Konten dari Pengguna

Foto Wisuda Jokowi dan Mentalitas Jalan Pintas

Makhsun Bustomi
Penulis Esai, sehari-sehari bekerja sebagai Policy Analyst di Pemerintah Kota Tegal.
14 Oktober 2022 22:10 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Makhsun Bustomi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di dunia tipu-tipu, meminjam istilah dalam lagu milik Yura Yunita, tidak mudah memilah mana baik, jahat dan abu-abu. Teramat banyak hal, opini dan kisah yang bikin ragu-ragu.
ADVERTISEMENT
Foto seorang presiden sudah pasti ada di mana-mana. Terpajang di kantor, balai desa, kelas, madrasah, polres dan banyak jenis serta tempat se-Indonesia. Menariknya, ada pula yang menanyakan kalau benar lulus universitas ternama, mana foto wisudanya?
Foto : Newly Graduated People Wearing Black Academy Gowns Throwing Hats Up in the Air (pexels-pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Foto : Newly Graduated People Wearing Black Academy Gowns Throwing Hats Up in the Air (pexels-pixabay)
Di dunia maya, muncul polemik soal ijazah dan foto wisuda. Ada yang meragukan keaslian status kuliah Jokowi, ada yang meyakini dan membela mati-matian meskipun dia tidak pernah meneliti apalagi melihat sendiri. Ada golongan ketiga, yaitu kaum abu-abu. Kaum yang tak peduli, yang "emang gue pikirin", "ah bodo amat", yang merasa itu "nggak penting banget" atau bahkan yang apatis, termasuk juga yang netral.
Menyangsikan kinerja pemimpin itu indikator daya kritis demi perbaikan. Mempertanyakan bukti efektivitas kepemimpinan adalah sah-saja. Meragukan keaslian janji-janjinya itu boleh-boleh saja. Tak percaya dengan orisinalitas blusukannya masih dalam kadar lumrah saja. Meragukan keperpihakannya kepada pentingnya pendidikan juga tidak mengapa.
ADVERTISEMENT
Tetapi, menanyakan foto wisuda seorang yang telah telah menjadi presiden dua periode bukan sekadar mengajak mundur membuka arsip-arsip lama. Atau menggugat "tim ina-inu" yang bertugas memverifikasi dokumen-dokumen administratif tatkala Jokowi mendaftar sebagai walikota, gubernur dan kemudian presiden RI.
Pertanyaannya, ini soal serius atau sekadar lelucon saja?
Mau dianggap tidak serius, rektor UGM sampai harus repot-repot bikin konferensi pers. Kampus UGM merasa ikut bertanggungjawab dan mengklarifikasi bahwa Jokowi adalah alumnusnya. Hendak dianggap lucu-lucuan saja, ternyata nasib si penggugat seperti cicak di dinding: "hap, lalu ditangkap".
Mempertanyakan orisinalitas pendidikan Jokowi setelah belasan tahun menjabat (walikota, gubernur, presiden) bisa dibilang sangat terlambat. Sebangun dengan menilai pemilihan kepala daerah dan presiden juga cacat. Tidak menganggap mayoritas para pemilihnya.
ADVERTISEMENT
Hasrat Heroik
Baiklah, saya hanya ingin mengajak lebih kritis kemungkinan hadirnya kisah-kisah konspirasi. Jangan lupa, menurut Tom Nichols dalam Death of Expertise atau Matinya Kepakaran (2020) salah satu penjelasan mengapa banyak orang menyukai kisah konspirasi adalah karena kisah-kisah tersebut menjadi jalan pintas untuk memuaskan hasrat heroik manusia.
Dalam dunia politik Amerika, pernah ada isu tentang Obama beragama Islam. Di Inggris ada kisah konspirasi tentang Ratu Elizabeth II keturunan Nabi.
Kita menyukai kisah-kisah tentang kekuatan kecil yang akan mengalahkan kekuatan besar. Kita takjub misalnya dengan kisah tentang lulusan sekolah menengah yang mampu membuat pesawat terbang. Lalu dengan serampangan beropini negara telah membuang bakat-bakat anak bangsa. Kisah tentang amatiran yang dapat mengalahkan profesional memang selalu menarik perhatian.
ADVERTISEMENT
Banyak di antara kita mudah salut kepada siapa yang melawan penguasa. Kebanyakan orang akan terharu dengan kisah kepahlawanan yang dramatis. Tak heran film-film superhero seperti Batman, Superman, Spiderman dan sejenisnya laris. Resepnya adalah karena sukses memuaskan hasrat heroik.
Kisah dan teori konspirasi menjadi shortcut atau jalan pintas daripada susah-susah berpikir rumit. Ada semacam godaan yang kuat pada diri kita untuk menganggap segala penderitaan yang kita alami adalah akibat kesalahan penguasa. Bahaya lain adalah banyak yang menjadi tidak sabar untuk penjelasan yang panjang. Godaan lain adalah mudahnya manusia terjebak dalam narsisme. Keinginan untuk mendapatkan perhatian dan popularitas dengan cepat saji.
Hadirnya bermacam kisah konspirasi adalah kode keras. Sudah semestinya kita menghindari mentalitas jalan pintas. Jalan yang membuat kita malas mencari dan menyusun argumentasi yang baik dan berkelas.
ADVERTISEMENT
Asal Beda
Penting pula bagi kita untuk hati-hati dengan mentalitas jalan pintas dalam bentuk lain yaitu dengan sikap asal beda. Dalam bahasa Jawa dikenal istilah waton sulaya.
Dunia ini memang tidak hanya baik dan jahat. Kebanyakan yang kita lihat dan alami justru abu-abu. Kebiasaan berdebat atau berpolemik yang saling berlawananan melahirkan pula mentalitas asal beda. Bahkan cenderung berkebalikan, kalau anda utara maka otomatis saya selatan. Apa yang menurut dia benar, berarti salah. Dunia dalam kacamata ini adalah tak lain sebagai urusan kalah atau menang.
Kita perlu waspada dengan sikap asal beda. Sebab, bersikap persis kebalikan dengan sesuatu adalah sejatinya adalah sebuah peniruan. Seperti saat kita bercermin. Ini bukanlah sebuah sikap, mental dan kebiasaan yang orisinal, melainkan imitasi yang berkebalikan. Demikian pula kebiasaan mengekor dan buru-buru menyetujui segala sesuatu serta asal bapak senyum adalah mentalitas copypaste yang sama tidak bijaksananya. Memang sulit untuk menjadi orisinal, bukan?
ADVERTISEMENT
Kembali pada kasus pendidikan Jokowi, pihak UGM sudah memberikan klarifikasi. Di dunia medsos, hal ini direspon lagi dengan kata-kata yang nyinyir, itu adalah persekongkolan dan bagian konspirasi.
Tom Nichols berpesan, kisah konspirasi memang tak perlu dilawan mati-matian. Terlalu sayang jika banyak kisah-kisah konyol dan konspirasi menghabiskan energi.
Dunia ini adalah dunia tipu-tipu. Dunia hari ini memang begitu. Begitulah adanya, mungkin sampai kita semua nanti menjadi alumni dunia. Tugas kita untuk hati-hati, berjaga-jaga dan waspada, toh hanya masalah waktu saja akhirnya kita diwisuda.