Konten dari Pengguna

Stunting di Indonesia: Bukan Hanya Soal Gizi

Manda Septina
Bachelor of Arts (Sociology), Universitas Airlangga Transformation Officer at Save The Children Indonesia
22 Mei 2024 13:31 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Manda Septina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Bayi dan Timbangan Berat Badan. Sumber : https://www.freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Bayi dan Timbangan Berat Badan. Sumber : https://www.freepik.com
ADVERTISEMENT
Berbicara soal stunting di Indonesia bagaikan gunung es di tengah samudera. Apa yang nampak di permukaan, tidak sebanding dengan apa yang ada di dasar lautan. Hal ini menggambarkan kompleksitas stunting di Indonesia, bukan hanya dilihat dari faktor kesehatan, melainkan lebih kompleks dari itu.
ADVERTISEMENT
Secara definisi dari WHO (2020), stunting dipahami sebagai kondisi badan pendek atau sangat pendek berdasarkan panjang/tinggi badan menurut usia yang kurang dari -2 standar deviasi (SD) pada kurva pertumbuhan WHO. Kondisi ini disebabkan efek irreversible akibat dari asupan nutrisi yang tidak memadai dan/atau infeksi yang berulang & kronis selama 1000 hari pertama kehidupan (HPK).
Badan Riset dan Inovasi Nasional (2023) mengungkapkan bahwa prevalensi stunting di Indonesia cenderung fluktuatif. Kasus stunting di Indonesia tahun 2022 mencapai 21,6% dan kasus wasting mencapai 7,7%. Dilihat dari kacamata kesehatan, Indi Dharmayanti, Kepala Organisasi Riset Kesehatan BRIN, menjelaskan salah satu faktor penyebabnya adalah defisiensi zat gizi mikro (vitamin A, zat besi, folat dan seng) sehingga memengaruhi perkembangan kognitif dan fisik pada anak.
ADVERTISEMENT
Stunting: Cerminan Kondisi Sosial & Ekonomi
Namun, bukan hanya persoalan gizi, kasus stunting juga menjadi cerminan kondisi sosial dan ekonomi suatu negara secara keseluruhan. Kondisi sosial ekonomi yang meliputi; tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, tingkat pengetahuan, kondisi rumah tangga, dan aktivitas ekonomi. Inilah yang menjadi faktor penyebab tidak langsung terhadap masalah stunting, namun jarang mendapatkan sorotan tajam dari pemerintah dalam strategi penanganan stunting di Indonesia. Strategi penanganan stunting oleh pemerintah cenderung sebatas kebijakan birokrasi dan advokasi yang kurang membumi bagi masyarakat dengan ekonomi kelas bawah.
Tingkat pendidikan yang rendah, beriringan dengan tingkat penghasilan yang rendah sangat memengaruhi pola pikir dan perilaku masyarakat dalam melihat pentingnya menjaga nutrisi anak pada 1000 HPK. Ditambah, pengaruh budaya masyarakat yang melekat, seperti yang tertuang dalam hasil peneilitian Diana dkk dari Universitas Airlangga & IPB yang dilakukan di Kab. Sampang, Jawa Timur, masyarakat menilai anak yang pendek merupakan hal yang wajar dan tidak menjadi masalah selama anak dapat melakukan aktifitas seperti biasa, mau makan dan tidak rewel. Kebiasaan makan yang ditanamkan hanya sebatas "yang penting makan nasi, lauk apa saja gak masalah" atau "makan nasi sama kuah sayur/kaldu udah cukup, gak perlu lauk tambahan". Hal ini menjadi contoh nyata bahwa stunting bukan sekedar soal gizi, melainkan juga persoalan budaya masyarakat, kondisi sosial dan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Perlunya melihat kasus stunting di Indonesia dari berbagai sudut pandangan secara holistik. Agar upaya dan strategi pencegahan dan penanganan stunting di Indonesia lebih optimal dan tepat sasaran.