Cancel Culture: Apakah Diperlukan?

Lyvia Anggia Winata
Pelajar di SMA Citra Berkat Tangerang
Konten dari Pengguna
14 Januari 2024 10:57 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lyvia Anggia Winata tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pexels/Anete Lusina
zoom-in-whitePerbesar
Pexels/Anete Lusina
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pada saat ini, istilah cancel culture tidak lagi asing bagi para warganet. Warganet telah mengenal dan menerapkan cancel culture terhadap hal-hal yang ofensif dan kontroversial.
ADVERTISEMENT
Dilansir dari The New York Post, istilah cancel culture berarti fenomena di mana seseorang, merek, acara, dan film mengalami penolakan dari banyak orang. Dr Jill McCorkel, Profesor sosiologi dan kriminologi di Universitas Villanova, menyatakan bahwa akar cancel culture adalah saat masyarakat menghukum orang karena berperilaku di luar norma sosial yang berlaku.
Cancel culture umumnya dilakukan melalui media sosial. Mengutip dari jurnal Analisis Kritis Fenomena Cancel Culture dan Ancaman terhadap Kebebasan Berekspresi, cancel culture biasa dilakukan dengan menargetkan selebriti atau tokoh publik yang dinilai bertindak atau berbicara secara kontroversial dan bertentangan dengan kepercayaan yang ada pada suatu kelompok (Bromwich, 2018).
Istilah cancel culture pun mulai digaungkan lewat media sosial pada tahun 2010, yaitu dari blog Tumblr, tepatnya Your Fave Is Problematic. Pada masa itu, fandom berdiskusi tentang kekurangan yang dimiliki bintang kesukaan mereka. Kemudian istilah cancel culture mulai banyak digunakan dan tersebar ke platform lain seperti Twitter.
ADVERTISEMENT
Penerapan cancel culture di Indonesia
Perkembangan teknologi pun mendorong informasi tersebar secara mudah dan cepat melalui media sosial. Karena itulah, masyarakat Indonesia sudah tidak lagi asing dengan istilah cancel culture. Salah satu contoh publik figur yang menerima cancel culture atau penolakan dari masyarakat Indonesia adalah Gofar Hilman, penyiar radio dan YouTuber, yang terlibat dalam skandal pelecehan seksual terhadap penggemarnya pada tahun 2021. Sekalipun pada akhirnya tuduhan tersebut dinyatakan palsu, Gofar Hilman tetap mendapat penolakan dari para warganet.
Pada saat ini, di tengah perang yang terjadi antara Israel-Palestina, masyarakat Indonesia pun turut serta dalam gerakan cancel culture yaitu memboikot merek yang berafiliasi dengan Israel. Tindakan memboikot ini menimbulkan reaksi berbeda di antara masyarakat, ada sebagian yang setuju dan mengikuti kegiatan boikot ini, dan ada pula sebagian yang ragu untuk melakukannya, hal ini disebabkan oleh masyarakat Indonesia yang memiliki kekhawatiran terhadap para pekerja yang bekerja di bawah naungan merek-merek yang diboikot. Pun Sekjen Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo), Edy Misero, meminta agar aksi boikot ini dipertimbangkan dengan baik oleh pemerintah, agar tidak merugikan masyarakat dan pelaku usaha dalam negeri.
Pexels/cottonbro studio
Melalui laman resmi UNAIR, pakar komunikasi asal Universitas Airlangga (UNAIR), Nisa Kurnia Illahiati, berpendapat bahwa cancel culture dapat menjadi pola perilaku pengguna media sosial di Indonesia. Nisa menilai perilaku ini dipicu oleh rendahnya literasi, didukung nafsu ingin menghakimi oleh warganet. Dampak dari diterapkannya cancel culture pun tidaklah sederhana, dengan demikian, para warganet diharapkan dapat tetap bijak dalam bermedia sosial.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, masyarakat dapat menerapkan cancel culture terhadap tokoh publik, merek, dan hal-hal yang dianggap menyinggung dan mengecewakan. Akan tetapi, masyarakat yang menerapkan cancel culture perlu menyadari bahwa cancel culture merupakan tindakan untuk memberi efek jera terhadap para pelaku, bukan untuk menjadi ajang menebar kebencian.