'Pop-up Market': Tonikum Pasar Ritel yang Lesu

Lynda Ibrahim
A Jakarta-based business consultant who loves telling a tale.
Konten dari Pengguna
11 Oktober 2019 11:50 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lynda Ibrahim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Lynda Ibrahim. Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Lynda Ibrahim. Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
Pasar ritel Indonesia terlihat kurang bergairah beberapa tahun ini. Banyak pusat perbelanjaan di kota besar yang kehilangan penyewa, termasuk department store papan atas. Sebagian berargumen pembelanjaan ritel hijrah ke pasar daring (e-marketplace), yang lain menduga pengeluaran beralih ke experience lifestyle seperti perjalanan berpetualang. Apapun itu, mayoritas pengusaha ritel mengeluhkan penurunan penjualan.
ADVERTISEMENT
Di saat yang sama, pop-up market terus bermunculan di perkotaan. Bersifat sementara dan berpindah lokasi, konsep ini lebih dulu dikenal di Indonesia sebagai bazaar. Menawarkan kategori yang sebenarnya sama dengan toko permanen, banyak pop-up market yang berhasil menarik arus pengunjung yang menggiurkan—mungkin karena dianggap lebih terjangkau, bisa karena waktunya pendek sehingga harus segera diburu. Mari kita longok beberapa.
Buku-buku yang dipajang pada salah satu etalase di Semasa Market. Foto: Lynda Ibrahim
Di akhir 2015, sekelompok pencinta arsitektur mencoba menarik publik ke Kota Tua Jakarta melalui bazar produk lokal yang dinamai 'Semasa di Kota Tua'. Setelah disambut baik, konsep pop-up market di bangunan bersejarah ini terus dipertahankan sampai pada Semasa ke-14 di balairung Balai Kota DKI Jakarta pada penghujung September lalu. 70 lebih peserta lokal hadir, ditambah kali ini dengan beberapa dari negara jiran. Kurasi oleh tim Semasa yang dimotori oleh Hutomo Joe mewajibkan kreasi dan produksi sendiri (artisanal) serta kehadiran pencipta selama acara.
Pengunjung pada salah satu booth di Semasa Market. Foto: Lynda Ibrahim
Setelah sehari sebelumnya akses menuju lokasi terhalang aksi demo, ribuan orang datang pada hari terakhir. Selain pengunjung setia Semasa, peserta seperti tas Mangkok Ayam ID, donat Dough Darlings, dan portal feminis Magdalene mendatangkan fans tersendiri. Kuliner, aksesoris dan produk dari tekstil paling diserbu, sementara kriya kertas dan keramik memancing perhatian. Jun Sural, seniman keramik Ora Clay dari Thailand, mengaku gembira dengan keikutsertaan perdananya dan berencana hadir di Semasa berikutnya.
ADVERTISEMENT
Berlangsung pada akhir pekan yang sama namun sehari lebih lama adalah The Local Market. Setelah menolong pengrajin sapu bagus yang tak paham trik pemasaran, Caroline Tobing tergerak memulai The Local Market pada 2016 untuk mewadahi pengrajin serupa. Mengkhususkan diri pada karya lokal, The Local Market juga mensyaratkan pemilik usaha untuk menunggui sendiri kedainya selama acara.
Pakaian ready-to-wear berbahan dasar denim pada Local Market. Foto: Lynda Ibrahim
Scones, salah satu penganan yang dijual di booth makanan di Local Market. Foto: Lynda Ibrahim
Hasil kurasi ketat terilustrasikan pada penganan, kriya, dan bahkan wine lokal yang ditawarkan sekitar 90 peserta, di mana beberapa laku habis pada tengah hari. Selain peserta rutin yang populer seperti Jinjit Pottery dan Milk & Honey Bake Shop, The Local Market juga memberi tempat pada produk sadar isu sosial seperti Tie A Knot yang mengolah sisa gulungan kaos dari industri garmen sekitar Jakarta, Control New yang mendaur-ulang limbah denim dari industri garmen Bandung, dan Know Indo yang memproduksi selimut di Bali dengan prinsip fair trade.
ADVERTISEMENT
Sudah memiliki pengunjung tetap termasuk komunitas ekspat dari jejaring unik Caroline, wanita Perancis yang bersuamikan pria Indonesia selama 3 dekade, The Local Market sekarang menghadapi tantangan lokasi baru di Karet Semanggi yang tidak punya captive market seperti sebelumnya di Cityloft Sudirman.
Tantangan lokasi dan keterbatasan waktu memang hanya bisa dijawab dengan konsep unik, kurasi baik, sasaran pasar jelas, dan promosi yang cerdas. Female Daily Network sigap menangkap momentum minat kosmetika dan perawatan kulit, yang setelah diamplifikasi promosi digital menjadikan JakartaxBeauty salah satu pop-up market terpopuler di Jakarta hanya setelah tiga kali digelar.
Sandalboyz, salah satu sandal yang dipamerkan di Parasite. Foto: Lynda Ibrahim
Bekraf nampaknya juga memahami itu saat menggagas Para-Site, acara khusus streetwear yang sedang digilai. Merek lokal seperti Public Culture dan Ageless Galaxy bersanding dengan Maris, Humble Minded, dan seniman seperti Abderrahmane Trabsini (Daily Paper). Namun, kegiatan yang seharusnya digelar 4 hari di bulan Mei lalu terpaksa dijadikan acara terbatas karena kerusuhan politik Jakarta. Sayang, karena Para-Site tadinya bisa menjadi lensa baru untuk meneropong pop-up market dan potensi athleisure yang selama ini belum digarap serius oleh talenta mode lokal.
Pakaian yang dijual pada salah satu booth di Brightspot Market. Foto: Lynda Ibrahim
The last and the biggest, Brightspot. Digagas oleh kakak-adik Wiryono sedekade lalu dengan 25 peserta, Brightspot menarik 5.000 pengunjung di acara pertamanya dan melejit sedemikian pesat sampai mendorong Wiryono bersaudara mendirikan The Goods Dept. sebagai wadah permanen. Setelah sekitar 20 kali penyelenggaraan dalam 10 tahun, minggu lalu Brightspot diikuti 250 peserta lokal dalam lahan 7000 m2 yang tersebar di 3 lantai District 8 yang baru diresmikan.
Pakaian yang dijual pada salah satu booth di Brightspot Market. Foto: Lynda Ibrahim
Apa, salah satu brand lokal yang menjual aksesori di Brightspot Market. Foto: Lynda Ibrahim
Dalam isu mewadahi talenta lokal, Brightspot bisa menunjuk pada banyak “alumni” seperti Alex(a)lexa yang berulang kali tampil di Jakarta Fashion Week atau Cotton Ink yang sudah menjadi pemain ritel teruji. Pertanyaan yang lebih tepat adalah relevansi Brightspot saat pop-up market menjamur sementara peta ritel bergeser ke digital.
ADVERTISEMENT
Sebagai co-founder, Cynthia Wirjono, mengakui secara umum peserta dan pengunjung makin bersifat mainstream seiring membesarnya Brightspot, berbeda dengan tahun-tahun awal yang didominasi kalangan yang lebih berani bereksperimen dalam gaya. Namun, Cynthia meyakini Brightspot akan tetap relevan selama kurasi yang kuat mampu menemukan talenta kreatif yang unik. Kurasi kuat dan keunikan ini juga diyakini Cynthia adalah fondasi Brightspot sebagai pembuka jalan ke ritel permanen, walau ia sendiri sudah tidak berperan aktif di manajemen The Goods Dept. "Look, the (corporate) buyers are still coming," ujar Cynthia Wiryono sambil menunjuk ke rombongan undangan khusus yang memadati Brightspot pada hari pembukaan.
Dilihat dari jenis peserta yang lolos kurasi tahun ini, bisa dipahami membludaknya pengunjung Brightspot sampai hari terakhir. Penganan yang hadir mayoritas telah populer di Instagram. Di antara maraknya tekstil cetak digital, koleksi kapsul Artist Attire dengan seniman Ardneks tetap mengagumkan. Menyambut kebutuhan gaya-hidup petualangan, Humble Zing menawarkan pakaian outdoor yang berkualitas dan terjangkau. Untuk sisi gaya hidup yang lebih sadar lingkungan, Brightspot memberi tempat untuk Sukkha Citta yang mengolah batik dengan rayon Tencel dan Setali yang memfasilitasi donasi baju bermerek untuk penggalangan dana bencana asap.
ADVERTISEMENT
Tonikum memang bukan obat, tapi bisa sesaat menyegarkan. Saat ini pop-up market terasa bisa menjadi tonikum bisnis ritel. Bagaimana saat resesi berlalu dan bargain hunter yang selama ini berburu "harga miring" lebih mampu memilih? Selama memiliki konsep unik, kurasi baik, sasaran pasar jelas, dan promosi yang cerdas, pop-up market tidak akan ditinggalkan. Bagaimana setelah ritel makin bermigrasi ke digital dan konsumen kian butuh alasan untuk hadir secara fisik? Ke-4 faktor di atas juga yang akan jadi penentu, tentunya ditambah kelincahan penyelenggara mencari lokasi acara.
Jadi, sudah pernah belanja di pop-up market apa saja?