengumpulan dan penggunaan data pribadi oleh perusahaan teknologi dan pihak ketiga lainnya telah menimbulkan kekhawatiran. Sebagai contoh, skandal Cambridge Analytica menyoroti bagaimana data dari jutaan pengguna Facebook dikumpulkan tanpa persetujuan yang memadai dan digunakan untuk tujuan periklanan politik yang ditargetkan. Insiden ini tidak hanya menyoroti kerentanan data pribadi dalam era digital tetapi juga menimbulkan pertanyaan tentang etika penggunaan data dalam konteks politik.
ADVERTISEMENT
Kedua isu ini, misinformasi dan keamanan data, secara kolektif menantang integritas ruang digital sebagai medium untuk aktivisme sosial. Misinformasi mengancam validitas dan kepercayaan dalam informasi yang dibagikan, sementara kekhawatiran tentang privasi dan keamanan data menimbulkan pertanyaan tentang keamanan dan etika dalam pengumpulan dan penggunaan data. Akibatnya, aktivis dan pengguna media sosial harus menjadi lebih kritis dan waspada terhadap informasi yang mereka terima dan bagikan, serta lebih sadar akan jejak digital mereka.
Menuju aktivisme digital yang lebih inklusif merupakan suatu perjalanan yang membutuhkan upaya sadar dari gerakan masyarakat sipil untuk mengadopsi strategi yang inklusif dan bertanggung jawab. Salah satu aspek kunci dari pendekatan ini adalah memastikan bahwa keberagaman suara dan pandangan terwakili dalam gerakan. Hal ini berarti melampaui batas-batas tradisional aktivisme dan mencari cara untuk memasukkan perspektif dari berbagai kelompok yang seringkali kurang terwakili atau terpinggirkan. Dengan mendengarkan dan mengintegrasikan berbagai pandangan ini, gerakan dapat menjadi lebih kaya dan lebih mencerminkan kompleksitas masalah yang mereka hadapi.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, penggunaan data dan informasi secara etis menjadi sangat penting dalam era digital ini. Di tengah maraknya misinformasi dan kekhawatiran atas privasi data, gerakan masyarakat sipil harus menunjukkan integritas dan kehati-hatian dalam mengumpulkan, menganalisis, dan menyebarkan informasi. Ini berarti mengadopsi standar yang ketat untuk verifikasi fakta dan sumber, serta transparansi dalam penggunaan data yang dikumpulkan. Menyadari dampak yang bisa ditimbulkan oleh informasi yang tidak akurat atau manipulatif, gerakan harus berkomitmen pada kebenaran dan kejujuran dalam semua komunikasi mereka.
Lebih jauh, dalam mengadopsi pendekatan yang lebih inklusif dan bertanggung jawab, gerakan masyarakat sipil juga harus berupaya untuk mengatasi tantangan teknologi digital, seperti aksesibilitas dan kesenjangan digital. Ini termasuk memastikan bahwa teknologi dan platform yang digunakan dapat diakses oleh berbagai kelompok masyarakat, termasuk mereka yang mungkin memiliki keterbatasan akses ke teknologi.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, aktivisme digital yang inklusif dan bertanggung jawab mengharuskan adanya upaya sadar untuk menggabungkan keragaman, etika, dan aksesibilitas. Ini bukan hanya tentang menggunakan alat digital untuk mencapai tujuan aktivisme, tetapi juga tentang bagaimana alat tersebut digunakan untuk menciptakan perubahan yang adil dan inklusif. Gerakan masyarakat sipil yang mampu menerapkan prinsip-prinsip ini akan lebih efektif dalam menciptakan dampak sosial yang berkelanjutan dan positif.
Era digital telah membuka babak baru dalam sejarah aktivisme. Dengan kekuatan dan tantangan yang dibawanya, gerakan masyarakat sipil kini memiliki potensi yang lebih besar untuk menciptakan perubahan sosial. Namun, penting juga untuk tetap waspada terhadap risiko dan memastikan bahwa teknologi digunakan sebagai alat untuk kebaikan bersama.
Dengan memahami dan memanfaatkan dinamika ini, kita dapat melihat masa depan di mana teknologi dan aktivisme berjalan beriringan untuk mencapai tujuan sosial yang lebih besar dan lebih bermakna. Era baru aktivisme digital bukan hanya tentang teknologi, tetapi tentang bagaimana kita sebagai masyarakat menggunakan teknologi tersebut untuk menciptakan dunia yang lebih baik.
ADVERTISEMENT