Komodo: Berapa Harga Kejemawaan Kita atas Warisan Dunia?

Lynda Ibrahim
A Jakarta-based business consultant who loves telling a tale.
Konten dari Pengguna
29 Oktober 2020 13:31 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lynda Ibrahim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pulau Komodo, NTT Foto: Shutter stock
zoom-in-whitePerbesar
Pulau Komodo, NTT Foto: Shutter stock
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Kalimat itu sering dijumpai dalam deskripsi singkat mengenai Indonesia dalam berbagai publikasi. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, dengan keragaman flora dan fauna yang hanya dikalahkan oleh Brasil. Bila orang Indonesia bisa berbangga akan suku atau puaknya, sesungguhnya ia pun harus berbangga akan kekayaan flora dan fauna kelas dunia yang telah diwariskan begitu dermawannya oleh planet ini pada tanah airnya.
Tapi, mungkin, karena terlalu dermawannya Bumi, akhirnya bangsa ini cenderung semena-mena. Pandang sebelah mata. Jemawa karena kalau pun kehilangan satu elemen alam, masih banyak kekayaan lainnya. Dalam perjalanannya sejak abad ke-20 saja bumi Nusantara telah kehilangan harta fauna dunia berupa punahnya harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) dan harimau Bali (Panthera tigris balica), terutama karena dijadikan sasaran perburuan kebanggaan (trophy hunting) oleh warga sekitar, penguasa lokal, dan penjajah Eropa sejak abad-abad sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Menurut Persatuan Konservasi dan Sumberdaya Alam Internasional (IUCN) saat ini, status harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), badak bercula satu (Rhinoceros sondaicus) dan orangutan (Pongo pygmaeus) adalah critically endangered (kritis). Harimau Sumatera dan orangutan kian terdesak habitatnya oleh meledaknya populasi manusia dengan segala dinamikanya. Populasi badak bercula satu kurang dari 100 dan hanya bisa dijumpai di Taman Nasional Ujung Kulon. Setelah kedua spesies harimau Indonesia punah, harimau Sumatera diklasifikasikan ulang menjadi Panthera tigris sondaica.
Komodo
Komodo (Varanus komodoensis) berasal dari spesies kadal yang muncul di Asia sekitar 40 juta tahun lalu sebelum beremigrasi ke Australia, menetap di sana beberapa puluh juta tahun dan akhirnya repatriasi sekitar 15 juta tahun lalu ke pulau-pulau timur yang sekarang menjadi milik Indonesia. Keberadaan komodo mulai didokumentasikan oleh periset Eropa pada tahun 1910. Saat ini komodo adalah spesies kadal terbesar di dunia, dengan status rentan sesuai kategori IUCN.
ADVERTISEMENT
Pithecanthropus erectus (Javan Man), fosil tertua yang pernah ditemukan di Nusantara, ditaksir berusia antara 700 ribu sampai sejuta tahun. Artinya, 14 juta tahun sebelum jejak nenek-moyang manusia modern menghuni kepulauan yang sekarang kita sebut Indonesia, komodo sudah hadir. Bagi rakyat Indonesia yang sering terobsesi mengkotak-kotakkan antara penduduk asli dan pendatang, seharusnya deduksi dari fakta ilmiah ini jadi pengingat tegas—yang berstatus pendatang bukan komodo, tapi manusia. Manusia lah yang seharusnya tahu membawa diri.
Komodo (Varanus komodoensis). Pulau Rinca, Taman Nasional Komodo, Mei 2016.Dokumentasi: Lynda Ibrahim
Taman Nasional Komodo (TNK)
Didirikan dengan tujuan konservasi habitat dan kehidupan komodo pada tahun 1980 dengan luas total 1733 km2, TNK mencakup P. Komodo, P. Rinca, P. Padar, 26 pulau kecil sekitar, dan perairan sebelah barat P. Flores. Dalam perjalanannya, konservasi kehidupan laut juga ditambahkan dalam TNK. Pada tahun 1991, TNK dimasukkan ke dalam daftar situs warisan dunia (World Heritage List) oleh UNESCO. Dari 8 situs Indonesia dalam daftar bergengsi tersebut, setengahnya adalah taman nasional. Antara 2007-2011 TNK juga diikutsertakan dalam 7 Keajaiban Alam (New 7 Wonders of Nature). Jelas bahwa komodo bukan sebatas milik Indonesia, namun bagian warisan dunia.
ADVERTISEMENT
Dengan semua hal yang disebut di atas, seharusnya hidup Komodo jauh lebih terlindungi dari hewan-hewan lain di Indonesia, apalagi karena habitatnya teramat jauh dari deru kehidupan masyarakat luas. Bandara terdekat berada di kota Labuan Bajo di Flores, sekitar 2 jam perjalanan menyeberang laut. Dari Labuan Bajo, butuh 2,5 jam penerbangan ke Jakarta. Bukan dangkal laut yang mengitari kepulauan ini. Secara geografis habitat komodo sudah dipagari dari hiruk-pikuk manusia dengan jarak dan pergantian medan, relatif beda dengan harimau dan orangutan yang masih sepulau dengan manusia.
Bukan berarti tak ada pemukiman di sana. Tidak ada catatan pasti sejak kapan manusia datang ke pulau-pulau kediaman komodo, namun sekian generasi telah hidup di pulau Komodo dan Rinca—kaum pemukim awal yang dikenal dengan nama Ata Komodo dan nelayan perantau yang berlabuh setelahnya. Selain penduduk lokal, jagawana (park ranger) TNK juga tinggal di dalam kawasan. Namun jumlah total pemukim ini tidak besar, jelas tidak setingkat dengan populasi manusia di pedalaman Sumatera dan Kalimantan yang bersaing lahan dengan harimau dan orangutan. Jadi sebenarnya, dari sisi ini, Indonesia sudah dimudahkan jalannya untuk melindungi dan melestarikan komodo. Kemudahan relatif ini harusnya dipergunakan, bukan disia-siakan. Indonesia harusnya bersyukur, dan tahu diri.
Komodo dewasa. Pulau Rinca, Taman Nasional Komodo, Mei 2016.Dokumentasi: Lynda Ibrahim
Komodo remaja sekitar usia 3 tahun, diambil dari rekaman video. Pulau Rinca, Taman Nasional Komodo, Mei 2016.Dokumentasi: Lynda Ibrahim
Sekelompok komodo di bawah bangunan jagawana. Pulau Rinca, Taman Nasional Komodo, Mei 2016.Dokumentasi: Lynda Ibrahim
Pariwisata
ADVERTISEMENT
Pariwisata ke TNK amat diminati, baik oleh wisatawan domestik atau asing. Data dari Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan Konservasi (PJLHK) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Ekosistem (KLHK) menyebutkan angka 77 ribu pengunjung ke TNK selama 2019. Dari 50 taman nasional se-Indonesia, TNK menduduki peringkat ke-10 yang paling banyak dikunjungi. 8 dari 10 taman nasional teramai dikunjungi berlokasi di pulau Jawa, dengan akses darat ke perkotaan.
Ke mana wisatawan dibawa saat mengunjungi TNK? Pengelola pariwisata lokal banyak mengarahkan ke Rinca untuk melihat komodo, Gili Lawa Darat untuk mendaki menjelang fajar, dan Padar untuk mendaki sebelum sore. Mengingat jarak 2 jam dari Labuan Bajo, mayoritas wisatawan memilih untuk menginap di perahu (live on board) demi memaksimalkan pengembaraan dari pulau ke pulau. Pulau-pulau kecil berbatu dan tak berpenghuni, kadang nyaris seperti atol, bertaburan di perairan TNK. Saat air surut, banyak gundukan pasir besar yang muncul dan cantik untuk dipakai berfoto. Ada beberapa pantai berpasir merah jambu, walau yang terkenal hanya satu. Wisatawan bahari gemar mencari ikan pari saat snorkeling di sekitar Rinca. Banyak penyelam yang rutin ke perairan TNK, yang warnanya berkisar dari biru ke hijau toska tergantung ganggang dan paparan matahari, karena kekayaan bahari tersendirinya. Bila beruntung mengunjungi saat tidak musim badai, perairan TNK sungguh tenang, menyenangkan, dan cantik untuk dipandang dari perahu selama berjam-jam.
ADVERTISEMENT
Untuk penginapan di daratan, garis pantai Labuan Bajo dipenuhi hotel dari berbagai kelas, termasuk resor berbintang dengan pandangan langsung ke laut dan perahu privat untuk tamu hotelnya. Makanan berbagai rupa bisa ditemui juga di Labuan Bajo, walau deretan warung seafood di jalan saat malam justru yang nampaknya dikejar wisatawan berbagai kelas karena rasanya enak dan suasananya menyenangkan.
Saya beruntung bisa mengunjungi TNK pada tahun 2016 bersama salah satu pengelola pariwisata lokal yang handal. Sejak masih di phinisi, pemandu wisata sudah menjelaskan berbagai peraturan demi kelestarian konservasi dan keselamatan kami, seperti tidak membawa sampah plastik dan makanan mentah atau berkeliaran sendiri. Setelah phinisi berlabuh di Rinca, pemandu wisata menyerahkan kami ke dalam pengawasan dua orang jagawana yang memandu dalam kelompok kecil dan rapat. Jagawana menegaskan aturan seperti tidak ribut (mengagetkan komodo), keluar dari jalur tapak (mengganggu jejak komodo), memberi makan komodo (membahayakan sistem pencernaan komodo), dan mendekati komodo (membuat komodo merasa terancam dan terpancing menyerang). Jagawana memandu berkeliling sambil menunjukkan jejak yang dibuat komodo untuk kembali ke sarangnya, bekas lokasi kelahiran, dan beberapa area kehidupan khas komodo lainnya. Lugas dan awas, sikap jagawana menyiratkan satu kebenaran hakikimanusia adalah tamu di habitat komodo. Tamu harus tahu diri.
ADVERTISEMENT
Banyakkah komodo di Rinca? Dalam kunjungan singkat kami saat itu saja, lebih dua puluh terlihat hanya dengan selayang pandang tanpa masuk ke jalur dalam. 1-2 kelompok mengumpul diam di bawah rumah dinas jagawana, yang semuanya berbentuk rumah panggung untuk menghindari dimasuki komodo. Tiap kali bertemu komodo yang berkeliaran, jagawana selalu memastikan kami berhenti tanpa suara sampai sang komodo menjauh. Saya beruntung bisa mengabadikan video seekor komodo berusia sekitar 3 tahun, terhitung remaja untuk rentang usia komodo yang bisa mencapai 30 tahun. Dari data pelacakan per 2019 yang dirilis KLHK minggu ini, tercatat 3022 komodo di seluruh TNK, dengan konsentrasi terbesar di P. Komodo dan P. Rinca. Memberikan ilusi kecilnya jumlah komodo di Rinca atau rendahnya nilai Rinca dalam tatanan konservasi TNK adalah usaha penyesatan publik.
ADVERTISEMENT
Apa fasilitas wisata yang sudah tersedia di Rinca saat itu? Anjungan merapat untuk perahu, selasar beratap multi-fungsi untuk pengunjung, kedai kecil dan toilet. Tidak mewah, dan mungkin mengagetkan untuk orang yang hidup 24 jam di bawah semburan AC, tapi itu lah alam komodo yang sesungguhnya. Perlu disadari bahwa berwisata ke P. Rinca atau P. Komodo adalah melongok kehidupan hewan purba yang masih tersisa di planet ini dalam habitat aslinya, syukur-syukur bisa menambah ilmu tentang fauna, dan tak bisa disamakan dengan berselonjor dimanja terapis di spa.
Pemandangan dari puncak Gili Lawa Darat. Perairan Taman Nasional Komodo, Mei 2016.Dokumentasi: Lynda Ibrahim
Empat teluk kecil terlihat dari puncak pulau Padar. Perairan Taman Nasional Komodo, Mei 2016.Dokumentasi: Lynda Ibrahim
Bawah laut perairan Taman Nasional Komodo, Mei 2016.Dokumentasi: Lynda Ibrahim.
Investasi
Investasi bukan konsep yang selalu haram dan biadab. Investasi yang tepat, terukur dan bertanggung jawab membuka lapangan pekerjaan, mengalihkan teknologi baru dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Indonesia bisa maju sekian dekade pun karena banyak ditarik dan ditopang oleh investasi, baik oleh pengusaha lokal maupun asing. Bersikap selalu anti investasi tidak produktif pada pertumbuhan ekonomi negara dan kesejahteraan bangsa.
ADVERTISEMENT
Salah satu prasyarat dari investasi yang tepat adalah pengukuran dampak lingkungan dan sosial dari eksekusi operasional. Risiko ini yang kemudian harus ditimbang-silang dengan tingkat kedaruratan investasi. Apa akan ada manusia yang jatuh melarat, sakit atau mati bila investasi ini tidak dijalankan? Pertanyaan sesederhana ini jadi berarti saat objek investasinya adalah habitat hewan purba berusia belasan juta tahun yang hanya ada di 1 lokasi, berjumlah 3000-an, dan berstatus rentan. Apa urgensi mengutak-atik lebih jauh habitat komodo lebih dari yang telah kita lakukan sejak mereka “ditemukan” manusia seabad lalu?
Komodo bukan ikan di akuarium atau kucing yang sudah didomestifikasi ribuan tahun. Ia tetap karnivora purba, predator buas yang hidup dalam siklus evolusi puluhan juta tahun dan baru terpapar manusia mungkin 1-2 abad ini— masih “kemarin sore” dalam rentang evolusi. Hidup berdampingan dengan pemukim lokal bukannya bebas dari insiden—mudah dicari statistik penyerangan komodo terhadap manusia saat merasa diserang, sebagian berujung kematian. Masih ada kasus pengunjung dari Inggris yang hilang sejak awal 1970-an dan jasadnya tak pernah ditemukan, mungkin karena habis dimakan. Pemirsa dokumenter komodo di TNK, yang pernah ditayangkan salah satunya di kanal National Geographic, mungkin akan ingat insiden saat seekor komodo berhasil menyelinap masuk ke kamar kru yang bentuknya bukan rumah panggung dan betapa sulitnya jagawana mengusir sang komodo yang lekat-lekat menatap si kru seperti anak kecil disajikan es krim.
ADVERTISEMENT
Memperbaiki fasilitas umum demi kenyamanan wisatawan dan kehidupan jagawana dalam lingkup yang sudah ada, adalah bijak. Namun menambah berbagai konstruksi baru artinya meluaskan paparan komodo terhadap benda asing dan manusia, lebih dari yang sudah harus mereka hadapi. Di mana kedaruratan, misalnya, membangun anjungan terelevasi demi “memburu” visual komodo dengan ilusi keamanan yang bisa memancing sikap ugal-ugalan, dibanding skema membumi sekarang yang dipandu jagawana dengan gerak penuh kehati-hatian? Berapa harga terkikisnya warisan dunia ini? Alih-alih mengurangi paparan agar komodo makin hidup damai, membuktikan Indonesia pantas menjadi pengampu warisan kelas dunia yang hanya bisa dikalahkan Brasil, kita malah jemawa. Mengubah zonasi konservasi demi pemberian konsesi komersial? Sungguh tidak tahu diri.
Mencoba menyamakan TNK dengan taman nasional lain yang diisi resor adalah konyol dan serampangan, karena status rentan komodo dan keunikan habitatnya. Bermain-main dengan konsep ala film Jurassic Park adalah bodoh dan miskin wawasan, karena inti film itu, bila harus dijadikan inspirasi, adalah betapa fatal kesalahan manusia merusak tatanan alam. Semua film Jurassic Park berakhir dengan manusia bergelimpangan mati. Mungkin karena mereka jemawa, dan tidak tahu diri.
ADVERTISEMENT