Cerita dari Salukanan: Mereka yang Hidup di Pelosok

Muh Akbar
An ordinary person who studying sociology, education, and political science.
Konten dari Pengguna
26 Januari 2023 8:59 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muh Akbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dokumentasi dan kolase sederhana milik pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Dokumentasi dan kolase sederhana milik pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kaki ini terasa pegal. Begitu juga dengan pinggang, tidak nyaman. Sensasi dan suasananya pun tidak kalah mencekam dan bikin tegang. Maka tidak heran, sedikit demi sedikit kucuran keringat berhasil membanjiri tubuh. Bisa dikatakan lengkap sudah penderitaan saya kala itu.
ADVERTISEMENT
Hal ini bukan diakibatkan karena berlari atau olahraga lain yang semacam. Bukan pula karena memasuki arena permainan horor pemacu adrenalin. “Penderitaan” yang saya alami justru datang dari sekadar dibonceng di atas motor. Yah, sekadar dibonceng. Tidak ada akibat lain.
Penyebab dibonceng bisa merasakan kelelahan dan rasa capek mungkin terletak pada kontur dan kondisi jalan yang kami lalui. Untuk memberikan gambaran, lebar jalan yang dilintasi berkisar kurang lebih satu meter dan hanya bisa dilalui kendaraan bermotor.
Apabila terdapat dua kendaraan bermotor yang saling bertemu dari arah yang berbeda, maka salah satu di antaranya mesti menepi lalu menyandarkan kendaraannya ke tebing yang tepat berada di salah satu sisi jalan.
Suasana jalan yang kami tempuh - Kepala Desa Selaku Pembonceng/Dokumentasi Pribadi
Medan yang kami lintasi berada dan melewati beberapa gunung dengan ketinggian beragam, tak jarang saya berpikir seolah sedang menikmati arena permainan roller coaster. Hahaha…
ADVERTISEMENT
Kontur jalan juga bervariasi, tidak selamanya terdiri dari beton semata. Bahkan terdapat jalan yang masih dalam masa pengerasan. Belum lagi tidak semua jalanan tersebut berada dalam kondisi mulus, justru yang kerap dihadapi adalah jalanan rusak yang diakibatkan oleh berbagai faktor, mulai dari situasi alam, hujan, infrastruktur yang tidak merata.
Kondisi tersebut saya alami sekitar satu setengah jam. Waktu yang digunakan untuk menempuh jarak sekitar 14 KM, bila merujuk titik keberangkatan kami (Desa Kanandede)
Akses yang begitu sulit dan rasa pegal pada tubuh merupakan bayaran ketika mencoba memasuki salah satu dusun terpencil yang tidak hanya se-Kabupaten Luwu Utara, melainkan se-Indonesia.
Nama Dusun itu adalah Salukanan.

Singkat Cerita Salukanan

Dusun Salukanan merupakan satu di antara tiga dusun yang terdapat di Desa Kanandede. Desa tersebut termasuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Rongkong. Desa ini membentang sekitar 170km², Nyaris sebesar Kota Makassar—Kota terbesar di provinsi yang sama dengan Desa Kanandede, Sulawesi Selatan—yang luasnya 177km².
ADVERTISEMENT
Ketika kaki ini pertama kali memasuki Dusun Salukanan, panorama yang terpampang kala itu adalah rumah-rumah warga yang seakan ingin bergabung dengan pepohonan dan tetumbuhan lainnya yang terdapat di sekitar. Menyatu dengan alam.
Berjalan sekitar 100 meter dengan jalan yang agak sedikit menurun dari titik kami memarkir motor, aroma keramaian begitu terasa. Tidak salah lagi, keramaian itu hadir di salah satu bangunan yang saya anggap paling megah di dusun itu. Gereja.
Gereja Toraja Jemaat Salukanan/Dokumentasi Pribadi
Dicat dengan warna kuning agak gelap, beratapkan seng dan berada tepat di tengah pemukiman, Rumah Tuhan tersebut berdiri begitu kokoh di antara bentangan gunung. Gereja itu seakan menjadi alun-alun dan ikon Dusun Salukanan, di mana aktivitas masyarakat banyak dicurahkan di sana.
ADVERTISEMENT
Bisa dikatakan gereja tersebut multifungsi. Pekarangannya bisa dijadikan arena bermain anak-anak dan menjemur hasil tani/kebun. Tidak jarang juga digunakan sebagai sarana berolahraga. Selain menjadi tempat peribadatan, gereja di dusun tersebut juga memiliki fungsi sosial sebagai balai atau aula pertemuan yang melibatkan banyak orang.
Hampir seluruh warga Dusun Salukanan merupakan penganut Agama Kristiani. Ada cerita yang urung saya ketahui mengenai bagaimana agama yang satu ini bisa masuk di Dusun terpencil sekelas Salukanan, tapi yang jelas wilayah ini pernah disinggahi kelompok DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia).

Sumber Penghidupan

Setelah melintasi Gereja, sekitar tiga menit kami berjalan kaki dari tempat tersebut untuk sampai di rumah bapak dusun. Rumah yang dijadikan oleh kami sebagai tempat istirahat. Hari itu masih sore. Beruntungnya saya, sebab kedatangan kami tidak berada pada jam-jam di mana aliran listrik terhenti untuk sementara.
ADVERTISEMENT
Durasi umum listrik mengalir di desa ini terjadi pada sore sampai pagi hari. Pada waktu lain mereka tentu memanfaatkan sinar matahari langsung sebagai sumber pencahayaan. Masyarakat Dusun Salukanan bisa dibilang mengandalkan turbin untuk menikmati aliran listrik selama belasan hingga puluhan tahun lamanya.
Posisi dusun yang tidak hanya berada di kawasan pegunungan, tapi juga terdapat sungai membuat wilayah ini memiliki sumber penghidupan yang cukup kaya.
Hal ini kemudian dimanfaatkan warga sebagai penggerak utama untuk turbin mereka. Arus yang stabil membuat konsistensi aliran listrik terjamin di sini. Meskipun untuk jangka waktu terbatas.
Walau pada hari-hari tertentu, seperti Natal, listrik berusaha diaktifkan 24 jam untuk menyokong kegiatan yang ada.