Konten dari Pengguna

Jokowi Masuk Daftar OCCRP, Ada Apa Sebenarnya?

M Chozin Amirullah
Masa kecil dan masa muda banyak dihabiskan di pesantren di Pekalongan Jawa Tengah dan Jombang Jawa Timur. Menyelesaikan pendidikan sarjana di Universitas Gadjah Mada, melanjutkan pascasarjana di Ohio University, USA.
9 Januari 2025 13:38 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari M Chozin Amirullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Sektretariat Negara
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Sektretariat Negara
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini sebuah Lembaga non-profit internasional, yang dikenal sebagai Organize Crime and Corruption Reporting Project atau OCCRP merilis pengumuman daftar tokoh paling korup 2024. Mantan presiden dua periode Indonesia, Joko Widodo masuk dalam list tersebut. Hal ini tentu menggemparkan masyarakat Indonesia, bak kado awal tahun yang menohok bagi negara yang memang sejak dulu dikenal sebagai sarang besar bagi para koruptor.
ADVERTISEMENT
Dari beberapa tokoh yang masuk list seperti Presiden Kenya, William Ruto, Presiden Nigeria, Bola Ahmed Tinubu, Mantan Perdana Menteri Bangladesh, Sheikh Hasina, dan Pengusaha India, Gautam Adani, OCCRP memilih Bashar al-Assad, mantan presiden Suriah sebagai pemenang daftar tersebut.
Menanggapi hal tersebut, Jokowi mempertanyakan apa yang membuat dirinya dianggap korup dan juga meminta bukti. OCCRP sendiri mengatakan bahwa meskipun tidak memiliki bukti Jokowi terlibat langsung dalam korupsi untuk keuntungan finansial pribadi selama masa jabatannya. Namun, kelompok masyarakat sipil dan para ahli mengatakan bahwa pemerintahan Jokowi secara signifikan melemahkan komisi antikorupsi Indonesia. Jokowi juga dikritik secara luas karena merusak lembaga pemilihan umum dan peradilan Indonesia untuk menguntungkan ambisi politiknya seperti pencalonan putranya yang sekarang menjadi wakil presiden di bawah presiden baru Prabowo Subianto.
ADVERTISEMENT
Dalam pernyataannya, OCCRP mengatakan bahwa selama 13 tahun, nominasi seperti ini diputuskan oleh panel juri ahli dari masyarakat sipil, akademisi, dan jurnalisme, yang semuanya memiliki pengalaman luas dalam menyelidiki korupsi dan kejahatan. “Kami membuat pengumuman umum untuk nominasi dan menerima lebih dari 55.000 kiriman, termasuk beberapa tokoh politik paling terkenal serta individu yang kurang dikenal”, ujar mereka.
OCCRP juga menambahkan bahwa mereka tidak memiliki kendali atas siapa yang dinominasikan, karena saran tersebut datang dari orang-orang di seluruh dunia. Ini termasuk nominasi mantan presiden Indonesia Joko Widodo. OCCRP memasukkan dalam "finalisnya" nominasi yang mengumpulkan dukungan daring terbanyak dan memiliki beberapa dasar untuk dimasukkan.
Sejalan dengan pernyataan OCCRP di atas, sejumlah aktivis demokrasi dan pakar hukum tata negara juga ikut berkomentar dan menilai Jokowi layak bersanding dengan pemimpin korup karena trek recordnya selama memerintah yang sering menimbulkan keributan disebabkan
ADVERTISEMENT
Lantas, siapa OCCRP itu dan mengapa mereka berani menetapkan Jokowi masuk dalam daftar tokoh paling korup?
OCCRP sendiri merupakan salah satu organisasi jurnalisme investigasi terbesar di dunia, yang fokus kepada kejahatan yang terorganisir dan korupsi. Berdiri pada tahun 2007, oleh wartawan investigasi Drew Sulivan dan Paul Radu, OCCRP saat ini tersebar di seluruh Eropa, Afrika, Asia, dan Amerika Latin, dengan kantor pusat di Amsterdam, Belanda. dilansir dari laman OCCRP, sepanjang kehadirannya OCCRP telah melakukan penyelidikan dan telah berkontribusi pada denda lebih dari 10 miliar US Dollar yang dijatuhkan dan uang yang disita, 430 investigasi resmi, 820 tindakan resmi, 736 dakwaan, penangkapan dan hukuman, 261 reaksi masyarakat sipil, 135 pengunduran diri dan pemecatan, dan 135 tindakan korporasi.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini tentu memberikan gambaran yang jelas bahwa masalah korupsi di Indonesia harusnya masuk ke dalam deretan “macro problem” selain dari masalah kemiskinan, pendidikan, kesehatan dan lainnya. Korupsi justru memberikan kerugian berlipat ganda dan menyerang segala aspek kehidupan masyarakat. Masa pemerintahan Jokowi dianggap permisif terhadap tindakan-tindakan korup, mengobrak abrik konstitusi dan hukum sehingga kepentingan masyarakat luas terlihat di nomor duakan.
Kejadian ini mestinya menjadi tamparan keras juga bagi pemerintahan yang memimpin saat ini. Pemerintah harusnya tegas kepada oknum-oknum yang secara jelas telah korupsi, bukan malah sebaliknya, mencoba memberikan amnesti pada mereka yang meraup uang rakyat untuk kantong sendiri.
Jika korupsi dibiarkan atau hanya mendapatkan hukuman yang ringan, maka tidak heran jika banyak yang lebih memilih korupsi hingga ratusan triliun karena hukuman hanya sebentar, dan penjara sama seperti hotel. Lagi-lagi Indonesia seharusnya belajar dari negara-negara maju yang tak toleran pada budaya korupsi seperti Korea, China ataupun Jepang.
ADVERTISEMENT