Memfasilitasi Kejahatan (Kepolisian) Negara

M Nurul Fajri
Alumni pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Andalas dan Erasmus Scholarship di Radboud University. Peminat studi hukum tata negara, filsafat, sosiolegal, etnografi, dan sistem politik.
Konten dari Pengguna
4 Agustus 2022 17:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari M Nurul Fajri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi persidangan di pengadilan tingkat pertama. (Bisnis/Sholahuddin Al Ayyubi)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi persidangan di pengadilan tingkat pertama. (Bisnis/Sholahuddin Al Ayyubi)
ADVERTISEMENT
Mahkamah Agung harus mereformasi diri jika tidak mau dianggap bersekutu dengan polisi. Lewat putusannya, Mahkamah Agung turut memfasilitasi kekerasan atas nama negara yang dilakukan tidak semestinya oleh institusi kepolisian. Tidak terkecuali penegakan hukum yang tidak menghormati harkat martabat manusia, dan juga rasis.
ADVERTISEMENT
Lewat putusannya Mahkamah Agung menyatakan, penegakan hukum yang mengedepankan kekerasan yang tidak semestinya, tidak menghormati harkat martabat manusia dan juga rasis bukanlah sebuah kejahatan. Sementara di sisi lain warga negara merasa menjadi korban kekerasan oleh alat negara.
Mahkamah Agung perlu menaruh perhatian serius pada masalah besar penegakan hukum oleh kepolisian, yakni kekerasan yang dilakukan oleh polisi, tindakan yang tidak menghormati harkat martabat manusia dan rasisme dalam penegakan hukum. Mahkamah Agung cenderung menolak memaksakan pemeriksaan yang khusus namun konstitusional kepada polisi atau memberikan pemulihan yang memadai untuk pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh kepolisian.
2019 lalu, Pengadilan Negeri Klaten menolak praperadilan yang diajukan oleh keluarga Siyono, terduga teroris yang meninggal setelah ditangkap oleh Densus 88 pada 2016 lalu. Keluarga menggugat Polres Klaten, karena diduga tak menyelidiki secara komprehensif dan menghentikan penyelidikan kematian Siyono. Hakim beralasan penyelidikan telah sesuai bukti Polres Klaten, sehingga status kasus belum ditingkatkan ke penyidikan, karena tindakan kehati-hatian penyidik.
ADVERTISEMENT
Tanpa disadari Mahkamah Agung turut mengubah aturan atau menciptakan aturan baru yang gagal melindungi hak konstitusional warga negara dan turut memfasilitasi penegakan hukum yang diskriminatif serta penggunaan kekuatan/kewenangan yang berlebihan. Indikasi ini yang dinilai terjadi dalam kasus penembakan enam orang anggota laskar FPI yang oleh pengadilan pelaku penembakan diputus lepas. Padahal banyak yang menilai tindakan tersebut kuat sebagai tindakan extra judicial killing.
Majelis hakim menilai dua orang anggota kepolisian yang merupakan pelaku penembakan terhadap anggota laskar FPI diputus lepas. Oleh karena keduanya dinilai memiliki alasan pembenar untuk melakukan penembakan kepada enam orang anggota FPI sampai keenamnya tewas tertembak.
Warisan Sejarah
Pada dasarnya, perilaku demikian tidak lepas dari sejarah arogansi institusi yang terbentuk oleh situasi politik dan hukum masa lalu. Perubahan konstitusi pada akhirnya mengubah wajah institusi kepolisian yang terikat dengan norma konstitusi hasil perubahan yang berusaha mereformasi sifat kelembagaan kepolisian. Termasuk dengan upaya membatasi kewenangannya lewat tafsir konstitusional oleh Mahkamah Konstitusi. Di samping juga turut meningkatkan kualitas perlindungan hak asasi warga negara.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, tak jarang peradilan membuat keputusan yang mencoreng wajah peradilan itu sendiri. Dengan melahirkan putusan-putusan yang terkesan memberikan keistimewaan terhadap kepolisian. Sebut saja putusan terhadap anggota polisi yang melakukan penyiraman Novel Baswedan. Dalam pertimbangan putusannya, majelis hakim Pengadilan Jakarta Utara secara implisit membenarkan penggunaan kekerasan untuk memberikan pelajaran terhadap orang lain.
Peradilan sendiri yang terkesan melakukan pelemahan terhadap upaya mereformasi sistem penegakan hukum, terutama perilaku institusi penegak hukum. Justru kecenderungan Mahkamah Agung adalah memperbesar kekuasaan kepolisian. Entah disadari atau tidak, Mahkamah Agung telah melakukan jauh lebih banyak kerugian terhadap penegakan hukum daripada kebaikan. Terutama menyangkut hak-hak kelompok subordinasi.
Lebih jauh, Mahkamah Agung turut mempromosikan yurisprudensi kekerasan oleh aktor negara, tindakan tidak menghormati harkat dan martabat kemanusiaan, dan rasial. Mahkamah Agung telah melemahkan kemampuan pihak yang berperkara untuk mengakses keadilan konstitusional dalam kasus-kasus yang melibatkan penegak hukum.
ADVERTISEMENT
Sistem dan Kesadaran Kemanusiaan
Pembahasan ini bukan mencoba menjelaskan keseluruhan sistem hukum peradilan pidana. Akan tetapi berfokus pada cara-cara kegagalan Mahkamah Agung dengan melihat kasus-kasus yang spesifik. Untuk hal yang telah diuraikan di atas, pembicaraan ditempatkan pada skala manusia. Membicarakan para hakim tidak hanya membicarakan penilaian, pendapat, penalaran dan perbedaan pendapat, akan tetapi masuk ke dalam jendela biografi singkat ke dalam kehidupan hakim sebelum mereka bergabung dengan pengadilan dan keadaan yang tampak istimewa, didorong oleh kepribadian yang terkadang menyebabkan penunjukan mereka yang kuat (Fred, 2022).
Dengan kata lain solusi tetap ditempatkan secara proporsional. Baik kepada kepolisian, maupun Mahkamah Agung. Semisal mempertegas tafsir ketentuan yang mengatur tindakan-tindakan kepolisian dengan menentukan indikator objektif. Tidak lagi menjadi tindakan yang ditafsirkan secara subjektif. Begitu juga bagi para hakim, yang seharusnya mengedepankan perlindungan terhadap hak, bukan semata-mata bicara aspek penegakan hukum normatif (Chemerinsky, 2021).
ADVERTISEMENT
Pengadilan dengan kebebasan hakim yang dimiliki semestinya dapat memberikan lebih banyak perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara, dan menciptakan kesetaraan dalam sistem hukum pidana. Dengan kata lain Mahkamah Agung juga harus sensitif terhadap situasi sosial politik. Bukan untuk berpihak namun untuk berpegang pada nilai-nilai keadilan dan persamaan di hadapan hukum.