Konten dari Pengguna

Sensory Play: Mengapa Anak Perlu Lebih Banyak Belajar di Luar Kelas

Maila Dinia Husni Rahiem
Maila Dinia Husni Rahiem adalah Guru Besar di bidang Pendidikan Anak Usia Dini dan Kesejahteraan Sosial di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6 Januari 2025 11:25 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Maila Dinia Husni Rahiem tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Maila Dinia Husni Rahiem
Sensory play atau pembelajaran berbasis indera merupakan metode belajar anak yang menekankan eksplorasi lingkungan melalui aktivitas luar ruangan untuk mendukung perkembangan kognitif, emosional, dan sosial anak. Sensory play bukanlah konsep baru. Sejak dahulu, anak-anak Indonesia sudah akrab dengan permainan tradisional yang sarat dengan eksplorasi indera, seperti bermain lumpur, menangkap ikan di sungai, atau sekadar bermain di halaman rumah. Sayangnya, ruang terbuka hijau di perkotaan semakin terbatas, dan permainan tradisional anak yang kaya akan nilai pendidikan mulai tergeser oleh aktivitas pasif di dalam ruangan.
Hutan Batu Raden (Poto Koleksi Pribadi Maila DInia Husni Rahiem)
zoom-in-whitePerbesar
Hutan Batu Raden (Poto Koleksi Pribadi Maila DInia Husni Rahiem)
Sebuah studi dari National Trust UK menemukan bahwa anak-anak zaman sekarang menghabiskan 50% lebih sedikit waktu di luar ruangan dibandingkan generasi sebelumnya. Sementara itu, di Indonesia, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa sebagian besar kota besar memiliki ruang terbuka hijau yang masih jauh di bawah standar ideal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu 9 meter persegi per orang. Realitas ini diperburuk oleh peningkatan waktu yang dihabiskan anak-anak di depan layar gawai, yang kini jauh melampaui waktu bermain di luar ruangan.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini bukan sekadar angka di atas kertas, tetapi potret nyata tentang bagaimana lingkungan belajar anak-anak kita semakin sempit dan terbatas. Aktivitas yang melibatkan panca indera—menyentuh tanah, mendengarkan suara angin, atau mencium aroma bunga—semakin jarang terjadi. Padahal, kegiatan seperti ini memiliki dampak signifikan pada perkembangan kognitif, emosional, dan sosial anak.
Sensory Play: Fondasi Penting Perkembangan Anak
Jean Piaget, psikolog perkembangan terkemuka, menegaskan bahwa anak-anak belajar paling efektif melalui pengalaman langsung dengan lingkungannya. Aktivitas seperti menyentuh pasir, mendengarkan suara burung, atau mencium aroma bunga bukanlah sekadar permainan. Aktivitas ini merangsang koneksi saraf di otak, memperkuat keterampilan motorik, dan mendorong rasa ingin tahu.
Penelitian dari American Academy of Pediatrics menemukan bahwa anak-anak yang rutin bermain di luar ruangan memiliki tingkat fokus yang lebih baik, lebih jarang mengalami kecemasan, dan menunjukkan keterampilan sosial yang lebih kuat dibandingkan anak-anak yang lebih banyak menghabiskan waktu di ruang tertutup. Aktivitas di alam juga membantu menurunkan kadar hormon stres kortisol dan meningkatkan hormon endorfin yang memicu perasaan bahagia.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, kesenjangan antara pemahaman tentang pentingnya sensory play dan praktik di lapangan masih cukup lebar. Banyak sekolah masih memandang bermain sebagai aktivitas yang terpisah dari belajar. Padahal, di dalam setiap aktivitas bermain, terdapat proses belajar yang mendalam dan bermakna.
Belajar dari Praktik Terbaik di Dunia
Beberapa negara telah membuktikan efektivitas pendidikan berbasis sensory play melalui integrasi langsung dalam kurikulum mereka.
Di Denmark, konsep Forest School mengajarkan anak-anak untuk belajar langsung di alam terbuka. Aktivitas seperti mengamati tumbuhan, bermain dengan tanah, dan memahami pola aliran air sungai menjadi bagian dari kurikulum formal yang terstruktur.
Di Jerman, anak-anak di Waldkindergarten menghabiskan sebagian besar waktu belajar mereka di luar ruangan, bahkan di tengah hujan atau salju. Pelajaran matematika, sains, dan keterampilan sosial diajarkan melalui eksplorasi langsung di alam.
ADVERTISEMENT
Di Jepang, aktivitas luar ruangan dalam konsep Yagai Katsudo diintegrasikan ke dalam kurikulum sejak tingkat sekolah dasar. Anak-anak diajarkan untuk memahami lingkungan sekitar dengan mengamati perubahan musim dan mempelajari ekosistem secara langsung di taman sekolah.
Dari Alam ke Kelas: Tantangan Sensory Play di Indonesia
Pendidikan di Indonesia menghadapi berbagai tantangan dalam mengintegrasikan aktivitas berbasis sensory play. Salah satunya adalah keterbatasan ruang terbuka hijau, terutama di kawasan perkotaan. Banyak kota besar di Indonesia masih berjuang untuk memenuhi standar ideal WHO terkait ruang terbuka hijau, dengan ketersediaan yang sangat terbatas bagi anak-anak untuk bermain dan belajar di alam bebas.
Tantangan berikutnya adalah pola kurikulum yang masih fokus pada hasil akademik yang terukur. Aktivitas di luar ruangan sering dianggap sebagai kegiatan tambahan, bukan bagian dari proses pembelajaran inti. Akibatnya, waktu untuk bermain dan mengeksplorasi lingkungan menjadi terbatas dan cenderung diabaikan.
ADVERTISEMENT
Kesiapan tenaga pendidik juga menjadi faktor penting. Banyak guru belum mendapatkan pelatihan yang cukup tentang bagaimana merancang dan mengelola aktivitas sensory play yang aman dan efektif. Di sisi lain, sebagian orang tua masih beranggapan bahwa bermain di luar ruangan adalah aktivitas yang membuang-buang waktu dan tidak memiliki nilai pendidikan.
Meski begitu, beberapa sekolah di Indonesia sudah mulai mengambil langkah positif dengan mengintegrasikan aktivitas luar ruangan ke dalam kegiatan belajar. Taman sekolah, kebun kecil di halaman, atau aktivitas observasi serangga menjadi bagian dari metode pengajaran yang lebih inklusif dan berbasis pengalaman langsung.
Belajar dari Alam: Perspektif Budaya dan Lokalitas
Indonesia memiliki kekayaan budaya yang erat kaitannya dengan permainan berbasis alam. Di pedesaan, aktivitas seperti menangkap ikan di sungai, memanjat pohon untuk memetik buah, atau bermain lumpur di sawah adalah contoh sensory play yang diwariskan turun-temurun. Aktivitas ini melatih indera anak, menanamkan nilai keberanian, kerja sama, dan rasa syukur atas kekayaan alam.
ADVERTISEMENT
Di Bali, anak-anak sering diajak ke sawah oleh orang tua mereka untuk memahami siklus pertanian. Di Jawa Barat, permainan tradisional seperti egrang atau bakiak melatih keseimbangan tubuh dan koordinasi motorik kasar. Nilai-nilai dari aktivitas ini perlu diangkat kembali ke dalam konteks pendidikan modern.
Sekolah di Indonesia tidak perlu meniru sepenuhnya konsep Forest School di Denmark atau Waldkindergarten di Jerman. Dengan konteks geografis, budaya, dan sosial yang berbeda, Indonesia dapat mengembangkan model sensory play yang sesuai dengan kearifan lokal dan potensi lingkungan sekitar.
Membangun Ruang Bermain dan Belajar yang Berkelanjutan
Mengintegrasikan sensory play dalam pendidikan di Indonesia memerlukan pendekatan yang sistematis dan berkelanjutan.
Pemerintah memiliki peran strategis dalam memastikan kurikulum pendidikan formal mengakomodasi sensory play sebagai metode pembelajaran yang terukur dan terstandarisasi. Aktivitas ini harus dianggap sebagai bagian integral dari proses belajar, bukan sekadar pelengkap.
ADVERTISEMENT
Sekolah dapat memanfaatkan setiap ruang terbuka yang ada—halaman kecil, taman vertikal, atau kebun sederhana—untuk menciptakan lingkungan belajar yang kaya akan stimulasi indera.
Guru memerlukan pelatihan khusus tentang bagaimana merancang dan memfasilitasi aktivitas sensory play yang aman dan efektif. Panduan yang jelas dalam kurikulum akan membantu guru merasa lebih percaya diri dalam mengimplementasikan metode ini.
Orang tua juga memiliki peran penting dalam mendukung aktivitas ini di rumah. Aktivitas sederhana seperti berkebun bersama, berjalan di taman, atau bermain hujan dapat memberikan pengalaman belajar yang kaya dan bermakna.
Pendidikan berbasis sensory play bukanlah metode yang mengesampingkan sistem pendidikan yang sudah ada, tetapi melengkapinya dengan pendekatan yang lebih manusiawi dan alami. Di taman sekolah, halaman rumah, atau tepi sungai, anak-anak dapat menemukan pelajaran yang membentuk pemahaman akademis, keterampilan hidup, dan kecerdasan emosional mereka.
ADVERTISEMENT
Mari kita buka pintu kelas, biarkan anak-anak merasakan tanah di bawah kaki mereka, mendengarkan suara angin, dan mengamati keajaiban dunia di sekitar mereka. Di sanalah, di tengah alam terbuka, pendidikan sejati dimulai.
Bernafas, Merasakan Desiran Angin, Belajar di Alam (Poto Koleksi Pribadi Maila Dinia Husni Rahiem)
*Maila Dinia Husni Rahiem adalah Guru Besar di bidang Pendidikan Anak Usia Dini dan Kesejahteraan Sosial di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sebagai akademisi dan pekerja kemanusiaan, Maila aktif meneliti ketahanan anak dan remaja serta kesiapsiagaan bencana yang menggabungkan nilai-nilai budaya dan agama. Pengalamannya luas, mulai dari mendampingi kesehatan mental remaja hingga program kesejahteraan sosial di masyarakat. Dengan pendekatan yang humanis dan berbasis komunitas, ia berkontribusi dalam membangun masyarakat yang lebih kuat dan inklusif, serta mewujudkan pendidikan yang tidak hanya menginspirasi tetapi juga relevan dengan kebutuhan zaman.
ADVERTISEMENT