Konten dari Pengguna

Menolak Narasi "Perempuan Memiliki Segalanya" dalam Konteks Gerakan Feminisme

Mahdizal Khalila
Nama saya Mahdizal Khalila asal Kota Padang. Saya adalah Mahasiswa S1 Ilmu Komunikasi Universitas Andalas. Saya senang berbagi opini dalam mengupas permasalahan yang sedang terjadi. Harapan saya, opini ini dapat bermanfaat bagi orang lain
5 Oktober 2024 18:28 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mahdizal Khalila tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber: Freepik
zoom-in-whitePerbesar
sumber: Freepik
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam gerakan feminisme, sebuah narasi yang semakin marak diperbincangkan adalah klaim bahwa "perempuan memiliki segalanya." Narasi ini mengandung gagasan bahwa perempuan, untuk dianggap berhasil atau berdaya, harus mandiri sepenuhnya, tanpa ketergantungan pada orang lain, terutama laki-laki. Dorongan ini sering muncul dalam bentuk tuntutan untuk menjadi wanita karir, fokus pada eksplorasi diri, dan menjauh dari pilihan seperti pernikahan atau membangun keluarga. Namun, feminisme sebagai gerakan yang memperjuangkan kesetaraan gender menolak klaim ini karena dianggap mengaburkan tujuan sebenarnya, yaitu mencapai keseimbangan hak dan kesempatan bagi semua gender. Ada beberapa alasan kuat mengapa narasi ini problematik dan harus ditolak.
ADVERTISEMENT

Feminisme: Gerakan untuk Kesetaraan, Bukan "Superpower"

Feminisme bukanlah doktrin yang mendorong perempuan untuk menjadi entitas yang berkuasa atas yang lain, melainkan gerakan sosial yang bertujuan mencapai kesetaraan gender. Ini bukan tentang menciptakan satu kelompok gender yang lebih dominan, melainkan memastikan setiap orang, terlepas dari jenis kelaminnya, memiliki hak dan kesempatan yang sama. Ketika feminisme dipersepsikan sebagai cara untuk menciptakan “actor superpower” dari kalangan perempuan, ini justru mengkhianati esensi dasar gerakan tersebut.
Mendidik dan memberdayakan perempuan bukanlah tentang menjadikan mereka entitas paling kuat, tetapi untuk memberi mereka alat agar bisa berdiri setara dalam masyarakat. Narasi "memiliki segalanya" justru membebani perempuan dengan ekspektasi yang tidak realistis, di mana kesuksesan dan kekuatan harus datang tanpa dukungan atau interaksi dengan orang lain. Ini menyalahi prinsip dasar bahwa manusia adalah makhluk sosial yang memerlukan kerja sama dan saling ketergantungan untuk mencapai tujuan bersama.
ADVERTISEMENT

Dampak Standarisasi: Ekspektasi yang Tidak Realistis

Narasi ini dapat menciptakan standar yang tidak realistis bagi perempuan di masyarakat. Muncul pandangan bahwa untuk menjadi "perempuan sejati," seorang perempuan harus memiliki segalanya—baik dalam aspek karir, finansial, maupun kehidupan pribadi. Ini bisa membebani perempuan dengan tuntutan kemandirian yang tidak selalu bisa dicapai oleh semua orang.
Dalam realitas sosial, tidak semua orang lahir dengan "segala hal" yang dibutuhkan untuk memenuhi standar ini. Apa yang disebut sebagai lottery of birth—nasib saat kita dilahirkan—mengakibatkan perbedaan akses terhadap sumber daya seperti pendidikan, harta, atau dukungan keluarga. Misalnya, seseorang yang lahir dalam keluarga miskin mungkin tidak memiliki akses terhadap pendidikan berkualitas, sementara mereka yang dilahirkan di keluarga kaya pun bisa menghadapi kurangnya dukungan emosional atau kasih sayang. Karena itu, mengharapkan semua perempuan untuk mandiri secara total dan "memiliki segalanya" sama saja dengan mengabaikan kenyataan sosial yang sangat kompleks dan beragam.
ADVERTISEMENT
Selain itu, aksesibilitas terhadap pendidikan, peluang karir, dan layanan sosial masih sangat terbatas di banyak tempat, terutama bagi perempuan di wilayah terpencil atau negara berkembang. Oleh karena itu, standar ini justru memperkuat ketidakadilan yang ada, bukannya memberdayakan semua perempuan secara merata.

Paradoks Kesetaraan Gender

Narasi ini juga berpotensi merusak prinsip kesetaraan gender yang menjadi landasan feminisme. Jika perempuan dipaksa untuk memenuhi standar "memiliki segalanya," hal ini akan memunculkan kesan bahwa perempuan harus lebih kuat dan lebih berkuasa dari entitas lain, terutama laki-laki, agar bisa dianggap sukses. Ini bukan kesetaraan, tetapi bentuk dominasi baru yang malah bertentangan dengan tujuan awal feminisme, yaitu menciptakan keseimbangan antara laki-laki dan perempuan.
Kesetaraan gender bukanlah tentang mempromosikan satu gender di atas yang lain, tetapi memastikan bahwa setiap orang memiliki hak dan peluang yang sama untuk berkembang, terlepas dari gender mereka. Menekankan bahwa perempuan harus memiliki segalanya mengabaikan kebutuhan akan kerja sama antara gender, serta menghilangkan ruang untuk kerentanan dan saling dukung.
ADVERTISEMENT

Penerimaan Masyarakat dan Tantangan dalam Advokasi

Di masyarakat konservatif, perubahan signifikan sering kali dihadapi dengan penolakan. Nilai-nilai tradisional, norma sosial, dan agama telah mengakar kuat dalam budaya mereka. Narasi bahwa perempuan bisa atau harus "memiliki segalanya" sering kali tidak sesuai dengan pandangan ini dan dapat memicu reaksi negatif. Banyak dari masyarakat ini percaya pada peran tradisional perempuan dalam keluarga dan masyarakat, dan menganggap peran tersebut sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas perempuan. Ketika feminisme dikaitkan dengan tuntutan berlebihan ini, gerakan feminis bisa saja menghadapi resistensi lebih besar dalam memperjuangkan hak-hak perempuan.
Dalam konteks advokasi kebijakan, narasi ini juga dapat merusak kredibilitas gerakan feminisme. Feminisme harus mampu menarik perhatian masyarakat luas dan diterima oleh beragam kelompok. Jika gerakan feminisme dicitrakan sebagai sesuatu yang mengharuskan perempuan menjadi individu yang sempurna dan mandiri secara ekstrem, hal ini dapat mengalienasi banyak perempuan yang merasa tuntutan tersebut tidak realistis atau bahkan merugikan.
ADVERTISEMENT
Gerakan feminisme bertujuan untuk memperjuangkan kesetaraan gender, bukan untuk menciptakan superioritas perempuan. Narasi "perempuan memiliki segalanya" adalah simplifikasi yang tidak realistis dan kontraproduktif, karena mengabaikan kompleksitas kehidupan manusia dan kondisi sosial yang beragam. Selain itu, narasi ini justru menambah beban bagi perempuan dengan ekspektasi yang tidak semua orang mampu capai. Feminisme yang sehat dan inklusif harus tetap berfokus pada kerja sama, kesetaraan, dan pemberdayaan tanpa menuntut perempuan untuk menjadi aktor superpower yang "memiliki segalanya."