Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.91.0
Konten dari Pengguna
Jatuh Cinta dan Putus Cinta dalam Sudut Pandang Neurosains
30 November 2024 17:24 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Mahika Reva Fatahsiana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setiap orang pasti pernah mengalami jatuh cinta. Cinta datang dengan sendirinya dan membawa banyak hal baru dalam hidup kita. Namun, cinta itu apa sih sebenarnya? Lalu, saat putus cinta kenapa rasanya begitu sakit?
ADVERTISEMENT
Dalam buku The Art of Loving, Erich Fromm (1983) mengatakan bahwa cinta adalah alat untuk mengatasi keterpisahan manusia dan pemenuhan kerinduan akan kesatuan. Sedangkan, dalam neurosains cinta jauh lebih kuat dari basic emotion or state of mind. Secara emosional, cinta berarti memikirkan orang yang dicintai secara terus-menerus. Orang yang sedang merasakan jatuh cinta, memiliki keinginan kompulsif untuk terus dekat dengan orang yang disukai. Cinta mengabungkan motivasi, emosi, ingatan, dan kognisi.
Cinta menimbulkan efek fisiologis, seperti jantung yang berdebar-debar, berkeringat, dan gemetar. Selain itu, efek fisiologis lain yang mungkin ikut muncul yaitu peningkatan denyut nadi, hilangnya nafsu dan minat terhadap makanan dan minuman, peningkatan keasaman lambung dan kecepatan dalam menelan. Hal inilah yang sebenarnya mendasari asumsi bahwa hati adalah alat untuk jatuh cinta. Pada bagian otak, korteks insular yang menciptakan perasaan gelisah tersebut ketika sedang jatuh cinta dan mencerminkan emosi kita ke tubuh dalam bentuk peningkatan denyut nadi dan berkeringat (Zeki, 2007; Ortigue et al., 2010).
ADVERTISEMENT
Berdasarkan penelitian melalui fMRI yang dilakukan oleh Semir Zeki dan rekan rekannya pada tahun 2004 mengenai apa yang terjadi di otak manusia ketika seseorang melihat gambar orang yang dia sukai yaitu, mereka jatuh ke dalam larutan dopamin. Dopamin adalah hormon yang ada di otak kita yang terkait dengan kebahagian dan serotonin yang mengatur suasana hati. Saat seseorang tertarik secara fisik kepada orang lain, terjadi aktivasi dopamin, serotonin, dan produksi oksitosin, hormon yang mengurangi rasa sakit dan meningkatkan hubungan emosional kita dengan orang lain.
Melihat gambar orang yang dicintai sangat mengaktifkan area otak yang terkait dengan hadiah, dengan cara yang mirip dengan orang yang menggunakan zat adiktif (Burkett & Young, 2012). Melihat orang yang dicintai juga mengaktifkan hipokampus dan area lain yang penting untuk daya ingat dan kognisi (Ortigue, Bianchi-Demicheli, Patel, Frum, & Lewis, 2010). Saat berpikir mengenai seseorang yang disukai akan membangkitkan ingatan tentang apa yang telah dilakukan bersama.
ADVERTISEMENT
Sedangkan yang terjadi dalam korteks otak yaitu terdapat penonaktifan di berbagai area kortikal berbeda dengan daerah aktif subkortikal di korteks otak orang yang sedang jatuh cinta. Daerah yang menunjukkan penurunan aktivasi deaktivasi adalah daerah prefrontal, daerah parieto-temporo-oksipital, dan daerah temporo-parietal (Zeki, 2007; Bartels dan Zeki, 2000; 2004; Esch dan Stefano, 2005). Daerah prefrontal adalah daerah penting untuk visualisasi, niat dan pengambilan keputusan dan deduksi yang logis, serta merupakan sumber logika dan kepatuhan terhadap aturan sosial, moralitas, dan rasa hormat. Saat jatuh cinta aktivitas di daerah ini berkurang, sehingga hal inilah yang menyebabkan seseorang cenderung mengambil risiko bodoh dan tidak logis. Hal ini juga menyebabkan banyak orang tetap suka dengan orang yang red flag dan terjebak dalam hubungan yang toxic.
ADVERTISEMENT
Saat terjebak dalam hubungan toxic atau setelah mengalami putus cinta, kita akan merasa sakit dan terluka secara emosional, apalagi jika cinta yang kita alami sudah begitu dalam. Dari sebuah eksperimen mengukur aktivitas otak dari individu dewasa muda yang mengalami putus cinta. Dalam eksperimen tersebut diperlihatkan foto mantannya. Saat dia melihat foto mantannya, muncul perasaan terluka sebagai aktivitas di kedua area emosional (terutama pada korteks singulat) dan area sensorik yang responsif terhadap nyeri fisik (Kross, Berman, Mischel, Smith, dan Taruhan, 2011).
Selain memunculkan rasa sakit emosional, memori mengenai mantan juga tidak bisa langsung terlupakan begitu saja. Hal ini terjadi karena kenangan bersama mantan tersebut adalah memori yang signifikan secara emosional sehingga terbentuk dengan cepat dan masuk ke dalam memori jangka panjang atau long term memory. Pengalaman emosional tersebut meningkatkan sekresi epinefrin dan kortisol yang mengaktifkan amigdala dan hipokampus (Cahill & McGaugh, 1998; Murty, LaBar, & Adcock, 2012). Keterikatan emosional dengan mantan mengenai kenangan di masa lalu yang terus kita ingat akan memperkuat kenangan tersebut di dalam long term memory, sehingga hal inilah yang menyebabkan kebanyakan orang mengalami gamon atau gagal move on.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus yang lebih serius, saat seseorang mengalami putus cinta, mereka cenderung memiliki rasa putus asa yang tinggi, sedih dan tidak berdaya sepanjang hari, serta tidak bisa menikmati apapun. Mereka juga cenderung merasa tidak berharga, sulit tertidur, dan bahkan berpikir untuk bunuh diri. Hal ini terjadi karena nukleus akumbens mereka menjadi kurang responsif terhadap penghargaan (Russo & Nestler, 2013) sehingga memunculkan depresi. Selain itu, putus cinta juga dapat menyebabkan masalah kognitif, yaitu berkurangnya motivasi dalam diri seseorang.
DAFTAR PUSTAKA
Baixauli, E. (2017). Happiness: Role of Dopamine and Serotonin on mood and negative emotions. Emerg Med (Los Angel), 7(2), 350.
Kalat, J. W. (2020). Biopsikologi. (F. Nurjanti, Terjemahan). Jakarta: Salemba Humanika.
ADVERTISEMENT
Sobur, A. (2016). Psikologi Umum. Jawa Barat: Pustaka Setia.
Tarlaci, S. (2012). The brain in love: has neuroscience stolen the secret of love?. NeuroQuantology, 10(4).