news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Mengenal Kartini

Manik Sukoco
Senang membaca. Sesekali menulis.
Konten dari Pengguna
22 April 2017 3:36 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Manik Sukoco tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mengenal Kartini
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Sejak Presiden Soekarno mengeluarkan Kepres RI No. 108 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964, maka R.A. Kartini ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Mulai saat itu pula, kita memperingati 21 April sebagai Hari Kartini.
ADVERTISEMENT
Berbagai peringatan dilakukan secara meriah, seperti dengan menggunakan pakaian adat daerah Indonesia. Mulai dari kantor pemerintahan, swasta, dan sekolah mengadakan karnaval ala Kartini. Akibatnya, banyak anak-anak yang lebih mengenal peringatan Kartini sebagai hari menggunakan baju adat dan karnaval. Sebagian dari mereka belum mengenal secara lebih jauh sosok Kartini.
Untuk itu saya ingin berbagi mengenai sejarah R.A. Kartini serta dan pemikirannya mengenai kesetaraan gender, poligami, perjodohan, pentingnya pendidikan, dan nasionalisme.
Sejarah R.A. Kartini
Kartini yang merupakan produk intelektual hasil politik etis pada awal abad ke-19, telah lama memperjuangkan kesetaraan gender yang dikenal dengan perjuangan emansipasi. Ia lahir pada tanggal 21 April 1879 dan wafat pada tanggal 17 September 1904 pada usia 25 tahun. Kartini merupakan sosok wanita yang berasal dari keluarga bangsawan Jawa.
ADVERTISEMENT
Ayah Kartini bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat sedangkan ibunya bernama M.A. Ngasirah. Ibu Kartini merupakan istri pertama dari Sosroningrat yang bekerja sebagai guru agama di salah satu sekolah di Telukawur, Jepara. Pada masa itu, pihak kolonial Belanda mewajibkan siapapun yang menjadi bupati harus memiliki istri dari golongan bangsawan. Karena ibu Kartini bukanlah seorang bangsawan, maka ayahnya kemudian menikah lagi dengan Raden Ajeng Moerjam, wanita yang merupakan keturunan langsung dari Raja Madura. Pernikahan tersebut juga langsung mengangkat kedudukan ayah Kartini menjadi bupati, menggantikan ayah dari Raden Ajeng Moerjam, yaitu Tjitrowikromo.
Dalam kultur masyarakat Jawa, bangsawan memiliki kedudukan yang sangat istimewa. Ia merupakan kelompok masyarakat yang dianggap sebagai model dari kultur budayanya. Ia memberikan nilai-nilai moral dalam kehidupan masyarakat. Bangsawan juga merupakan satu-satunya kelompok yang sangat dekat dengan raja. Karena kerajaan merupakan pusat budaya, maka bangsawan merupakan konseptor dari kultur masyarakatnya. Dari keluarga seperti inilah Kartini dilahirkan.
ADVERTISEMENT
Kakek Kartini, Pengeran Condronegoro merupakan generasi awal dari rakyat Jawa yang menerima pendidikan Barat dan menguasai bahasa Belanda dengan sempurna. Demikian juga dengan ayahnya, yang merupakan seorang bangsawan yang berpikiran maju. Beliau memberikan pendidikan Barat kepada seluruh anak-anaknya karena didorong oleh adanya kesadaran akan pentingnya ilmu pengetahuan demi kemajuan bangsa dan negaranya.
Sampai usia 12 tahun, Kartini mendapat pendidikan di ELS (Europese Lagere School) dimana Kartini mendapat pelajaran Bahasa Belanda. Kartini juga banyak membaca surat kabar yang terbit di Semarang yaitu De Locomotief. Disamping itu, Kartini juga sering mengirimkan tulisannya kepada majalah wanita yang terbit di Belanda yaitu De Hollandsche Lelie. Di samping membaca majalah, Kartini juga membaca buku Max Havelaar dan Surat-surat Cinta karya Multatuli, lalu De Stille Kracht karya Louis Coperus, dan sebuah roman anti perang yang berjudul Die Waffen Nieder karya Berta Von Suttner.
ADVERTISEMENT
Kartini telah dapat menguasai bahasa Belanda dengan baik sehingga ia memiliki modal yang cukup untuk berkomunikasi dengan teman-temannya di Eropa. Kemampuannya berbahasa Belanda menarik perhatian para sastrawan. Oleh karena itu, Suryanto Sastroatmodjo menempatkan Kartini sebagai seorang penyair prosalirik, karena surat-suratnya yang merupakan sebuah kesatuan cerita bernilai sastra tinggi.
Kartini memiliki cita-cita untuk melajutkan sekolahnya ke negeri Belanda. Namun, hal ini mendapat tantangan dari ayahnya. Kartini juga harus berhadapan dengan realitas budaya Jawa dimana dia harus mengalami masa pingitan pada umur 11 tahun dan menikah dengan laki-laki pilihan orang tuanya.
Kesetaraan Gender
Lewat surat-suratnya, Kartini banyak mengungkapkan keadaan masyarakat Jawa pada masa itu, juga harapannya mengenai upaya meningkatkan derajat kaum wanita Indonesia. Surat-surat Kartini dikumpulkan dan dibukukan oleh J.H. Abendanon, dengan judul Door Duisternis tot Licht. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Armin Pane dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Sementara itu Agnes Louise Symmers menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris dengan judul Letters of A Javanese Princess.
ADVERTISEMENT
Sebagian besar surat-surat Kartini mengisahkan tentang keadaan kaum wanita di Indonesia yang secara umum masih sangat tertinggal. Hal ini disebabkan oleh aturan adat dan budaya Jawa yang menempatkan wanita dalam posisi yang inferior bila dibandingkan dengan pria.
Dalam konstruk budaya Jawa, peranan wanita hanya berkisar pada tiga hal yaitu: di sumur (mencuci dan bersih-bersih), di dapur (memasak) dan di kasur (melayani suami). Atau dengan perkataan lain peranan wanita adalah macak, masak, dan manak. Lebih jauh, gambaran wanita Jawa adalah sebagai konco wingking, yaitu sebagai pembantu yang melayani suami untuk urusan belakang. Karena peranannya yang marjinal tersebut maka wanita tidak perlu mendapatkan pendidikan yang tinggi.
Keadaan wanita Indonesia, khususnya di Jawa pada jaman tersebut juga dapat dilihat dari ungkapaan B.H. Lans, seorang guru wanita berkebangsaan Belanda yang bertugas di Sunda. Beliau menulis, "Waktu saya mulai bekerja disini, hampir tidak ada atau sedikit sekali gadis-gadis yang pergi ke sekolah… Semua kebebasan yang dimiliki gadis-gadis, lenyap pada usia menjelang kawin, yaitu pada usia sepuluh atau dua belas tahun.”
ADVERTISEMENT
Dalam suratnya kepada Stella Zeehandelaar tanggal 25 Mei 1899, Kartini mengungkapkan keadaan dirinya dan wanita-wanita pada umumnya. Ia menulis, "…we girls, so far as education goes, fettered by our ancient traditions and conventions, have profited but little by these advantage. It was a great crime against the customs of our land that we should be taught at all, and especially that we should leave the house every day to go to school. For the custom of our country forbade girls in the strongest manner ever to go to outside of the house…"
Dalam korespodensinya dengan Stella Zeehandelaar, Kartini berharap mendapat pertolongan darinya. Kartini juga mengungkapkan bahwa dirinya ingin menjadi wanita yang maju seperti wanita Eropa, dan itu hanya dapat ditempuh melalui pendidikan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, Kartini mengajukan permohonan kepada ayahnya untuk melanjutkan sekolah HBS di Semarang, namun ditolak mentah-mentah. Akan tetapi, ketika Kartini menyatakan ingin melanjutkan studi ke Eropa, ayahnya diam dan tidak memberikan reaksi apa-apa. Kartini berkesimpulan bahwa ayahnya tidak keberatan kalau ia melanjutkan studinya ke Eropa.
ADVERTISEMENT
Kartini lalu mengirimkan surat kepada pemerintah agar ia diberi bantuan untuk melanjutkan studi ke Eropa. Balasan dari pemerintah Belanda datang dua tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 23 Juli 1903. Pada dasarnya, pemerintah Belanda menyambut baik niat Kartini untuk belajar di Eropa dan menyatakan kesediaannya untuk memberikan bantuan uang sebesar 4.800 Gulden. Akan tetapi, Kartini tidak lagi antusias menerima balasan tersebut sebab ia akan segera menikah dengan Bupati Rembang yaitu R.M. Joyo Adiningrat.
Poligami
Hal lain yang menjadi perhatian Kartini adalah poligami. Kartini berpendapat bahwa poligami merupakan salah satu bentuk kesewenang-wenangan pria terhadap wanita. Kartini melihat dan merasakan, betapa besar penderitaan dan pengorbanan kehidupan wanita yang dimadu oleh suaminya. Hal inipun dilakukan oleh orang tua, abang-abang, dan para raden mas lainnya di lingkungan Kabupaten Jepara. Hal penting yang menjadi perhatian Kartini terhadap kasus poligami, adalah adanya dorongan dari orang tua agar anaknya mendapat suami dari kaum bangsawan dengan tujuan untuk memperoleh kehormatan dan kemewahan.
ADVERTISEMENT
Menurut Kartini, gadis-gadis tersebut tidak dapat dipersalahkan karena pada umumnya mereka merupakan anak-anak dari keluarga yang melarat yang terdiri dari petani dan buruh pabrik. Mereka berangan-angan mendapat kemewahan, kehormatan, dan kenikmatan duniawi. Dinikahi oleh bangsawan merupakan anugerah yang membuka jalan bagi mereka untuk mobilitas sosial secara vertikal.
Pingitan dan Perjodohan dalam Budaya Jawa
Dalam suratnya kepada Stella Zeehandelaar tertanggal 25 Mei 1899, Kartini juga menuliskan kisahnya ketika mengalami masa pingitan sebagai berikut, "When I reach the age of twelve, I was kept at home. I had to go into the box. I was locked up, and cut off from all communication with the outside world, toward which I might never turn again save at the side of bridegroom, a stranger, an unknown man whom my parents would choose for me, and to whom I should betrothed without my own knowledge…"
ADVERTISEMENT
Bagi Kartini, masa-masa menjalani pingitan merupakan masa-masa kelam dalam perjalanan hidupnya, apalagi setelah ia tahu bahwa orang tuanya telah mempersiapkan seorang laki-laki sebagai calon suaminya. Kartini berpendirian bahwa para calon suami seharusnya diperkenalkan terlebih dahulu pada gadis yang akan diperistri. Tidak disodorkan begitu saja.
Perjodohan ini merupakan sebuah tragedi yang memupuskan harapannya sebagai gadis modern untuk melawan belenggu tradisi dan feodalisme konstruk budaya Jawa.
Pendidikan
Dalam suratnya kepada Mevrouw Van Kol pada bulan Agustus 1901, Kartini berpendapat bahwa satu-satunya jalan untuk merubah kondisi wanita saat itu, adalah melalui pendidikan.
Kartini ingin membuat para perempuan mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan. Dalam salah satu suratnya ia menulis, “Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruh wanita yang sangat besar dalam keluarga, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.”
ADVERTISEMENT
Kartini menyatakan keinginannya supaya perempuan dapat mengenyam pendidikan setinggi mungkin. Di usianya yang masih sangat belia, Kartini telah juga memiliki kegelisahan atas ketidakadilan. Ini terlihat dalam salah satu suratnya, "Pergilah. Laksanakan cita-citamu. Kerjalah untuk hari depan. Kerjalah untuk kebahagiaan beribu-ribu orang yang tertindas di bawah hukum yang tidak adil dan paham-paham yang palsu tentang mana yang baik dan mana yang buruk. Pergi. Pergilah. Berjuanglah dan menderitalah, tetapi bekerjalah untuk kepentingan yang abadi."
Kartini yang berkorespodensi langsung dengan tokoh feminis Belanda, Stella Zeehandelaar secara tidak langsung telah terpengaruh oleh konsep-konsep feminisme liberal. Kartini bercita-cita untuk membebaskan perempuan dari kebutaan pendidikan dengan mendirikan sekolah khusus, agar hak perempuan untuk mengikuti pendidikan setara dengan hak pendidikan untuk laki-laki. Kepada Van Kol Kartini menulis, "...Our idea is open, as soon as we have the means, an institute for the daughter of native officials, where they will be fitted for practical life and will be taught as well the things which elevate the spirit, and ennoble the mind..."
ADVERTISEMENT
Kartini menyadari bahwa untuk membuat bangsanya maju, khususnya kaum wanita, maka tidak bisa tidak adalah dengan jalan belajar dari dunia Barat. Peradaban Barat yang demikian gemilang menyilaukan semangat Kartini untuk belajar demi pembebasan dari kungkungan feodalisme budaya yang timpang itu.
Nasionalisme
Nasionalisme Kartini dapat dilacak dari pemikirannya yang terdapat dalam surat-suratnya. Pemikiran Kartini merupakan refleksi sosial yang kritis dari seorang wanita Indonesia yang didasarkan pada religieusiteit, wijsheid, en schoonheid (ketuhanan, kebijaksanaan, dan keindahan) juga ide mengenai humanitarianisme dan nasionalisme. Nasionalisme yang tampak dalam pandangan Kartini, dapat dikategorikan sebagai sebagai nasionalisme universal, seperti pendidikan, persamaan derajat, dan solidaritas sosial.
Pemikirannya tentang nasionalisme dapat dilihat dalam suratnya kepada Stella Zeehandelaar pada tanggal 12 Januari 1900, Kartini mengutip pandangan ayahnya dalam sebuah nota yang dikirimkan kepada pemerintah Hindia Belanda sebagai berikut, "Father says in his note that the government can’t set the rice upon the table for every Javanese, and see that he partakes of it. But it can give him the means by which he can reach the place where he can find the food. The means is education. When the government provides a means of education for people, it is as though it placed torches in their hands which enabled them to find the good road that leads to the place where the rice is served. From it you will learn something of the present condition of the people. Father wishes to do everything that he can to help the people and needless to say, I am on his side.”
ADVERTISEMENT
Kartini juga mengingatkan pentingnya persatuan bagi bangsa Indonesia serta mengajak untuk menggalang persatuan diantara kalangan muda Indonesia baik pria maupun wanita. Hal ini terungkap dalam suratnya kepada kepada Ny. Abendanon pada tanggal 30 September 1901, “The young guard, regardless of sex, should band themselves together. We can each of us do something unaided, towards the uplifting and civilizing of our people, but if we were united our strength would be multiplied many times. By working together we could gather a goodly store of fruit. In union there is strength and power.”
Sisi humanitarianisme yang melekat dari diri Kartini tampak dalam ungkapannya dimana ia ingin dipandang sebagai individu yang sama dengan orang lain. Kartini merasa tidak berbeda dengan rakyat biasa yang sama-sama hidup dibawah penjajahan. Bahkan Kartini ingin dipanggil Kartini saja, tanpa ditambah dengang embel-embel Raden Ajeng. Hal ini terungkap dalam suratnya kepada Stella Zeehandelaar pada tanggal 17 Mei 1902. Dalam suratnya tersebut, Kartini menulis, "…For the first time, my name would come out openly in connection with my people. I am proud of that, Stella to be named in the same breath with my people."
ADVERTISEMENT
Kartini tidak mau dianggap jauh di atas orang lain, lebih-lebih rakyat jelata. Humanitarianisme Kartini merupakan refleksi kritis dari stratifikasi sosial yang hirakis akibat konstruk budaya yang feodalistik. Gagasan ini merupakan embrio dari munculnya ide persamaan derajat atau yang dikenal dengan emansipasi dimana wanita sudah selayaknya ditempatkan pada proporsi yang semestinya. Pemikiran Kartini mencerminkan solidaritas sosial antara bangsa-bangsa yang sedang dijajah oleh bangsa asing. Menurutnya tiada guna memiliki darah bangsawan, dihormati, hidup mewah, apabila ia berada di bawah kendali kekuasaan bangsa lain.
Sebuah Catatan
Makna konsepsi emansipasi wanita dalam pemikiran Kartini adalah menginginkan kebebasan dan kemandirian. Baik dalam bidang pendidikan dan kehidupan berumah tangga.
Melalui tulisannya, Kartini menyampaikan pesona kebudayaan Jawa dan menunjukkan pada teman-temannya di Belanda bahwa perempuan juga dapat berprestasi. Kehidupan Kartini sebagai anak selir, sedikit banyak mempengaruhi pemikirannya, termasuk dalam konsepnya mengenai emansipasi wanita.
ADVERTISEMENT
Pemikiran kritis Kartini tentang keadaan kaum wanita pada jamannya, merupakan cikal bakal tumbuhnya nasionalisme meskipun sifatnya masih samar. Melalui surat-suratnya, keadaan wanita Indonesia pada jaman tersebut sangat memprihatinkan karena terbelenggu oleh hukum adat yang sangat bias terhadap gender.
Menurut Kartini, kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan masyarakat berakar dari ketidaktahuan mereka. Oleh karenanya, pendidikan mutlak dibutuhkan untuk membuka cakrawala pemikiran bangsa ini dan memberdayakan rakyat.
Kebebasannya dalam berpikir menjadikan Kartini bersikap sangat rasional terhadap adat istiadat yang mengekang kebebasan perempuan. Kartini tak pernah menginginkan perempuan untuk mengalahkan laki-laki. Ia justru ingin para perempuan memperkaya dirinya dengan ilmu pengetahuan dan kebaikan, agar para perempuan bisa menjadi pribadi yang lebih baik.
Diakui atau tidak, selama ini memang kita telah larut dalam perayaan yang sangat terbatas akan pemaknaan perjuangan Kartini. Dengan memakai kebaya, kita sudah merasa merayakan Hari Kartini. Padahal yang diperjuangkan oleh Kartini adalah sesuatu yang lebih besar dari itu.
ADVERTISEMENT