Koruptor Dalam Bayang-bayang Politik Hukum Pidana

Mala Silviani
Ario, Basyirah and Partners Law Firm
Konten dari Pengguna
22 April 2024 16:09 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mala Silviani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di tulis oleh Mala Silviani
Design dibuat oleh penulis memalui aplikasi canva.
Diskursus mengenai koruptor dan bagaimana penjatuhan hukuman terhadap perbuatannya selalu mengalami perubahan. Bila disimak dari sudut perkembangan masyarakat tentu perubahan itu merupakan hal yang wajar; karena manusia selalu berupaya memperbarui suatu hal demi meningkatkan kesejahteraan di masa yang akan datang, begitu juga dengan perumusan kebijakan penjatuhan hukuman pidana bagi para penjahat negara.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana yang kita pahami bersama bahwa untuk menentukan suatu tindak pidana digunakan kebijakan hukum pidana penal police atau politik (kebijakan) hukum pidana yang pada pokoknya menguraikan bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik juga memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang (kebijakan legislatif), kebijakan aplikasi (kebijkan yudikatif), dan pelaksanaan hukuman pidana (kebijakan eksekutif).
Adapun hubungan antara politik dan hukum menurut Mahfud MD bahwa hukum merupakan produk politik. Hematnya, hukum dipandang sebagai variabel terpengaruh (dependent variable) sementara politik sebagai variabel berpengaruh (independent variable). Sementara itu, menurut Solly Lubis politik hukum adalah kebijakan politik yang menentukan peraturan hukum apa yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Atas apa yang sudah diuraiakan diatas, lantas sudah sejauh mana politik hukum pidana yang berlaku di Indonesia mampu menjawab upaya untuk pengikisan korupsi yang kian menjamur di Indonesia?
ADVERTISEMENT
Saat ini Indonesia memiliki UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang kemudian diubah menjadi UU No 20/2021, yang mana di dalamnya dapat kita jumpai bahwa korupsi secara tegas dinyatakan sebagai kejahatan yang terjadi secara sistemik dan meluas yang pada akhirnya tidak saja hanya berdampak pada kerugian keuangan negara, namun juga melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat.
Beberapa waktu lalu muncul wacana pendekatan penerapan keadilan restoratif dalam tindak pidana korupsi, meski secara yuridis normatif pembuat UU memiliki wewenang untuk menyusun berbagai ketentuan penerapan keadilan restoratif dalam berbagai kasus tindak pidana, akan tetapi secara teoritis wacana keadilan restoratif tidak dapat diterapkan dalam kejahatan luar biasa atau extraordinary crime, termasuk dalam perkara tindak pidana korupsi yang menjadi bagiannya.
ADVERTISEMENT
Sementara itu aparat penegak hukum dalam hal ini Kejaksaan terutama Penuntut umum yang memiliki wewenang dalam menuntut (dominus litis) pun masih terbelenggu dengan opsi penjatuhan pidana mati sebagai solusi dari pemerantasan korupsi. Pidana mati dianggap sebagai sarana yang dapat mencegah seseorang untuk melakukan kejahatan karena dianggap sebagai hal yang menakutkan atau menjerakan.
Padahal mengenai pidana mati, Roeslan Saleh mengatakan “Dengan tindakan memidana mati itu negara hanya memperlihatkan ketidakmampuannya, kelemahannya untuk memberantas kejahatan”.
Lebih lanjut sebetulnya masih ada RUU Perampasan Aset yang diinisiasi sejak 2008 yang tak kunjung juga disahkan. RUU yang telah diinisiasi penyusunannya oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sejak 2008 hingga tuntas pada 2012 dan beberapa kali masuk dalam Program Legislasi Nasional (Proglenas). Namun, setiap kali pembahasan Proglenas tahunan, RUU ini acap kali kalah saing dengan RUU lainnya.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian dalam pandangan penulis perampasan aset menjadi opsi progrsif dan suprematif agar harta hasil korupsi oleh koruptor bisa dikembalikan dan menjadi penerimaan negara. Namun, hampir satu dasawarsa politik hukum kurang memihak sehingga RUU Perampasan Aset hanya tertumpuk dalam arsip sistem politik yang korup.
Dalam hal ini penulis ingin menegaskan bahwa diskursus RUU Perampasan Aset sepatutnya dikiblatkan pada suatu politik hukum yang berorientasi dengan kebutuhan rakyat dan kekuasaan hukum, bukan kekuasaan politik. Karena bagaimanapun sebagai negara demokrasi yang menganut sistem keterwaiklan, politik hukum memiliki peran fundamental dalam bernegara.
Mala Silviani, Intern at Ario, Basyirah & Partners Law Firm