Konten dari Pengguna

Catatan Perjalanan: Menjejak Sastra di Kota Kinabalu, Malaysia

M Deni Maulana
Penulis dan Mahasiswa Universitas Gadjah Mada
24 April 2025 13:46 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari M Deni Maulana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bandar Udara Kota Kinabalu. Sumber: Dok pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Bandar Udara Kota Kinabalu. Sumber: Dok pribadi.
ADVERTISEMENT
Langit senja di atas landasan pacu tampak bersinar keemasan ketika pesawat yang saya tumpangi mulai bergerak menuju ambang terbangnya. Hari itu, 22 Agustus 2024, saya kembali melangkahkan kaki meninggalkan bumi kelahiran. Ini bukan pertama kalinya saya meninggalkan tanah air, melainkan satu lagi persinggahan dalam jejak panjang perjalanan, karena setiap petualangan baru ke luar negeri selalu menghadirkan kesan yang berbeda. Kali ini saya tidak hanya menjadi seorang penjelajah, tetapi juga pembawa suara dari tanah air, seorang penyair muda yang akan berdiri di panggung internasional, menyampaikan kata-kata dari Indonesia ke hadapan dunia melalui puisi.
ADVERTISEMENT
Perjalanan panjang ini bukan dimulai dari bandara tempat saya terbang ke negeri Jiran, melainkan dari hamparan sawah yang menghijau di desa kecil tempat saya dilahirkan, yaitu Kabupaten Cianjur. Saya tumbuh di tengah keluarga buruh tani yang hidup berkecukupan, dalam rumah sederhana yang berdinding tembok tipis dan beratapkan seng yang berisik ketika hujan datang. Kehidupan kami jauh dari gemerlap, tapi di sana puisi pertama kali tumbuh dalam diri saya, di antara lumpur sawah, desir angin sore, dan nyanyian jangkrik di malam hari.
Sejak usia sembilan tahun, menulis dan membaca puisi menjadi pelarian yang meneduhkan. Tidak jarang, untuk bisa ikut lomba puisi saat SMP dan SMA, saya harus menabung berbulan-bulan dari uang jajan yang pas-pasan. Saya juga pernah berjualan manik-manik tradisonal yang saya buat sendiri, uang hasil penjualannya saya kumpulkan untuk dibelikan buku puisi dari karya-karya W.S. Rendra. Saya tidak punya banyak uang, tapi saya punya keyakinan bahwa puisi bukan hanya hobi, melainkan jembatan menuju mimpi yang besar.
ADVERTISEMENT
Kehidupan terus berputar seperti roda semesta yang tidak henti mencari poros keseimbangannya. Dalam putaran waktu yang tidak selalu ramah, saya belajar berjalan, terkadang tertatih, dan terkadang berlari. Hari ini cahaya yang dahulu hanya berkilau samar di kejauhan, kini menjemput saya dengan hangat. Cahaya itu membawa saya menyeberangi langit biru, menuju Kota Kinabalu, Malaysia tanpa harus membayar sepeser pun. Sebuah keberangkatan yang bukan hanya hadiah, melainkan jawaban atas doa-doa panjang, kerja keras tanpa lelah, dan keyakinan yang tidak pernah putus meski diuji berkali-kali.
Suasana di bandara saat keberangkatan menuju Kota Kinabalu. Festival Sastera Antarabangsa Malaysia Madani 2024. Sumber: Dok pribadi.
Yang membuat perjalanan ini semakin istimewa adalah kenyataan bahwa saya tidak pergi sendirian. Saya berangkat bersama para sastrawan Indonesia, nama-nama yang dulu hanya saya kenal melalui buku dan media, kini berjalan di samping saya, mendampingi saya dalam perjalanan.
ADVERTISEMENT
Dulu, saya hanya membaca karya-karya mereka, mengagumi pemikiran dan tulisan mereka dari kejauhan. Sekarang, saya duduk bersama mereka, berbincang, bertukar pandangan, dan bahkan berbagi panggung dalam perayaan sastra internasional. Rasanya seperti melangkah ke dalam halaman buku yang dulu hanya bisa saya impikan. Mereka adalah Pak Jose Rizal Manua, Bu Fatin Hamama, Oma Fanny Jonathans Poyk, Pak Jodhi Yudhono, dan Bu Ramayani, nama-nama besar dalam dunia sastra Indonesia yang telah menorehkan jejak panjang dalam sejarah kepenulisan sastra Indonesia.
Saat pesawat mendarat, saya menghirup udara Sabah yang hangat, diselingi hembusan angin laut yang menyegarkan. Kota ini terletak di pantai barat Pulau Kalimantan, menghadap langsung ke Laut Tiongkok Selatan dan menjadi pusat pemerintahan untuk kawasan Pantai Barat Sabah, sekaligus gerbang utama menuju keajaiban-keajaiban alam di Borneo. Menurut data terakhir hingga tahun 2010, Kota Kinabalu dihuni oleh sekitar 452.058 jiwa, sementara distrik penampang yang juga menjadi bagian dari kawasan metro ini memiliki sekitar 176.667 penduduk. Jika digabungkan, jumlah populasi metropolitan Kota Kinabalu mencapai sekitar 628.725 jiwa yang menjadikannya sebuah kota hidup penuh warna.
ADVERTISEMENT
Bandar udara Kota Kinabalu menyambut saya dengan suasana yang tidak terlalu ramai, memberikan ruang bagi saya untuk menyerap atmosfer baru. Begitu langkah pertama keluar dari terminal, saya langsung disambut oleh nuansa kota yang unik, perpaduan antara modernitas dan kehidupan pesisir yang tenang. Saya dan rombongan delegasi Indonesia di jemput oleh Datuk Siti menggunakan mobil.
Sepanjang perjalanan menuju hotel, saya sangat menikmati setiap detik yang mengalir seperti sajak tanpa jeda. Datuk Siti menyambut kami dengan keramahan yang tulus, layaknya saudara yang telah lama tidak berjumpa. Saya tidak berhenti mengucapkan Alhamdulillah, membisikkan rasa syukur yang berulang-ulang dalam hati. Setiap langkah, setiap helaan napas di tanah asing ini adalah anugerah yang tak henti-henti saya syukuri.
Delegasi Indonesia di Festival Sastera Antarabangsa Malaysia Madani 2024. Sumber: Dok pribadi.
Festival Sastera Antarabangsa Malaysia Madani 2024 adalah panggung yang mempertemukan penyair dari Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Festival tahunan ini diselenggarakan selama selama 7 hari oleh Badan Bahasa dan Sastera Sabah. Grand Ballroom Hotel Promenade menjadi saksi bisu bagaimana sastra menyatukan lintas bangsa. Saat masih duduk di bangku SMA, saya hanya membaca nama-nama besar sastrawan Indonesia di buku dan media, tetapi kini saya berada di antara mereka untuk berbagi cerita, pengalaman, dan tentu saja puisi.
Deni dan Bu Fatin Hamama mengibarkan bendera merah putih setelah pengumuman pemenang lomba. Sumber: Dok pribadi.
Ketika giliran saya tampil dan membacakan puisi berjudul “Sagu Ambon” Karya W.S. Rendra, saya merasakan getaran energi yang berbeda. Saya berdiri di atas panggung, menatap wajah-wajah yang datang dari berbagai latar belakang, semuanya terhubung oleh satu hal, kecintaan pada kata-kata. Setiap bait yang saya lantunkan bukan hanya susunan kata, melainkan suara dari perjalanan panjang, harapan yang tertanam dalam setiap larik, dan perasaan yang mengalir dari hati ke hati. Saya menyadari bahwa sastra memiliki kekuatan untuk melintasi batas negara, menghubungkan orang-orang dari berbagai penjuru dunia dalam satu rasa. Di tengah riuh tepuk tangan yang masih menggema, seorang pria dengan senyum penuh kehangatan menghampiri saya dengan sebuah benda di tangannya, ia adalah Pak Jhoni dari Konsulat Jendral Republik Indonesia. Saya terus memperhatikannya dengan rasa ingin tahu, sebuah bingkai kayu berukir di dalamnya terbentang kanvas yang penuh warna.
ADVERTISEMENT
“Lukisan ini untukmu” katanya sambil tersenyum.
Saya menerimanya dengan hati-hati, jemari saya menyusuri permukaan kanvas yang masih terasa kasar oleh guratan kuas. Di dalamnya tergambar langit yang begitu luas, samudera yang tak berujung, dan di tengahnya, sebuah perahu kecil melaju ke arah cakrawala. Warna-warnanya begitu hidup, biru laut yang dalam, jingga senja yang menyala, dan putih layar yang tertiup angin. Ada sesuatu yang magis dalam sapuan warnanya, seolah pelukisnya tidak sekadar menciptakan gambar, tetapi juga menyematkan do’a dan harapan di setiap goresannya.
“Ini adalah perjalananmu” kata Pak Jhoni, suaranya penuh makna. “Jangan berhenti disini. Sastra akan selalu membawamu ke tempat-tempat yang tak pernah kau duga.” Saya menatap lukisan itu lama, seakan-akan ada bisikan halus dari dalam kanvas, memanggil-manggil, mengajak saya untuk terus berlayar menembus batas, dan menantang cakrawala. Bukan hanya hadiah, lukisan ini terasa seperti pesan rahasia tentang perjalanan yang belum selesai, tentang impian yang harus terus diperjuangkan.
Deni saat mengajar dan berpoto dengan guru serta siswa-siswi SILN Kota Kinabalu. Sumber: Dok pribadi.
Perjalanan hari ini tidak hanya tentang membaca puisi oleh diri sendiri, saya sangat beruntung bisa mendapat kesempatan berharga untuk mengajar puisi kepada siswa-siswi di Sekolah Indonesia Kota Kinabalu. Saya berdiri di depan adik-adik hebat dan melihat cerminan diri saya beberapa tahun lalu, mereka adalah anak-anak imigran yang memiliki impian besar meski berada jauh dari tanah air. Saya berbagi kisah tentang bagaimana puisi telah membawa saya ke tempat-tempat yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya, dan bagaimana kata-kata memiliki kekuatan untuk mengubah hidup seseorang. Pertemuan ini membawa haru tersendiri, mereka mungkin tinggal jauh dari Indonesia, tetapi semangat dan kecintaan mereka terhadap tanah air tetap menyala. Beberapa dari mereka bahkan bercita-cita menjadi mahasiswa di Universitas Gadjah Mada, sebuah aspirasi yang membuat saya tersenyum bangga. Kami sempat berbincang tentang mimpi, harapan, dan tentu saja berbagi tawa dalam sebuah tepuk “WoW” ciri khas Gadjah Mada Muda yang menggema di ruangan kecil itu.
Deni dan delegasi Sastrawan Indonesia. Sumber: Dok pribadi.
Di sela-sela festival, saya juga menikmati keindahan Kota Kinabalu dengan cara yang paling sederhana, yaitu berjalan kaki menelusuri jalan Tun Fuad Stephens yang bersih dan tertata rapi, menikmati angin laut yang membawa aroma garam, dan sesekali berhenti untuk mencicipi makanan khas Sabah di kedai-kedai pinggir pantai Tanjung Aru. Udang segar, ikan bakar, dan aneka hidangan laut lainnya menjadi pelengkap perjalanan, menambah warna dalam pengalaman sastra yang saya jalani. Dalam seminggu perjalanan di Kota Kinabalu, saya merasa seperti berada di antara dua dunia, sastra yang begitu megah di atas panggung, dan keseharian yang penuh kejutan di jalanan kota. Kota ini tidak hanya menyuguhkan festival sastra yang luar biasa, tetapi juga menyimpan cerita-cerita kecil yang tak pernah saya duga.
ADVERTISEMENT
Salah satu keunikan Kota Kinabalu adalah cara warganya mencintai laut. Saya mendengar cerita dari salah satu sastrawan yang hadir dalam Festival Sastra AntaraBangsa, di Sabah jika seseorang ingin menenangkan diri, mereka tidak pergi ke gunung Kundasang Kinabalu atau ke taman kota, melainkan duduk di tepi laut Tanjung Aru dan berbicara kepada ombak. Katanya, laut bisa mendengar semua keluh kesah, lalu membawanya pergi bersama pasang. Saya pun mencoba duduk di dermaga kayu yang tua, saya berbisik kepada air, berharap ombak membawa semua keraguan saya ke tengah samudera. Di tengah kesibukan festival, saya menemukan momen-momen tenang yang berharga. Suatu sore, saya kembali berjalan sendirian menuju Seafront Kafe yang terletak di tepi pantai. Kafe itu sederhana, tetapi suasananya begitu hangat dengan aroma teh tarik dan nasi lemak, serta suara ombak yang berirama lembut. Saya duduk di sudut dan memandangi laut yang berkilau di bawah sinar matahari senja. Saat menatap cakrawala, pikiran saya melayang jauh. Saya teringat pada semua penulis yang pernah saya baca, kata-kata mereka seolah mengalir kembali dalam benak saya. Dalam kesunyian itu, saya mulai menulis. Setiap goresan pena di atas kertas adalah ungkapan dari apa yang saya rasakan, sebuah refleksi dari perjalanan yang telah saya jalani. Saya menulis tentang keindahan Kota Kinabalu, tentang pertemuan dengan sastrawan-sastrawan hebat, dan tentang harapan-harapan yang baru saja tumbuh dalam diri saya.
ADVERTISEMENT
Pagi berikutnya, Kota Kinabalu menyambut saya dengan langit yang cerah. Matahari terbit perlahan dari balik cakrawala, memancarkan sinar keemasan yang menyelimuti kota dengan kehangatan. Udara pagi terasa segar, seperti embusan napas baru yang membawa harapan. Saya berdiri di balkon hotel Promenade dan memandangi laut yang berkilauan oleh cahaya pagi. Dalam hati, saya merasa bahwa hari ini akan menjadi babak baru, sebuah halaman kosong yang siap diisi dengan cerita-cerita luar biasa.
Pemberian buku dari Datuk Jasni Matlani. Sumber: Dok pribadi.
Setelah momen berkesan di Festival Sastra AntaraBangsa, saya diundang untuk mengunjungi Kantor Badan Bahasa dan Sastera Sabah, Kota Kinabalu bersama Datuk Jasni Matlani, seorang sastrawan terkenal di Malaysia dan Presiden Badan Bahasa dan Sastera Sabah. Datuk Jasni baru saja menerima Penghargaan Puisi Esai Award pertama dari Puisi Esai Network, yaitu Denny JA. Pencapaian itu menjadi sebuah prestasi yang mengukuhkan dedikasinya dalam mempopulerkan puisi esai di Sabah. Begitu memasuki kantor, suasana terasa tenang dan penuh semangat. Dinding-dindingnya dipenuhi dengan karya-karya sastra yang menggambarkan kekayaan budaya Melayu. Datuk Jasni dengan senyum ramahnya memperkenalkan saya kepada para staf dan sastrawan lokal yang hadir.
ADVERTISEMENT
Saya merasa terhormat bisa berada di antara mereka, semua orang di ruangan itu memiliki hasrat yang sama terhadap sastra. Dalam kesempatan ini, Datuk Jasni memberikan saya hadiah yang sangat berharga, sebuah koleksi sepuluh buku karyanya. Setiap buku dilengkapi dengan tanda tangan dan pesan khusus yang ditujukan untuk saya. Saya merasakan betapa tulusnya hati beliau dalam memberikan bekal pengetahuan dan inspirasi melalui karya-karyanya. Salah satu buku yang paling menarik perhatian saya adalah kumpulan puisi berjudul “Dongeng Perkebunan.”
Poto bersama setelah Konvensyen Sastra. Sumber: Dok pribadi.
Deni berpoto dengan Datuk Jasni Matlani di Bandara Kota Kinabalu. Sumber: Dok pribadi.
Ketika akhirnya saya harus kembali ke Indonesia, saya membawa lebih dari sekadar sekilas kenangan. Saya pulang dengan hati yang penuh syukur, penuh pelajaran, penuh keyakinan bahwa puisi bukan hanya barisan kata, melainkan cahaya yang mampu menembus batas ruang, waktu, dan bahkan nasib. Dari Kota Kinabalu, saya membawa pulang rasa kekeluargaan yang hangat, tatapan-tatapan bersahabat dari para penyair lintas bangsa, serta getaran-getaran semesta yang merestui setiap kata yang saya ucapkan di panggung.
ADVERTISEMENT
Saya belajar bahwa mimpi tidak pernah mengenal kata “terlalu kecil” untuk diperjuangkan, dan asal-usul bukanlah batas, melainkan akar yang membuat langkah semakin kuat. Kinabalu kini menjadi bagian dari peta perjalanan jiwa saya. Ia bukan hanya kota persinggahan, tetapi penanda bahwa mimpi anak desa yang tumbuh di antara petak sawah dan buku-buku pinjaman, bisa menjelma nyata di panggung internasional.