Pengalaman Belajar selama Pandemi: Menenetukan Gaya sampai Jenuh Melanda

Muh Akbar
An ordinary person who studying sociology, education, and political science.
Konten dari Pengguna
16 Maret 2022 18:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muh Akbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Beatriz PĂ©rez Moya/Unsplash.com
zoom-in-whitePerbesar
Beatriz PĂ©rez Moya/Unsplash.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Narasi itu segera menjadi tajuk-tajuk utama semua media negeri ini. Meski telat, semenjak berita itu, pemerintah melalui surat edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan memberlakukan pembatasan interaksi sosial pada lingkup pendidikan tinggi sampai dasar. Belajar jadi di rumah saja.
ADVERTISEMENT
Bahagia mungkin kata yang pas dialamatkan kepada seluruh pelajar di Indonesia, bahkan di Dunia pada saat itu. Sebab belajar dari rumah adalah kata ganti dari liburan. Seperti yang pernah saya bayangkan dan mungkin bayangan bersama ratusan ribu pelajar lain di luar sana.
Namun, bayang-bayang mematikan pandemi memutus segala ekspektasi kebahagiaan para pelajar. Belajar selama pandemi tidak memakan waktu singkat seperti dua minggu, melainkan sepanjang dua tahun.
Bulan ke bulan dihabiskan beradaptasi. Menerka gaya belajar seperti apa yang cocok dan bisa tepat guna. Nyatanya, belajar selama pandemi tidak semudah yang terkira. Terlalu banyak hal yang perlu diurai dan dimulai dari awal, membuat gaya belajar tidak pernah tunggal, kerap kali sering berganti, menyesuaikan keadaan, dan lebih sering menjengkelkan.
ADVERTISEMENT

Gaya yang Diterka

Mengalihkan medium kelas sebagai wadah belajar menuju tempat semacam rumah tidak dengan sendirinya menghasilkan kualitas yang sama dengan belajar di kelas. Meski, penggunaan ruang virtual (zoom, google meet, dan Learning Management System) sangat membantu dan patut disyukuri, akan tetapi daya interaksi dan suasana sosial tidak dapat tergantikan.
Bertatap ria di depan laptop ataupun gawai memang sudah jadi kebiasaan masyarakat abad 21 (termasuk saya). Namun, durasinya tidak pernah terbayang selama itu dan kiranya saya menatap laptop berjam-jam sampai sangat akrab, bukan karena belajar, tapi demi menyalurkan hasrat semata-mata sebagai Homo Ludens.
Apa boleh buat, ada dan tiadanya pandemi, kehidupan saya mungkin akan tersita banyak menatap layar, dan pandemi seakan membuat penegasan terhadap masyarakat abad ini bahwa betapa tergantungnya kita dengan perangkat teknologi.
ADVERTISEMENT
Yang membuat runyam belajar dari rumah bukan hanya perkara pemindahan ruang, kalau ditinjau secara seksama hal tersebut tidaklah seberapa. Paling kentara dan menjadi biang pangkal terletak pada metode pembelajaran. Jujur, itu bikin sesak.
Rumus itu seperti pakem di tempat saya menempuh pendidikan saat ini. Ada 16 pertemuan dengan rincian 3 kali pengajar berceramah-celoteh dan sisanya diambil alih oleh kelompok-kelompok pelajar yang telah dibagi merata nan adil dan bersiap mengisi sisa-sisa kelas itu dengan harapan bisa memantik diskusi antar sesama pelajar.
Rumus ini konon dipersepsikan sebagai bentuk mutakhir SCL (Student Center Learning) yang secara sederhana dapat dipahami sebagai metode pembelajaran yang memusatkan pelajar sebagai pribadi aktif dan mandiri dalam belajar, sehingga para pengajar beralih dari tukang ceramah ke fasilitator.
ADVERTISEMENT
Rumus yang ideal. Memberikan ruang kepada pelajar dalam mengeluarkan gagasannya, dari paling garib sampai inovatif, yang kritis sampai paling tentram seperti sedang terpantau teleskrin. Selain itu, kuasa pengetahuan dan otoritas yang dicipta pengajar kemudian direduksi.
Tapi rumus tersebut janggal dan kerap jadi celah.
Janggal, sebab dari keseluruhan pengalaman yang saya alami, tidak semua pengajar memahami perannya sebagai fasilitator dan juga masih terus melanggengkan kuasanya sebagai sumber utama pengetahuan dan otoritas dalam kelas.
Jadi celah, sebab pengajar bisa untuk tidak hadir ketika kelompok-kelompok yang sudah dibagi itu memasuki arena diskusi dan mengambil alih kelas. Entah karena terlalu percaya kepada kemampuan para pelajarnya atau bagaimana, saya sendiri tidak tahu.
ADVERTISEMENT
Belum lagi sewaktu arena diskusi dimulai dan hanya dikuasai oleh beberapa "gladiator-gladiator kecil" yang siap mengkudeta dan membuat arena itu tampak kacau dan tidak beraturan, terlalu melebar, atau monolog. Mengikuti jejak mereka yang tetap teguh atas kuasa pengetahuannya.
Maka dengan itu, saya lebih banyak mengambil buku dan memantau literatur yang lekat dengan apa yang wajib dan suka pelajari. Juga menonton dan mendengar beberapa sumber audio visual yang tersebar di internet. Belaka tidak puas dengan model belajar selama pandemi.
Tidak lama, saya kemudian mendapat kepuasaan pribadi karena persentase buku yang habis lebih banyak semenjak pandemi hadir dan rasa runyam ini mendera. Selain itu, menonton dan mendengarkan membantu mempertajam khazanah pengetahuan dari pakarnya langsung.
ADVERTISEMENT
Dan itu baik untuk menambal kecacatan pembelajaran utama, atau mungkin itu justru yang utama, dengan membaca, menonton dan mendengar.
Saya melanjutkan pencarian gaya belajar ini ke tahap lebih sosial, lebih bergerak, dan lebih fungsional bagi sesama. Saya melihat kesempatan ini pada program Merdeka Belajar yang khusus pada penerapan di kampus atau Kampus Merdeka. Tanpa tedeng aling-aling saya langsung daftar saja dengan segala risiko yang belakangan mencuat satu-satu.
Cukup lama saya ditempatkan di Sekolah Dasar untuk mengajar dan belajar, kurang lebih 5 bulan. Merdeka Belajar banyak variannya seturut dengan masalahnya. Tapi tidak ada yang mampu mengalahkan keruwetan masalah pendidikan di Indonesia, semua orang sepertinya sepakat dengan ini.
Seperti berbagai problema sosial, masalah pendidikan di Indonesia itu kompleks, struktural, dan harus diselesaikan dengan banyak-banyak pendekatan. Dengan mengikuti program ini saya kemudian berlagak bisa menyelesaikan semuanya.
ADVERTISEMENT
Tentu tidak semudah membolak-balikkan telapak tangan, paling banter sesulit push up selama sepuluh menit. Saya coba ikuti programnya, dan nyatanya push up semenit saja susahnya minta ampun, apalagi sepuluh menit.
Banyak pelajaran bisa saya petik dari mengikuti program ini, salah satu pelajaran yang paling membekas adalah: Jangan mudah tergiur oleh program yang diorganisir Negara.
Tapi berkat program ini saya bisa membeli beberapa buku dan menikmati bertemu manusia-manusia hebat yang sedang belajar dan menjalankan tugas untuk mengajar. Terima kasih untuk semua penghuni SDN Gaddong 2 Makassar!

Kejenuhan Melanda

Selepas program yang diikuti telah usai, angin segar berhembus kencang, saking kencangnya saya pikir lagi masuk angin, tapi itu bukan masuk angin, melainkan menggigil kesenangan sebab belajar tidak lagi di rumah. Belajar akan segera tatap muka.
ADVERTISEMENT
Uang kuliah tunggal yang selama beberapa semester kuanggap terlalu besar untuk ditukar dengan layanan pembelajaran penuh sengkarut itu, kemudian di semester kali ini dengan bangganya saya bawa ke bank sebagai setoran menikmati pendidikan mahal itu. Harap-harap bisa tatap muka.
Seminggu saja belajar tidak lagi di rumah. Lonjakan gelombang ketiga melanda. Tentu semua dikunci dan dibatasi (kecuali pasar modern atau klasik, tempat wisata, rumah bordil, wc umum dan masih banyak yang tampaknya tidak dikunci atas nama stabilitas ekonomi) apalagi hanya kelas-kelas yang dijadikan tempat belajar.
Mungkin marah berujung stres adalah laku yang normal bukan karena mendapati fenomena seperti di atas, melainkan jenuh karena hampir dua tahun menderita dalam pembelajaran daring berikut segala carut-marut dan konsekuensi negatif pada fisik maupun mental seseorang.
ADVERTISEMENT
Tapi marah tidak menyelesaikan masalah, menikah juga bukan opsi yang begitu baik, apalagi mengutuk pak Nadiem Makarim, karena beliau sendiri tidak terlalu berhubungan dengan perkara ini, sebab sepenuhnya tanggung jawab penyelenggara pendidikan setempat, mau buka atau tidak.
Bersabar juga bukan pilihan. Meski bisa mentaktisi dengan mengeksplorasi dan menentukan gaya Belajar selama pandemi, cuman kondisi ini sudah teramat sekarat, sabar hanya membuat penderitaan lebih lama. Entah sampai kapan jenuh ini berhenti melanda. Saya lelah.