Konten dari Pengguna

Selipan Agenda ‘Woke’ Dalam Industri Game: Bumerang Bagi Komunitas dan Industri

M Farid Pratama
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Sriwijaya
30 November 2024 18:08 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari M Farid Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Game dan Hiburan
Sumber: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Pixabay
Pendahuluan
Di masa kini industri game menjadi sebuah industri yang amat sangat menguntungkan. Berawal dari sebuah gambar abstrak dengan grafis 8 bit dan dialog yang kaku pada tahun 80-an kini bertransformasi dengan grafis yang hampir sama dengan dunia nyata dengan dialog yang lebih ekspresif dan natural pada dekade 2000-an. Banyak perusahaan-perusahaan yang menjadi kaya raya berkat industri game ini sebut saja Sony Computer Entertainment, Electronic Arts, Microsoft, Tencent, dan lain-lain. Kekayaan yang mereka dapatkan bisa saja berasal dari penjualan kaset game, konsol, item-item dalam game, aksesoris, dan lain-lain. Tidak hanya sampai situ, bahkan industri game juga membantu para konsumennya untuk menjadi terkenal dan kaya. Contohnya kita bisa melihat para gamer yang bisa mendapatkan keuntungan yang sangat besar entah itu melalui turnamen kelas dunia hingga menjadi YouTuber sukses. Sebut saja PewDiePie, Shroud, Markiplier, Windah Basudara, MiawAug, dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Industri game sangat diminati oleh kebanyakan jutaan bahkan milyaran anak muda di masa sekarang. Bahkan game sudah sangat melekat pada kehidupan sehari-hari mereka untuk melepaskan stress dan penat setelah berkuliah atau bekerja. Namun, selain hanya menjadi Pelepas rasa jenuh game juga bisa berfungsi sebagai media promosi yang sangat efektif mengingat pangsa pasarnya yang sangat luas dan berskala global. Bahkan seharusnya game bisa dikategorikan sebagai media ‘diplomasi publik’ sebuah negara untuk mempromosikan kebudayaan, bahasa, gaya hidup, dan lan-lain. Selain negara media game juga dimanfaatkan sebagai media promosi agenda ‘woke’
Pada kisaran tahun 2020-an agenda woke sudah mulai menjamur dalam industri game untuk mempromosikan diantaranya isu-isu yang berkenaan dengan LGBTQ, kesetaraan gender, dan isu rasial terhadap elemen-elemen yang ada di dalam game. Sebagian orang pro terhadap hal tersebut namun sebagian besar orang juga menentang hal tersebut terutama para gamer. Bisa dikatakan ini merupkan strategi yang cerdas namun siapa sangka strategi ini menjadi bumerang bagi komunitas yang mendukung agenda woke dan juga industri game yang terlibat.
ADVERTISEMENT
Apa itu ‘Woke’?
Menurut The Conversation ‘woke’ sendiri memiliki arti kata ‘bangun’ atau ‘tersadar’ dan lambat laun kemudian definisi dari gerakan ini semakin diperluas menjadi “kewaspadaan terhadap isu diskriminasi, terutama rasisme”. Awalnya kata ini digunakan oleh komunitas orang kulit hitam Amerika Serikat dalam melawan isu rasisme, namun kemudian istilah ini digunakan oleh komunitas lainnya. Sekarang definisi agenda ini jauh lebih luas yaitu sebuah agenda untuk meningkatkan kesadaran terhadap isu rasial, gender, dan hak-hak kaum LGBT. Tujuan gerakan ini terdengar mulia, namun kemudian masyarakat mulai merasa jengkel dan menganggap mereka mulai menyimpang dan terlalu berlebihan dalam menanggapi suatu isu.
Bumerang Bagi Komunitas
Dalam melancarkan agenda mereka dalam mempromosikan isu-isu ini, mereka menggunakan banyak cara. Mulai dari media sosial, film, dan yang akan dibahas saat ini adalah game. Sayangnya hal ini alih-alih dapat mengambil hati masyarakat atau para gamer, justru malah mendapatkan kecaman dan penolakan yang merusak nama komunitas mereka sendiri. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai bumerang bagi si pelempar. Berikut ini alasannya mengapa strategi ini menjadi bumerang.
ADVERTISEMENT
1. Sifat Memaksa
Salah satu sifat yang dianggap paling menjengkelkan oleh masyarakat dari komunitas-komunitas yang berada di bawah agenda woke seperti LGBTQ atau feminis adalah sifat mereka yang suka memaksa. Memaksa agar orang-orang dapat menerima nilai-nilai yang mereka anut dengan berbagai cara. Meski demikian “sifat memaksa” ini masih berada dalam tahap perdebatan. Tapi hal tersebut dapat dibuktikan melalui upaya mereka menyelipkan agenda-agenda woke dalam elemen-elemen yang ada di video game.
Bersama dengan perusahaan game dan juga developer mereka cenderung menyelipkan agenda ini secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan. Contohnya dalam game yang berjudul The Last Of Us II yang cenderung lebih terselubung dalam memasukkan nilai-nilai feminism dan LGBTQ. Sementara itu terdapat juga game-game yang memasukkan nilai-nilai LGBTQ secara gamblang seperti game Assasin’s Creed, Marvel’s Spiderman 2, Concord, dan lain-lain. Di mana hal tersebut dapat dilihat pada unsur-unsur di dalam game seperti karakternya. Ada karakternya yang secara gamblang menyebut dirinya seorang lesbian atau gay, ada karakter-karakter yang diberikan pronounce tertentu, desain karakter yang terkesan aneh (perempuan dibuat berotot dan laki-laki kemayu), bahkan tak jarang menunjukkan adegan romantis dengan pasangan sesama jenis.
ADVERTISEMENT
Alih-alih bisa diterima dengan baik oleh para penikmat game atau masyarakat secara luas, hal tersebut dianggap terkesan memaksa dan mengganggu. Game-game yang cenderung menampilkan unsur woke atau LGBTQ di dalamnya malah kebanyakan mengalami kerugian. Contohnya game Concord yang hanya bisa bertahan dua minggu.
The Last Of Us 2 Art. Sumber: Pixabay
2. Kritik Mereka Terhadap Yang Bersebrangan
Selain daripada sikap memaksa, kritik mereka terhadap orang-orang yang memiliki pemahaman yang bersebrangan dengan mereka juga dianggap sesuatu hal yang menyebalkan. Bagaimana tidak? Mereka yang tidak memiliki pemahaman yang sama seperti mereka dianggap sebagai homophobic atau sexism dan lain sebagainya. Termasuk juga dalam industri game ini di mana game-game yang tidak mengandung unsur woke di dalamnya kerap mendapatkan kritikan dan pemberitaan negatif yang berlebihan.
ADVERTISEMENT
Contoh yang bisa kita lihat baru-baru ini adalah yang terjadi pada game baru di tahun 2024 yang berjudul Black Myth: Wukong. Sebuah game yang sangat sukses dan berhasil menjual 10 juta copy hanya dalam waktu tiga hari, mengalahkan Elden Ring dan Cyberpunk 2077, juga mendapatkan kritikan dan kontroversi.
Sebuah media baru-baru ini menjadi perbincangan dan menuai kritikan dari para gamer dikarenakan media tersebut memberikan rating rendah kepada game tersebut dengan alasan game Black Myth: Wukong dianggap kurang mengandung inklusifitas dan diversitas. Penulis dalam artikel tersebut menyoroti bahwa game ini kurang menampilkan perempuan sebagai non-playable character (NPC), sebagai musuh, atau sebagai boss (Kotakgame.com, 2024).
Artikel ini sukses membuat para gamer merasa marah dan jengkel. Mereka tidak setuju dengan pandapat tersebut dan kemudian mengkritik habis-habisan media tersebut, bahkan media tersebut sempat mengganti nama penulis untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Mereka juga menganggap bahwa menghubungkan game dengan inklusifitas dan diversitas merupakan upaya untuk memaksakan agenda tertentu.
ADVERTISEMENT
Selain itu, sebenarnya penulis juga menemukan beberapa kejanggalan terkait artikel tersebut. Pertama, game ini secara latar tempat dan suasana mengambil latar tempat di Tiongkok. Sudah sangat jelas budaya di dalam game adalah kebudayaan Tiongkok. Memasukkan unsur kebudayaan lain akan terkesan aneh dan sangat tidak masuk akal. Kedua, setelah penulis mengobservasi lagi ternyata game Black Myth: Wukong juga memiliki karakter perempuan di dalamnya, baik itu npc, musuh, atau boss. Sebut saja Lady Rakhshasi, Snake Lady, Kang-Jinstar, dan Violet Spider beserta ketiga putrinya yang menjadi musuh sekaligus boss dalam game. Ketiga, jika memang berbicara soal “hak” bukankah developer game juga memiliki hak dalam mengembangkan cerita dan karakter dengan bebas tanpa harus mengikuti standar-standar yang dibuat oleh barat atau agenda woke? Apa yang dilakukan mereka tidak lain dan tidak bukan hanyalah mencoreng nama mereka sendiri.
ADVERTISEMENT
3. Mengganggu Pengalaman Bermain
Sebagian gamers sebenarnya tidak begitu peduli dengan agenda-agenda semacam itu. Para gamers lebih berfokus pada alur cerita ataupun gameplay. Jadi, mereka tidak begitu peduli tentang berapa banyak npc wanita di dalam game itu, berapa banyak boss wanita di dalam game tersebut, atau apakah karakter tersebut seorang gay atau lesbian.
Memasukkan unsur-unsur agenda woke bisa menjadi sebuah kesia-siaan atau bahkan mengganggu pengalaman bermain para gamer. Apabila isu-isu sosial semacam ini jauh lebih diprioritaskan daripada elemen permainan yang menyenangkan hal ini hanya akan membuat produk menjadi lebih tidak memuaskan (Pratama, 2024).
Bumerang Bagi Industri Game
Perusahaan-perusahaan atau developer game menjadi aktor yang berperan penting dalam menyelipkan agenda woke ini ke dalam game-game buatan mereka. Jelas saja hal ini juga bisa berdampak pada perusahaan-perusahaan dan developer yang mengembangkan game-game ini karena menyelipkan agenda woke ke dalam game mereka. Sayangnya, memasukkan agenda tersebut ke dalam game buatan mereka tidak memberikan keuntungan yang signifikan malah mereka justru lebih merugi. Jika saja banyak perusahaan game lain meniru hal ini, maka ini bisa berdampak pada industri game secara keseluruhan.
ADVERTISEMENT
Jelas saja, game-game ini akan kehilangan value-nya karena hanya memprioritaskan agenda semacam ini ke dalam game mereka hingga mengkesampingkan segi cerita atau gameplaynya. Terlebih lagi setiap gamer di seluruh dunia datang dari latar belakang yang berbeda-beda. Tidak semua dari mereka dapat menerima agenda woke ini disebabkan latar belakang kebudayaan yang mereka miliki. Alhasil mereka akan sangat tidak menyukai game tersebut dan bahkan memutuskan berhenti memainkannya.
Selain itu, menyelipkan agenda woke hanya akan merugikan perusahaan game dan juga developer. Contohnya adalah Electronic Arts (EA) perusahaan game yang menciptakan game-game memorable ini pernah dicap sebagai perusahaan terburuk karena memasukkan unsur-unsur LGBTQ di dalamnya contohnya di dalam game The Sims dan bahkan EA memperbolehkan untuk membuat karakter LGBT di dalam gamenya (Liputan6.com, 2013). Hal yang sama terjadi pada perusahaan Sony dalam gamenya yang berjudul Concord yang hanya bertahan selama dua minggu. Padahal game tersebut telah menghabiskan dana sebesar $100 juta dolar dan telah dikembangkan selama 8 tahun. Sebenarnya ada banyak faktor yang menyebabkan kenapa game ini gagal. Tetapi, salah satunya adalah karena game ini memasukkan nilai-nilai LGBTQ dan Body Positivity yang pada akhirnya berdampak pada desain dan bentuk karakter yang kemudian dianggap oleh para gamer sangat aneh dan tidak natural dan dianggap sebagai orang-orang yang tidak bisa berperang (Gizmologi.id, 2024).
ADVERTISEMENT
Selain itu game-game dengan unsur-unsur ini di dalamya juga mendapatkan pencekalan dan dilarang peredarannya di negara-negara tertentu, terutama di region Asia yang sebenarnya merupakan pasar terbesar industri game. Game-game yang dilarang peredarannya diantaranya adalah The Last Of Us II, Tell Me Why, Mass Effect, Dragon Age: Origins, dan The Sims 4 (Laksono, 2022).
Hal ini sudah sangat jelas merupakan sebuah bumerang bagi industri game dan juga komunitas-komunitas yang bernaung di bawah gerakan woke. Alih-alih mendapatkan simpati, dukungan, dan keuntungan justru keduanya mendapatkan penolakan, rasa jengkel, dan kerugian akibat hal tersebut.
Kesimpulan
Strategi woke agenda dalam mempromosikan nilai-nilai yang mereka anut dapat dikatakan sebagai strategi yang cerdas. Namun, hal tersebut justru menjadi bumerang diakibatkan oleh tindakan berlebihan yang mereka lakukan seperti sikap suka memaksa dan pelabelan buruk terhadap orang yang bersebrangan, serta kampanye mereka yang mengganggu pengalaman para gamer. Hal tersebut hanya semakin membesarkan pandangan negatif terhadap gerakan ini yang juga kemudian berpengaruh pada perusahaan-perusahaan dan developer game yang terlibat. Tentunya hal ini dapat dikatakan sebagai sebuah bumerang yang berbalik mengenai kepala si pelempar.
ADVERTISEMENT
Referensi
Gizmologi.id. (2024, September 18). Kontroversi Concord, Jadi Game Paling Gagal Sampai Ditarik Oleh Sony. Retrieved from Gizmologi.id: https://gizmologi.id/game/kontroversi-game-concord/
Kotakgame.com. (2024, Agustus 20). MEDIA DISERANG GAMER KARENA BERI SKOR RENDAH KE BLACK MYTH: WUKONG DENGAN ALASAN KURANG DIVERSITAS! Retrieved from Kotakgame.com: https://m.kotakgame.com/detail.php?id=103187
Laksono, G. (2022, Juni 15). Bernasib Seperti Lightyear, 5 Game Ini Diblokir Oleh Berbagai Negara Akibat LGBT. Retrieved from Kincir.com: https://kincir.com/game/console-game/bernasib-seperti-lightyear-5-game-ini-diblokir-oleh-berbagai-negara-akibat-lgbt-r6ecowqlsifln/
Liputan6. (2023, April 09). Ciptakan Karakter Gay, Perusahaan Ini Jadi Perusahaan Terburuk? Retrieved from Liputan6.com: https://www.liputan6.com/tekno/read/556280/ciptakan-karakter-gay-studio-game-ini-jadi-perusahaan-terburuk
Mirzaei, A. (2023, Juni 02). Asal usul kata woke dan mengaoa marketer harus berpikir dua kali sebelum terjun ke aktivisme sosial. Retrieved from The Conversation: https://theconversation.com/asal-usul-kata-woke-dan-mengapa-marketer-harus-berpikir-dua-kali-sebelum-terjun-ke-aktivisme-sosial-206209#:~:text=Salah%20satu%20kontributor%20Urban%20Dictionary,kepedulian%20terhadap%20suatu%20masalah%20sosial%E2%80%9D