Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Quo Vadis Kebebasan Berekspresi Bangsa Indonesia Di Era Demokrasi
20 Februari 2024 7:35 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Mala Silviani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di tulis oleh Mala Silviani
Jika menilik dan merujuk pada Economist Intelligence Unit (EIU) dapat kita pahami untuk direfleksikan kembali bahwa saat ini demokrasi sedang berada pada fase terendah sejak tahun 2006 (The State of Global Democracy, 2022).
ADVERTISEMENT
Keterpurukan demokrasi tersebut turut mengiringi perjalanan demokrasi di negara modern bernama Indonesia. Kita merasakan dan mengalami betul bahwa nasib demokrasi seringkali menjadi bahan perbincangan dan perdebatan yang pada akhirnya bermuara pada sumber keprihatinan khalayak ramai. Singkatnya, diskursus demokrasi khususnya di Indonesia telah melewati sejarah yang begitu panjang.
Berkaca pada keadaan demokrasi di Indonesia sekarang ini, sudah sepatutnya menjadi titik balik kesadaran diri bahwa negara yang merdeka atas nama bangsa Indonesia ini acapkali dilumpuhkan secara paksa oleh sekelompok kaum tirani yang menikam bangsa sendiri demi memenuhi tujuan kelompok dan atau pribadi, akibatnya jalan mundur demokrasi pun terjadi.
Lantas, jalan mundur demokrasi aspek apa yang ingin disampaikan oleh penulis dalam tulisan ini? Perwujudan demokrasi tentu banyak wujudnya, dalam tulisan ini perkenankan penulis untuk mengulik terkait kebebasan berekspresi yang merupakan perwujudan dari demokrasi itu sendiri. Mengingat maraknya para stakeholder membungkam suara-suara kritik kritis yang merupakan salah satu perwujudan kebebasan berekspresi di negara demokrasi.
ADVERTISEMENT
Kebebasan berekspresi dalam konteks global diatur dalam Konvenan internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, pada bagian kedua pasal 19 terkait hak untuk berpendapat dirumuskan bahwa setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa campur tangan dan setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau media lain sesuai dengan pilihannya.
Di lain sisi kebebasan berpendapat juga dirumuskan oleh Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia yang diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948 melalui resolusi 217 A (III) pada pasal 19 yang menuliskan “setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas”.
ADVERTISEMENT
Jika kita buka kembali Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tepatnya pada pasal 28 E ayat (3) ditegaskan bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat” Konsekuensi akan pasal tersebut berimplikasi pada kebebasan berekspresi yang merupakan hak yang paling mendasar dalam kehidupan bernegara. Terlebih jika kita membaca ulang kembali naskah asli Undang-undang Dasar 1945 dalam penjelasannya dapat kita temui penegasan yang menuliskan frasa “Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (Rechsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (Machsstaat)”. Dalam perkembangannya, UUD 1945 setelah amandemen ke-3 pada tahun 2001, hal ini ditulis kembali dalam pasal 1 ayat (3) yang menyatakan “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Lebih lanjut, penegasan kebebasan berekspresi dipertegas dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum sebagaimana pasal 1 angka 1 yang berbunyi: “Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
ADVERTISEMENT
Namun, di Indonesia untuk menikmati hak kebebasan berekspresi memiliki ranjau tersendiri yang dibalut dengan Undang-undang bernama Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang pada 4 Januari 2024 Presiden Joko Widodo telah menekan revisi kedua Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik menjadi UU No. 1 Tahun 2024, setelah UU ITE sebelumnya mendapat banyak kritik. Akan tetapi, pertanyaanya ialah apakah UU ITE terbaru ini merupakan jawaban atas permasalahan UU terdahulu atau malah menambah masalah? Penulis berpendapat panggang masih jauh dari api.
Perlu diketahui bahwa pasal yang bermasalah dan seringkali digunakan untuk mengkriminalisasi masyarakat sipil dalam konteks mewujudkan hak kebebasan berekspresi antara lain pasal 27 ayat (3) juncto pasal 45 ayat (3) yang tak lain terkait tentang pencemaran nama baik.
ADVERTISEMENT
Sejak diundangkan dan disahkannya UU ITE pada tahun 2008 dan revisi pertama pada tahun 2016, kita disuguhkan oleh pagelaran berbagai macam masalah UU ITE yang telah mengkriminalisasi banyak pihak, mulai dari pembela hak asasi manusia, profesi jurnalis, kaum perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual, hingga masyarakat sipil yang menyuarakan untuk menyampaikan kritiknya.
Adapun pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE No. 1 Tahun 2024 termuat dalam Pasal 27 a yang berbunyi “Setiap Orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik”. Ancaman dalam tindak pidana ini yakni pidana penjara paling lama 2 tahun dan/atau denda paling banyak Rp.400.000.000 (empat ratus juta rupiah).
ADVERTISEMENT
Lantas, di mana permasalahan atas pasal a quo dalam konteks kebebasan berekspresi? Jika dibandingkan dengan ketentuan pasal pencemaran nama baik pada Undang-undang sebelumnya, penulis melihat bahwa revisi kedua UU ITE khususnya pada pasal pencemaran nama baik masih terbuka ruang untuk disalahgunakan pihak-pihak berkuasa, terlebih kita tahu bahwa relasi kuasa selalu ada dalam struktur sosial masyarakat Indonesia, sehingga ekspresi kritis masih sangat mungkin dibalas dengan delik pidana. Kasus Fatia-Haris dan Baiq Nuril menjadi contoh nyata aktivis dan korban kekerasan seksual yang dijerat karena adanya relasi kuasa ini.
Dalam hal relasi kuasa yang sering menjadikan UU ITE sebagai alat pertahanan diri para “penguasa”, penulis teringat oleh pandangan dari pemikir Perancis yang termasyhur terutama karena pengamatannya yang jeli terhadap masyarakat demokrasi di Amerika pada abad ke-19 yang bernama Alexis de Tocqueville yang pada hampir 200 tahun lalu menulis dalam bukunya, Democracy in America (1840) “Ketika tenggelam dalam dirinya sendiri, setiap orang bertindak dengan cara sedemikian rupa sehingga dia menjadi asing dan acuh dengan tujuan akhir dari semua manusia lain. Baginya, anak-anak dan konco-konco-nya menjadi seluruh bangsa manusia itu sendiri”. Lebih lanjut Tocqueville menulis “Dalam interaksinya sesama warga, ia mungkin berada bersama mereka, tetapi ia tidak memandang mereka; mungkin dia bersentuhan dengan mereka, tetapi ia tidak merasakan mereka; ia hanya hidup dalam dirinya saja. Dalam arti ini, mungkin masih tersisa rasa kekeluargaan (sense of family) di dalam pikirannya, tetapi tiada lagi rasa kemasyarakatan (sense of society)”.
ADVERTISEMENT
Penulis merasa bahwa kutipan Tocqueville ini sangat relevan dengan tingkah laku para penguasa yang menjadikan UU ITE sebagai senjata untuk membungkan suara-suara. Dengan demikian, sudah sepatutnya penguasa menyadari bahwa hukum tidak dirumuskan dan dimaksudkan untuk menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan keadilan bagi semua orang demi tercapainya cita-cita bangsa sesuai UUD 1945 aliena ke-4.
Penulis merupakan intern di Ario, Basyirah & Partners Law Firm