Konten dari Pengguna

Cucurak: Tradisi Satu Tahun Sekali Jelang Ramadhan di Tanah Sunda

Lukman Rizki
Journalism Student at Jakarta State Polytechnic
18 Juni 2022 13:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lukman Rizki tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto Keseruan saat Cucurak Jelang Memasuki Bulan Suci Ramadhan. (Sumber Foto: Dok. Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Foto Keseruan saat Cucurak Jelang Memasuki Bulan Suci Ramadhan. (Sumber Foto: Dok. Pribadi)
ADVERTISEMENT
Cucurak atau cucurakan merupakan salah satu tradisi khas tanah Sunda khususnya di daerah Bogor. Cucurak biasanya dilakukan jelang menyambut bulan suci Ramadhan setiap satu tahun sekali. Tradisi ini terus berlanjut secara turun-temurun oleh masyarakat Sunda di Bogor hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
Cucurak atau curak-curak sendiri berasal dari bahasa Sunda yang berarti senang-senang atau bersenang-senang. Tradisi ini berupa berkumpulnya keluarga besar, sanak saudara, teman-teman, atau komunitas dalam satu tempat, seperti jalanan, teras rumah, halaman rumah, bahkan lapangan besar untuk bercengkrama dan menyantap makan bersama secara lesehan.
Hal ini tentunya tidak terlewatkan oleh aku bersama teman-temanku. Jelang memasuki bulan suci Ramadhan silam, kami berencana untuk melakukan cucurak di salah satu rumah temanku di daerah Bojong Gede. Tidak hanya sekadar untuk makan bersama, ini sebagai bentuk menjaga silaturahmi antar sesama.
Pada hari Kamis sore, di kediaman Dava, salah satu temanku yang berlokasi di Bojong Gede, terlihat hiruk pikuk beberapa temanku sedang menyiapkan masakan di dapur. Ada yang sibuk memasak nasi, memotong bawang, dan menyiapkan alat bakar. Semua sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Orang tua temanku ini pun turut membantu menyiapkan hidangan untuk nanti.
ADVERTISEMENT
Terdengar deru sepeda motor melintas di telinga, terlihat satu persatu temanku yang belum tiba mulai menampakkan dirinya dan langsung bergegas membantu menyiapkan semuanya. Nampak salah satu teman laki-lakiku sedang berusaha menyalakan arang untuk membakar ayam dan daging olahan yang sudah ditusuk-tusuk serta diberi bumbu. Tidak kalah bersemangat, aku pun turut membantu membakar saat apinya sudah menyala. Meskipun membutuhkan waktu dan kesabaran yang ekstra, akhirnya api untuk bakaran pun siap.
Ini bagian yang aku suka, yaitu memanggang ayam dan daging olahan di atas api. Tidak hanya sendiri, aku bersama ketiga temanku bersama-sama membakar satu persatu ayam dan daging olahan sampai matang. Sembari membakar, terselip candaan dan tawa terlontar dari mulut satu sama lain sehingga suasana menjadi lebih hangat.
ADVERTISEMENT
“Ayam dan sate-sateannya sudah hampir matang semua, nih. Ayo, segera bersihkan pelepah daun pisangnya, kemudian susun makanan yang ada terlebih dahulu.” Teriak salah satu temanku dari luar.
Langit mulai gelap, terdengar lantunan azan berkumandang, menandakan waktu menjelang magrib. Tak terasa semua makanan telah selesai dimasak dan siap dihidangkan. Sebelumnya, kami menunaikan ibadah sholat magrib terlebih dahulu di masjid terdekat.
Setelah melaksanakan ibadah sholat magrib berjamaah di masjid, kami berkumpul duduk bersama lesehan di atas tikar membentuk lingkaran. Hari itu terasa hangat sekali dapat berkumpul dan bercengkrama bersama teman-teman ditemani makanan yang telah disusun rapi di atas hamparan pelepah daun pisang. Tercium aroma sedap menusuk hidung menambah nafsu makan kami.
Menu cucurak pada umumnya adalah makanan khas sunda, seperti nasi liwet, tahu goreng, tempe goreng, ayam goreng/bakar, ikan goreng/bakar, sambal terasi, ikan asin, dan masih banyak lainnya tergantung selera. Namun, kali ini kami sedikit memodifikasi dengan menambahkan sate-satean dari daging olahan yang telah dibakar.
ADVERTISEMENT
Hamparan makanan telah siap di hadapan masing-masing dari kami, sebelum menyantap kami berdoa bersama terlebih dahulu. Kemudian, kami semua menyantap hidangan yang ada dengan nikmat tanpa bantuan sendok ataupun garpu. Meskipun terlihat sederhana, tetapi rasanya tidak kalah nikmat dengan masakan di rumah makan. Terlihat wajah sumringah dari teman-temanku saat menyantap hidangan diiringi canda tawa untuk mencairkan suasana keheningan malam hari.
Semua hidangan telah disantap, tidak lupa kami membersihkan semuanya sebelum kembali ke rumah masing-masing. Ada yang bertugas menyapu, membuang pelepah bekas makan, melipat tikar, dan lain-lain. Tidak terasa hari sudah bertambah gelap, sebelum bergegas pulang, kami berfoto bersama terlebih dahulu. Setelahnya, kami pulang ke rumah masing-masing dengan perasaan senang.
Nilai dari tradisi cucurak ini adalah meningkatkan tenggang rasa, mempererat tali silaturahmi, menumbuhkan jiwa gotong-royong yang ditunjukkan saat setiap orang bahu-membahu membantu menyiapkan makanan, dan menyiapkan diri untuk menyambut bulan suci Ramadhan. Jadi, bukan hanya rasa kenyang saja yang didapatkan, tetapi terselip nilai-nilai sosial yang dapat dirasakan setelahnya.
ADVERTISEMENT
(Lukman Rizki M. / Politeknik Negeri Jakarta)