Mendidik Pendidikan

Lyra Puspa
President Vanaya Coaching Institute. Kandidat PhD Applied Neuroscience in Psychology Canterbury University, UK.
Konten dari Pengguna
13 Juni 2017 12:48 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lyra Puspa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pendidikan  (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pendidikan (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
Di sekolah murid mencontek. Guru pun memberi jawaban ujian. Di rumah terpapar digital. Budaya ala snapchat membentuk mental serba cepat dan serba instan. Yang penting hasil, tak peduli bagaimana caranya.
ADVERTISEMENT
Maka, generasi pemimpin seperti apa yang akan lahir 10-15 tahun mendatang?
VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity) bukan hanya tentang bisnis, tetapi juga tentang manusia. Angkatan kerja millenials saat ini luar biasa volatilitasnya. Baru dua atau tiga tahun sudah dianggap "dinosaurus" di lingkungan mereka. Aih, kerja di satu tempat jangan lama-lama.
Lantas, ketangguhan dan konsistensi mental pemimpin seperti apa yang akan menjadi manajer dan direksi di 10-15 tahun ke depan?
Prof. Carol Dweck dari Stanford University mengungkapkan betapa berbahayanya memiliki Fixed Mindset. Hanya berorientasi hasil, menyalahkan takdir, melahirkan antara mental pesimis atau justru hedonis. Kala setiap orang dibandingkan dengan yang lain dalam hal pencapaian hasil akhirnya.
Hanya Fixed Mindset yang bisa menekan kita untuk melunturkan integritas. Karena yang dihargai hanya hasil akhir, tanpa melihat proses di belakangnya. Lantas mencontek dan korupsi jadi biasa. Toh, yang penting lulus atau kaya raya.
ADVERTISEMENT
Lawannya adalah Growth Mindset, yang terbentuk karena orientasi pada perkembangan. Manakala manusia dihargai kemajuan sekecil apapun. Tatkala setiap orang hanya dibandingkan dengan dirinya sendiri di masa yang lalu. Dan karenanya melahirkan optimisme, motivasi, dan daya juang. Dopamin drip konstan yang membentuk kecerdasan ketangguhan.
Namun Growth Mindset bukan lahir dengan seketika. Prof. Carol Dweck pun melakukan intervensi tiga tahun untuk mengubah pola pikir anak sekolah menengah. Finlandia mulai sadar di tahun 1960-an, ketika kondisi pendidikannya mencapai titik nadir. Namun lantas bangkit, membangun Growth Mindset bangsa, dan dalam 40 tahun justru menjadi rujukan sistem pendidikan dan indeks kebahagiaan.
Beberapa wakltu lalu saya sempat pesimis. Jangan-jangan Finlandia hanya utopia bagi Indonesia. Jangan-jangan kita akan mengalami lost leadership generation. Generasi pemimpin yang hilang, hanya ada atasan dan penguasa, tetapi bukan pemimpin apalagi teladan.
ADVERTISEMENT
Ahad lalu ketika banyak orang memilih libur, saya kembali optimis dan berbahagia. Mendampingi para Board of Directors Sekolah Alam Indonesia untuk sesi strategic coaching kesekian kalinya membuat saya menemukan bahwa masih ada manusia-manusia berbudi luhur yang ikhlas mendedikasikan dirinya untuk membangun generasi pemimpin yang berkarakter mulia.
Maka ketika tuntas pencarian core values, culture, mission, dan vision lengkap dengan milestone dan struktur sistematisasinya, teriakan spontan "Allahu Akbar" yang menggema membuat merinding bulu kuduk saya. Dibuka dan ditutup dengan doa dari tim perumus yang hafidz Qur'an tentu bukan sebuah perkara main-main belaka.
Dua puluh tahun sudah Sekolah Alam Indonesia (SAI) menapaki perjalanan pertamanya. Dengan lika-liku dan pro-kontra, dari mulai tak diakui pemerintah, hingga justru menjadi bahan studi banding bagi British Council dan Malaysia. Butuh 40 tahun transformasi bagi Finlandia. Maka kini insya Allah SAI siap meretasi 20 tahun berikutnya.
ADVERTISEMENT
HAKI atas SAI sejak pertama hingga sekarang masih atas nama saya. Dan dengan bangga, sebagai pemegang legalitas intelektual, sebagai orang tua, sebagai anggota komunitas, dan sebagai coach pembina, saya persembahkan tulisan ini sebagai doa. Semoga misi terus kokoh dalam ridho-Nya dan visi mulia terwujud nyata.
The School of Leading Generation. Membangun Peradaban Melalui Pendidikan.
#Bismillah
#RamadhanKareem