Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
The Alpha Girl Versi Mbah Uti, Tolak Mentalitas Tuan Putri
23 Juni 2024 9:47 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Makhsun Bustomi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
”Kok sudah SMA belum bisa naik motor?”
Begitu pertanyaan yang tertuju pada anak perempuan saya. Masalahnya, tak satu dua kali dilontarkan oleh Mbah Putri, neneknya yang biasa kami panggil Uti. Seperti seorang HRD yang meneropong curriculum vitae si pelamar. Bagi Uti, salah satu kualifikasi perempuan mandiri adalah lisensi mengemudi. Sepintas, seperti seleksi driver ojol saja.
ADVERTISEMENT
Saya seperti masuk lorong waktu. Berkelana menuju seratus tiga puluh tahun silam. Membandingkan dengan situasi yang kontras berlawanan. Pada kisah Kartini, kita mengingat bagaimana tradisi membatasi langkahnya terkurung tembok pingitan. Alih-alih punya punya mobilitas, akses perempuan ningrat ini menjadi terisolasi.
Tanda Cinta Uti
Sebagai seorang laki-laki, suami, sekaligus ayah, saya cukup terkejut dengan mindset Uti yang sudah senja, delapan puluh tahun. Di keluarga kami, Uti mendorong anak dan cucu perempuannya agar punya keterampilan bermobilitas keluar rumah. Dorongannya juga tidak kaleng-kaleng. Buktinya, diam-diam ia menyisihkan uang pensiunnya sedikit demi sedikit untuk mempersembahkan kado. Sebuah motor tatkala cucunya mulai menapak masa SMA.
Tanda tanya dari Uti sejatinya tanda cinta untuk cucunya. Baginya mobilitas adalah kunci. Simpel saja, ia wajibkan anak dan cucu perempuannya mampu mengendarai motor. Seolah SIM bermakna Surat Izin Mandiri. Begini argumennya,
ADVERTISEMENT
Selanjutnya ia memberi padangan lain.
Frasa "bagaimana kalau" yang sering disampaikan adalah upayanya mengajarkan backup plan, rencana cadangan. Sudah pasti, Uti sangat mengerti. Mandiri tidak bisa disederhanakan dengan mampu mengendarai motor sendiri.
ADVERTISEMENT
Sein Kiri, Belok Kanan
Perlu diingat adanya seterotip terhadap perempuan soal kemampuan mengendarai kendaraan, motor maupun mobil. Pandangan ini terwakili dalam tulisan di bak truk, ”Ya Allah, jauhkan aku yang pakai motor, yang lampu seinnya ke kiri, tapi beloknya ke kanan”. Emak-emak diejek sebagai makhluk sein kiri, belok kanan.
Daripada buru-buru menyimpulkan, saya coba mengingat cerpen berjudul Drive My Car. Tokoh utama laki-laki bernama Kafuku menganggap ada dua tipe perempuan dalam mengendalikan kendaraan. Pertama, yang agak terlalu berhati-hati. Kedua, yang terlalu berani atau ceroboh banget. Pandangan yang meremehkan kemampuan perempuan dalam mengoperasikan kendaraan.
Diceritakan, Kafuku membutuhkan seorang sopir. Bengkel kepercayaannya merekomendasikan satu orang. Bernama Misaki, yang ternyata seorang perempuan. Dalam karya Haruki Murakami ini, kecemasan Kafuku itu tak terbukti. Misaki andal dalam mengendarai mobil manual: mengerem dengan halus dan melakukan perpindahan gigi tanpa terasa. Bahkan peta Tokyo sudah tercetak dalam kepalanya.
ADVERTISEMENT
Baiklah, Misaki memang fiksi. Mari menilik profil perempuan Jawa tempo dulu yang mahir mengendalikan ”kendaraan” pada zamannya. Fakta sejarah mengatakan dengan cukup lantang. Tercatat dalam Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX, karya Peter Carey dan Vincent Houben (2019), prajurit estri terbukti merupakan perempuan-perempuan dengan keterampilan berkendara yaitu menunggang kuda. Pejabat senior VOC, Jan Greeve heran dengan hal itu saat pertama berkunjung ke Mangkunegaran.
Begitu pula pengalaman Daendels kala berkunjung ke Yogyakarta kali pertama tahun 1809. Marsekal Tangan Besi ini terpana dengan keterampilan berkuda para korps perempuan yang mumpuni sembari menggunakan bedilnya.
Redflag pada Princess Syndrom
Mindset Uti dan ”para Uti” yang lain, hakikatnya adalah ajakan untuk membuka jalan menuju kemandirian. Ia tidak kalah gesit dari Henry Manampiring. Menasihatkan kemandirian, meskipun tidak dengan istilah keren seperti "Princess Mentality" yang merujuk kisah-kisah puteri dari Negeri Dongeng. Mental merasa istimewa, pasif dan kisah menanti dijemput Pangeran Tampan, untuk kemudian menikah serta hidup bahagia selamanya hingga akhir hayat.
ADVERTISEMENT
Begitulah cara Uti menanamkan kesadaran akan kecakapan dan kecepatan untuk mengikuti roda zaman. Memang penting untuk tidak kuper dan tidak mager. Meskipun kita menggenggam dunia dalam gawai kita. Jutaan informasi tersedia, memesan segala jenis jasa, mengorder segala macam produk, makanan, buku, gincu, buku dan memesan jasa ojek online. Umat sedunia bisa connected dengan secara real time. Bandingkan dengan Kartini yang musti menunggu berbulan-bulan balasan surat dari Estella Zeehandelaar, sahabat penanya dari Belanda.
Tetap saja kita harus terhubung dengan dunia nyata. Bertemu dengan manusia yang bisa kita sentuh dan bersinggungan dengan kulitnya. Banyak perempuan selama ini menjadi manusia domestik, otomatis kemampuannya kurang terlatih dalam ranah publik.
Perempuan kerap dianggap sebagai manusia komestik daripada manusia otomotif. Di jalanan tentu saja akan ada emak-emak salah kirim kode sein kanan tapi belok ke kiri. Sama seperti halnya banyak laki-laki yang ngebut dengan sembarangan. Tampaknya kita tak perlu memeriksa statistik lebih banyak mana pelanggaran yang dilakukan, laki-laki ataukah perempuan.
ADVERTISEMENT
Bayangkan saja berapa banyak laki-laki yang tak sanggup, tak sempat mengantar anak dan istri, memenuhi peran domestik. Belum bicara ketersediaan kendaraan transportasi umum. Lagi pula nasihat untuk mandiri dalam bermobilitas bukan semata dimaknai dalam soal praktik menyetir motor.
Selain aktivitas sehari-hari yang menuntut cepat, perlu pula mengedepankan prinsip ekuilibrium dalam mengarungi kehidupan. Keseimbangan untuk beradaptasi dengan roda zaman yang bergerak makin cepat.
Untuk menuju The Alpha Girl versi Uti, mobilitas fisik dan kemudahan berhubungan dengan dunia publik akan membuka jalan dalam menempa mental kemandirian, kepercayaan diri, kemandirian dan ketangguhan. Selanjutnya, dalam menempuh perjalanan hidup, perempuan remaja bisa membaca rambu-rambu The Alpha’s Guide ala Henry Manampiring. Bagaimana perempuan berperilaku mandiri dalam belajar, berteman, berelasi dengan lawan jenis, bekerja, berpenampilan sampai bagaimana memberi dampak baik bagi lingkungan.
ADVERTISEMENT
Jadi, pertanyaan Uti bukan bermaksud mendukung program berjuta motor berjuta ukhti. Tidak pula terjebak pada masalah sein kanan belok ke kiri. Toh, keterampilan itu bisa dilatih dan dipelajari. Jauh lebih dari itu, pesan utamanya agar anak dan cucu perempuannya menolak mentalitas yang tidak mandiri. Menjauhi perilaku yang menunjukkan sindrom tuan puteri (princess syndrome).
Para uti dan ukhti serta semua perempuan harus mengibarkan redflag. Pada sikap dan perilaku cengeng yang hanya memberikan kebahagiaan di negeri dongeng.