Hari Perempuan: IWF dan Pemberdayaan

Lynda Ibrahim
A Jakarta-based business consultant who loves telling a tale.
Konten dari Pengguna
22 Desember 2019 18:36 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lynda Ibrahim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Hari Perempuan: IWF dan Pemberdayaan.  Foto: Dok. IWF
zoom-in-whitePerbesar
Hari Perempuan: IWF dan Pemberdayaan. Foto: Dok. IWF
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
91 tahun lalu segenap perempuan dari 30 organisasi di belasan kota Hindia Belanda bertemu di Yogyakarta. Selama empat hari mereka berdiskusi tentang hak-hak perempuan dalam pendidikan dan pernikahan. Hadir juga tamu perwakilan organisasi-organisasi pemuda terkemuka yang dua bulan sebelumnya, pada Oktober 1928, merumuskan nilai-nilai persatuan yang lalu dikenal sebagai Sumpah Pemuda.
ADVERTISEMENT
Untuk ukuran zaman itu, di mana literasi rendah dan transportasi terbatas, mengumpulnya sekian organisasi perempuan untuk memperjuangkan haknya adalah suatu lompatan monumental. Sejarah mencatat Kartini membuka sekolahnya di Rembang tahun 1903, Dewi Sartika di Bandung tahun 1904 dan Ruhana Kudus di Kotogadang tahun 1911–belum terlalu lama sebelum Kongres Perempuan 1928 tersebut. Pers Hindia Belanda saat itu pun cenderung memuji Kongres Perempuan.
Sayangnya, sebagaimana sejarah juga mencatat, kemerdekaan 1945 kemudian diikuti oleh penyempitan arti Kongres Perempuan dari perjuangan hak menjadi domestifikasi peran perempuan. 22 Desember yang sebenarnya bisa menjadi payung besar Hari Perempuan dibatasi menjadi Hari Ibu dengan penekanan bak Mother’s Day di negara asing. Usaha untuk meluruskannya selalu mendapatkan resistansi, bahkan dari sesama perempuan, karena dianggap mengharamkan berterima kasih kepada ibu. Padahal, bila diluruskan kembali ke makna awalnya, semua perempuan dalam segala peran dan statusnya bisa direngkuh oleh perayaan 22 Desember.
Hari Perempuan: IWF dan Pemberdayaan. Foto: Dok. IWF
Di antara debat berbagai hak perempuan dan cara meraihnya, termasuk yang meramaikan Twitter di hari-hari menjelang Feminist Festival 2019 lalu, ada sekelompok perempuan yang melakukan pendekatan yang lebih pragmatis.
ADVERTISEMENT
Indonesian Women’s Forum (IWF) 2019 digelar akhir November lalu oleh Femina, majalah wanita terawet di Indonesia sejak Kemerdekaan. Kali kedua dilakukan, forum dua hari ini menawakan sesi pleno, workshop, dan talkshow.
Dibuka oleh politisi Yenny Z. Wahid yang memaparkan statistika kontribusi perempuan terhadap laju pertumbuhan ekonomi, IWF memberikan banyak tempat pada panelis perempuan. Dari ranah hukum ada Lili Pintauli Siregar (Wakil Ketua KPK Terpilih 2019-2023), dari disiplin lingkungan hidup ada Dr Aretha Aprilia. Dunia korporasi diwakili Elin Waty (Presiden Direktur Sun Life Indonesia), sementara dunia wiraswasta menampilkan serangkaian talenta muda seperti Annisa Pratiwi (Ladang Lima) dan Meybi Lomanledo (Timor Moringa). Sesi pleno akhir digawangi oleh Arvila Delitriana, insinyur di balik kokohnya jembatan lengkung LRT Jabodetabek dan indahnya jembatan megah yang melintang di atas Sungai Siak, sungai terdalam di Indonesia, menuju kota bersejarah Siak Sri Indrapura di Riau.
ADVERTISEMENT
Workshop hampir sepenuhnya tentang pengetahuan atau ketrampilan praktis dunia kerja dan usaha, dipenuhi oleh peserta yang mungkin sudah aktif dalam program Wanwir (wanita wiraswasta) atau Wankar (wanita karir) Femina--terlihat dari kebiasaan proaktif mengulurkan tangan berkenalan saat duduk bersisian dalam acara atau di arena bazaar.
Bazaar juga didominasi perempuan, mulai dari pengusaha cokelat dan wastra, sampai pengolah limbah kaleng cat menjadi perangkat dekor rumah.
Hari Perempuan: IWF dan Pemberdayaan. Foto: Dok. IWF
Pemberdayaan perempuan banyak rutenya, namun sulit dipungkiri bahwa salah satu lajur tercepat adalah lewat keuangan. Saat perempuan punya penghidupan dan menguasai penghasilannya, paling tidak untuk dirinya, ia akan lebih berdaya dibanding perempuan yang harus dihidupi orang lain. Bila dilihat sekilas, perempuan-perempuan yang menghadiri IWF mudah dicap sudah memiliki privilese dibanding banyak perempuan Indonesia lainnya, dan itu benar, namun bukan berarti proses pemberdayaan pada kelompok ini sudah final.
ADVERTISEMENT
Dari berbagai pertanyaan antusias sepanjang sesi pleno dan workshop, dari obrolan sesama peserta di arena bazaar, nyata bahwa perempuan karier dan usaha tetap masih menghadapi pola pikir dan sistem patriarkis yang kadang bahkan dilestarikan oleh sesama perempuan. Batasan antara identitas sebagai pekerja/pengusaha dan istri/ibu bergeser dinamis dan kerap menimbulkan masalah di luar urusan teknis, bahkan dapat mempengaruhi akses perempuan terhadap hasil kerjanya. Keyakinan mendebat di muka umum lawan jenis ternyata masih bisa disebut sebagai kendala oleh seorang peserta berpendidikan tinggi dan berbalut busana bergaya; datang dari ajaran merunduk yang ditanamkan sejak kecil dan terus dipupuk di masyarakat. Privilese, pada kenyataannya, adalah konsep relatif.
Privilese makin henti menjadi garis absolut saat, misalnya, eksekutif sesukses Elin Waty mengungkapkan bahwa dibanding kolega setingkatnya ia tetap minoritas berangkap-rangkap dilihat dari ras, agama, gender, dan pendidikan lokalnya.
ADVERTISEMENT
Dan isu-isu seperti inilah yang masih, atau makin menggunung, berkat urbanisasi dan peningkatan pendidikan, yang membuat tantangan pemberdayaan perempuan merebak di area dan demografi yang tadinya dianggap sudah progresif dan cenderung sepi masalah. 91 tahun setelah seratusan perempuan berpikiran maju berkumpul untuk memperbaiki hak azasi sesamanya, ribuan perempuan Indonesia belum bebas dari kekangan tradisi berakar patriarki, yang kadang, lebih beratnya lagi, diselimuti dalil kitab suci.
Apa yang bisa kita lakukan? Bersatu sebagai sesama perempuan, saling menguatkan dan membukakan jalan. Perbedaan akan selalu ada, tapi memunguti setiap butiran besi tidak seefisien dan seefektif memasang sekrup dan mengencangkan pasak untuk memperpanjang, melebarkan dan mengokohkan jembatan aliansi. Sudah memiliki Feminist Festival yang mengedepankan aktivisme dan IWF yang menawarkan pragmatisme, yang diperlukan Indonesia adalah lahirnya wadah-wadah lain yang juga mengusung pemberdayaan.
ADVERTISEMENT
Jangan sampai 91 tahun lagi perempuan Indonesia belum sepenuhnya bisa memakai hak azasinya untuk merdeka dari patriarki warisan abad-abad kegelapan, hanya karena kita sekarang lebih sibuk memunguti butiran perbedaan.
Selamat Hari Perempuan 22 Desember, para puan se-Nusantara.