Belanga Suku Bangsa: Mengintip Batik Pesisir Jawa

Lynda Ibrahim
A Jakarta-based business consultant who loves telling a tale.
Konten dari Pengguna
2 Oktober 2019 9:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lynda Ibrahim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Batik Garut motif bulu ayam (2007-2010). Foto: Dok: Lynda Ibrahim
zoom-in-whitePerbesar
Batik Garut motif bulu ayam (2007-2010). Foto: Dok: Lynda Ibrahim
ADVERTISEMENT
Batik amat akrab bagi masyarakat Indonesia di Jawa, Madura, dan sekitarnya. Teknik membatik dengan malam dan canting dianugerahi pengakuan oleh UNESCO pada 2 Oktober 2009 sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Non-Bendawi. Sempat menyurut di dekade 1980-an, batik kembali jaya dalam konteks pakaian kontemporer. Kemeja batik berlengan panjang dianggap sejajar formalnya dengan setelan jas, sementara bikini berbahan batik pun punya pasar.
ADVERTISEMENT
Kembali ke kain batik, sebagai produk budaya, ia tak lepas dari asal pembuatnya. Solo dan Yogyakarta, pengampu budaya Jawa Kuno, menyukai desain klasik seperti parang dan warna konservatif seperti cokelat soga. Cukup banyak motif Solo-Yogya yang bukan saja sarat arti sakral, namun juga hanya bisa dikenakan kaum atau dalam acara tertentu.
Di pesisir, perbedaan budaya melebur dengan organik dan luwes. Pesisir Utara Jawa sudah kedatangan pedagang Asia dan Eropa sejak berabad lalu dan semua meninggalkan jejak budaya termasuk pada batik pesisir.
Pekalongan, misalnya. Selain dikenal dengan batik pesisir Jawa yang paling halus, dan sampai sekarang masih aktif berproduksi, Pekalongan juga dikenal dengan tradisi batik yang nyaman berkolaborasi dengan pengaruh asing sejak dulu.
Batik Pekalongan dengan pengaruh India (1920) koleksi Hartono Sumarsono (2011). Foto: Lynda Ibrahim
Dari India, pembatik Pekalongan mengambil pola geometris patola (tenun ikat ganda) sebagai insipirasi motif jelamprang. Para pembatik berdarah Belanda, seperti Eliza van Zuylen, mempopulerkan batik Belanda yang bermotif bunga (buketan) dengan warna-warna dinamis. Pembatik peranakan Tionghoa memperkaya khazanah motif Pekalongan dengan hewan qilin, naga, atau burung hong. Salah satu pembatik Tionghoa yang paling dikenal, pasangan Oey Soe Tjoen dan Kwee Nettie, berhasil meneruskan usahanya di Pekalongan sampai sekarang melalui cucunya, Oey Kiem Lian (Widianti Widjaja). Kekayaan batik Pekalongan dan batik Indonesia lainnya bisa dipirsa melalui Museum Batik di tengah Kota Pekalongan.
Batik Pekalongan karya Bewiedet dengan pengaruh Belanda pada Pameran batik Museum Tekstil Jakarta (Oktober 2019). Foto: Lynda Ibrahim
Batik Pekalongan karya Eliza van Zuylen dengan pengaruh Belanda (1938) koleksi Hartono Sumartono. Foto: Lynda Ibrahim
Batik Pekalongan karya Kwee Nettie (1940) koleksi Hartono Sumarsono (2011). Foto: Lynda Ibrahim
Menyisir Pantai Utara Jawa ke arah Timur, ada Lasem. Dikenal terutama karena warna merahnya yang bak darah ayam (abang getih pithik), Lasem juga pernah dikenal sebagai produsen blangkoan, kain yang hanya dibatik di pinggir membentuk bingkai untuk dijual ke pembatik lain yang akan mengisinya penuh.
ADVERTISEMENT
Sesungguhnya lebih dahulu ramai sebagai bursa batik ketimbang Pekalongan, Lasem sayangnya beruntun didera meroketnya batik Belanda dan pendudukan Jepang, sehingga kemudian tidak bertahan seperti Pekalongan yang saat ini malah menjadi industri batik modern. Walau demikian, batik Lasem tetap digemari dan akhir-akhir ini mulai banyak usaha menggairahkan kembali bisnisnya, contohnya label Awesome Lasem yang menyasar kaum muda yang peduli dengan isu sosial.
Batik Lasem dengan pengaruh Cina (1900) koleksi Hartono Sumarsono (2011). Foto: Lynda Ibrahim
Keluwesan seniman dan pedagang batik dahulu juga tergambar dari munculnya Batik Tiga Negeri, yang ditandai dengan pemakaian warna merah dari Lasem, biru dari Pekalongan, dan cokelat dari Solo/Yogya. Pada masa jayanya, Batik Tiga Negeri memang dikerjakan bergantian di tiga kota ini, mengakibatkan harga yang relatif mahal jika dibandingkan batik lain saat itu. Zaman sekarang, dengan berlimpahnya pasokan pewarna termasuk sintetis, Batik Tiga Negeri umum dikerjakan di satu tempat saja.
ADVERTISEMENT
Masih di garis Pantai Utara, namun ke barat, ialah Cirebon. Kampung halaman dari Sunan Gunung Jati sekaligus takhta Kesultanan Kasepuhan dan Kanoman sampai sekarang, Cirebon merengkuh Islam dan Hindu dalam budayanya. Batik basurek (bersurat) dengan aksara Arab banyak datang dari Cirebon dan dicari sampai Betawi dan Bengkulu. Jejak Hindu pada bangunan-bangunan bersejarah setempat diaplikasikan pada warna dasar putih dengan guratan canting merah tua dan biru. Walau corak Megamendung memang yang paling dikenal sekarang, sesungguhnya batik Cirebon beraneka-rupa.
Batik Cirebon bercorak Keraton Kasepuhan (2014) koleksi Lynda Ibrahim (2014). Foto: Lynda Ibrahim
Sama dengan Betawi. Warna-warna yang dipopulerkan beberapa tahun terakhir ini bisa membuat publik mengira bahwa batik Betawi pasti mencolok. Bila ditilik dari arsip batik antik Betawi, ternyata tidak demikian. Yang terlihat konsisten adalah preferensi terhadap corak pucuk rebung di kepala kain atau tumpal sarung. Perlu disebut di sini bahwa dalam sejarah, batik pesisir Jawa yang populer di Sumatera adalah yang menampilkan pucuk rebung, sebuah visual yang juga umum ditemui pada songket Melayu.
Batik Betawi karya Setyowati koleksi Batik Kartini Muljadi (2017). Foto: Lynda Ibrahim
Apakah hanya pesisir utara Jawa yang menghasilkan batik indah? Tentu tidak. Garut dan Tasikmalaya di Selatan tercatat berniaga batik sejak abad ke-19. Bila batik Garut umumnya dikenali dari keliman kecil yang disebut beulit kacang dan corak bulu ayam, maka dari Tasikmalaya yang dulu paling ternama adalah merk Batik Centongan.
ADVERTISEMENT
Berdasar pelafalan lokal untuk nama pembuatnya, Tan Tjeng Tong, Batik Centongan dikenali dari penambahan berbagai warna cerah pada motif bunga, burung, dan kupu-kupu. Disandingkan dengan bordir tradisional Tasikmalaya berwarna-warni yang sering menghiasi kebaya encim, bisa dibayangkan betapa semaraknya busana wanita Tasikmalaya kala itu.
Batik Centongan Tasikmalaya (1930-1950) koleksi Hartono Sumarsono (2016) Foto: Lynda Ibrahim
Hanya suku bangsa asing yang berinteraksi berabad-abad sajakah yang ikut membentuk batik pesisir Jawa? Djawa Hokokai adalah tipe batik yang membuktikan bahwa dalam waktu sesingkat tiga tahun pun Jepang sempat meninggalkan pengaruh. Pendudukan Jepang di Indonesia bersamaan dengan Perang Dunia II, mengakibatkan minimnya pasokan kain putih panjang untuk pembatikan.
Penuhnya pola dan motif Djawa Hokokai, menurut kolektor batik Hartono Sumarsono, adalah buah dari panjangnya waktu tunggu pembatik antara ketersediaan selembar kain dengan lembar berikutnya. Ditengarai acap dipesan oleh pemerintah kolonial Jepang sebagai hadiah, Djawa Hokokai zaman itu jarang ditandatangani oleh pembuatnya yang mungkin enggan diketahui berdagang dengan penjajah yang secara umum lebih dibenci dari Belanda.
Batik Djawa Hokokai koleksi Kartini Muljadi (kiri)dan karya Irwan Tirta (kanan). Foto: Lynda Ibrahim
Begitu banyak masih jenis batik pesisir Jawa dengan nukilan sejarah, faktor alam, atau dinamika sosial yang memengaruhinya; tidak mungkin cukup satu tulisan untuk mengupasnya. Namun layaknya batik yang dimulai dari segurat ilustrasi, pemahaman akan batik harus dimulai dari secarik edukasi.
ADVERTISEMENT
Bagi yang ingin belajar melalui literasi ada beberapa buku bagus untuk bacaan awal. Tertarik melihat langsung koleksi batik indah yang bersejarah? Museum Tekstil di Jakarta sedang mengadakan pameran 10th Year Batik Challenges: Indonesian Batik as Intangible Cultural Heritage of Humanity saat ini.
Selamat Hari Batik Nasional.