Konten dari Pengguna

Judi Online dan Red Flag ala Polisi Hoegeng

Makhsun Bustomi
Penulis Esai, sehari-sehari bekerja sebagai Policy Analyst di Pemerintah Kota Tegal.
22 Juni 2024 21:27 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Makhsun Bustomi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ada tiga jenis polisi yang saya jumpai sehari-hari. Pertama, adalah mereka yang sibuk mengatur lalu lintas pagi-pagi. Tahun-tahun belakangan ini bisa diamati, sesekali mereka selfi, dipotret rekannya atau dibantu orang disekitarnya. Hampir pasti, dapat ditebak itu sebagai bukti laporan kepada atasan.
ADVERTISEMENT
Polisi jenis kedua adalah yang sering kita lihat di TV, Youtube, Tiktok, X dan media sejenisnya. Saya juga suka dengan konten-konten Pak Bhabin. Mereka yang diwawancarai, memberi pernyataan pers conference dalam kasus tertentu. Termasuk polisi-polisi yang dikutip pernyataannya oleh wartawan dan tersebar di kanal-kanal berita luring dan daring.
Ketiga, polisi yang ada dalam film, sinetron maupun drakor. Entah dikemas komedi, aksi atau kisah-kisah yang dramatis. Baik tayang di TV, bioskop maupun Netflix. Yang sering jadi pemanis obrolan bapak-bapak di warung kopi adalah munculnya tokoh-tokoh "inspektur vijay" dalam film-film Bollywood yang gagal menangkap penjahat atau gampang disuap.
Entah harus dikelompokkan dalam jenis polisi yang mana ketika ada seorang polisi mati dibakar istrinya yang juga polisi, gegara suaminya itu sering bermain judi online. Tragedi itu harusnya hanya ada dalam jenis ketiga, polisi-polisi yang tersaji sebagai tayangan fiktif belaka. Jika diminta memilih, harus memihak ke mana? Apakah kepada ia yang hilang nyawanya atau justru iba kepada istri dan tentu anak-anaknya yang masih balita?
ADVERTISEMENT
Maka musuhnya tampaknya sudah bisa disepakati bersama: judi online. Kita sudah memilih "apa" yang harus diperangi. Pembentukan Satgas Pemberantasan Judi Online adalah pilihan yang perlu didukung. Angka-angka yang dilaporkan tentang berapa transaksi dan siapa saja yang terlibat mulai tersajikan.
Semua Rentan
Soal "siapa" yang harus ditangani dan ditangkap menjadi kompleks. Statistik yang tersaji fantastis. Lihat saja warta dalam Kumparan ini. https://kumparan.com/kumparannews/22yx4Ff0oLt?. Semoga di antara keluarga kita tidak ada di dalamnya. Harus diidentifikasi mereka yang menjadi pelaku industri judi online, para bandar sampai para celebgram atau influencer yang ikut mempromosikan.
Apa boleh buat, judol telah menjadi masalah sosial kontemporer. Memang metode bertaruh telah dipraktikkan manusia mendahului kemampuannya membaca angka dan tulisan. Segala judi konvensional sudah bergeser ke dunia maya. Dengan merasuknya judi dalam dunia digital, maka profil para pemain judi sudah tak teridentifikasi homogen lagi. Lintas profesi, dari yang berdasi sampai kategori kuli. Tak pelak anak-anak termasuk menjadi pelakunya. Sebab justru anak-anak lebih rentan terhadap games atau permainan. Tetapi, bukankah mereka adalah korban?
ADVERTISEMENT
Ada ”psikologi judi” yang membuat manusia rentan terlibat dalam pusaran permainannya. Mendapatkan hadiah, kejutan yang tiba-tiba, uang yang nominalnya tak biasa, kekayaan yang instan memang membuat setiap orang rentan. Keberuntungan adalah pencapaian yang tak habis-habis dan tak ada akhir. Sudut pandang psikologi melihat kerentanan manusia untuk bermain judi adalah karena manusia merasa senang ketika penasaran dan menunggu hadiah atau ketika nyaris menjadi pemenang. Sifat acaknya inilah yang justru menghasilkan dopamin, zat yang membuat manusia gembira dan ketagihan untuk melakukannya lagi. Lagi, lagi dan lagi.
Hadiah adalah Toxic
Izinkan saya menampilkan satu jenis polisi lagi. Soal keberuntungan, polisi ini pernah menyampaikan tentang prinsip hidup. Hebatnya, ia merasa menjadi polisi yang beruntung. Namun dengan rendah hati, ia tak suka dengan keberuntungan. "Jangan menjadi orang yang selalu kebeneran atau kebetulan, tetapi jadilah orang yang benar. Kebeneran itu bukanlah kebenaran."
ADVERTISEMENT
Prinsip hidup itu berhubungan dengan kariernya. Ia seorang polisi yang jujur, bersih dan bersahaja. Hidup dengan karakter semacam itu menuntut keberanian. Salah satu dari versi keberaniannya menurut saya adalah meskipun bekerja keras ia merasa karirnya seakan sebuah keberuntungan dan kebetulan semata. Dalam Bahasa Jawa kebetulan disebut kebeneran.
Selepas menjadi Kepala Direktur Reskrim di Sumatra Utara ia non job. Kebetulan ia bertemu dengan Jenderal A.H. Nasution yang saat itu menjabat Panglima Angkatan Bersenjata. Pasca pertemuan itu ia diangkat menjadi Kepala Jawatan Imigrasi. Lalu karirnya berlanjut menjadi Menteri Iuran Negara dan beberapa jabatan srategis lainnya. Hingga sampailah di puncak kariernya sebagai Kapolri.
Foto : Buku Hoegeng, Polisi dan Menteri Teladan (dok Makhsun Bustomi)
Ya, polisi yang dimaksud adalah Hoegeng. Kepada sekretarisnya yang bernama Soedarto, ia mengatakan pertemuan yang menentukan jalan hidupnya itu dianggapnya sebagai kebetulan. Istilah gaul sekarang mungkin disebut menang banyak. Dengan rendah hati, ia memberikan nasihat, "Jadilah orang yang memiliki kebenaran, bukan kebetulan. Mengandalkan kebetulan selain bersifat sesaat juga dapat berakibat negatif." Demikian tercatat dalam buku terbitan Kompas berjudul Hoegeng, Polisi dan Menteri Teladan yang ditulis Suhartono (2013). Dalam ingatan saya, pada bagian itu dijelaskan pandangannya tentang pentingnya kerja keras.
ADVERTISEMENT
Ia pantang menerima hadiah. Contoh kecil, saat ia bersama istri dan anaknya mampir di sebuah restoran dalam perjalanan ke Bandung. Di depan kasir, selepas makan ia terkejut ternyata sudah ada yang membayar tanpa tanpa tahu sosok dan identitasnya. Sejak itu, ia selalu membawa bekal makanan dari istrinya karena takut hal seperti itu terulang.
Hadiah seperti itu bagi Hoegeng adalah kesalahan, bukan sekadar kebetulan. Menerima hadiah itu red flag yang akan menjadi toxic bagi diri dan keluarganya. Hadiah yang bagi hampir semua orang dianggap hal yang lazim.
Ingat prinsip judol yang sangat lekat dengan keberuntungan. Bahkan pendekatan psikologi menjelaskan alasan mengapa banyak pemain judi kecanduan. Itu bukan semata perkara mendapatkan uang. Melainkan karena manusia menjadi happy ketika merasa beruntung. Senang ketika tiba-tiba mendapatkan hadiah. Berharap ada surprise.
ADVERTISEMENT
Ada dopamin, zat yang dihasilkan dan dikirmkan ke otak ketika sesorang gembira karena menerima kesenangan yang tak terduga. Maka dapat dipahami, keteraturan dan kepastian itu membosankan. Dalam sudut pandang ini, uang bukan semata-mata yang menghasilkan kesenangan dan sensasi ketagihan. Jelas, para perancang judol ini tahu betul cara mempermainkan psikologi manusia. Membolak-balik jiwa semudah memutar mesin roulette.
Mari kita sambut dan dukung Satgas Pemberantasan Judi Online. Wahai Satgas, carilah kebenaran bukan kebetulan. Semoga bukan karena kebetulan menjadi masalah yang viral.
Prinsip mencari kebenaran bukan kebetulan relevan untuk kita. Tidak untuk aparatur negara semata. Di zaman serba ngebut dan instan, untuk menerapkannya jelas perlu sikap konsisten dan keberanian. Ini tak semudah mengatur lalu lintas di pagi hari.
ADVERTISEMENT