Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menimbang Aspek Pendanaan dalam Transisi Energi
7 September 2018 23:55 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
Tulisan dari Manik Sukoco tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Slogan No Plan B yang dikampanyekan dalam Konferensi COP 21 di Paris (Foto: Charles Platiau/Reuters)
ADVERTISEMENT
Tahun ini merupakan tahun yang krusial terkait dengan perubahan iklim. Berbagai fenomena alam terjadi dan dampaknya dapat kita rasakan, mulai dari: bencana (banjir, longsor, puting beliung, kebakaran hutan) , kegagalan panen , ancaman krisis pangan , kekeringan , menurunnya biodiversitas , degradasi lahan , migrasi , pemutihan terumbu karang , sampai dengan melambatnya perputaran poros bumi .
Pada Konferensi Paris yang dilangsungkan tahun 2015, Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29% dari business as usual (BAU) di tahun 2030 dan 41% dengan bantuan internasional. Salah satu upaya yang harus dilakukan untuk memenuhi target tersebut adalah melalui pemanfaatan energi terbarukan yang lebih besar di sektor kelistrikan serta mengurangi pembakaran batubara.
Melalui Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pemerintah telah menetapkan target untuk meningkatkan bauran energi terbarukan dari 7% saat ini menjadi 23% di tahun 2030, atau setara dengan pembangunan 45 GW kapasitas pembangkit energi terbarukan. Namun, perkembangan energi terbarukan masih terbilang cukup lambat, dengan kapasitas terpasang sebesar 9 GW. Jumlah ini mencakup 14% dari total kapasitas terpasang pembangkit listrik atau 20% dari total kapasitas yang menjadi target RUEN.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, penyediaan tenaga listrik di seluruh dunia sedang mengalami transformasi yang cukup masif dengan semakin kompetitifnya harga listrik dari variable renewable energy (VRE) seperti energi angin dan surya. Perkembangan teknologi pembangkit terdistribusi dan transformasi digital di sektor kelistrikan, kini telah melahirkan tren 4D: dekarbonisasi, desentralisasi, digitalisasi, serta demokratisasi sistem penyediaan listrik.
Kecenderungan dan tren global dalam bidang energi dapat menjadi faktor disruptif bagi sistem kelistrikan di Indonesia yang masih bersifat monopolistik, tersentralisasi, dan mengandalkan pembangkit berbahan bakar fosil. Potensi disrupsi tersebut dapat menyebabkan stranded assets dari infrastruktur pembangkit dan transmisi serta distribusi (T&D) yang dibangun saat ini maupun di masa yang akan datang.
Sekilas Mengenai Pembiayaan Perubahan Iklim di Indonesia
ADVERTISEMENT
Langkah awal yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk menanggulangi dampak perubahan iklim adalah dengan mendesain Rencana Aksi Nasional penurunan emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) melalui Peraturan Presiden No.61/2011. Peraturan tersebut merupakan pondasi dalam menyusun perencanaan Nationally Approved Mitigation Actions (NAMAs) di bawah United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
Merujuk pada publikasi Indonesia’s First Mitigation Fiscal Framework tahun 2011, tiap negara berkembang diperkirakan memerlukan dana mitigasi perubahan iklim antara USD 7,5 miliar hingga 9 miliar per tahun, sedangkan sumber dana yang tersedia di Indonesia untuk mitigasi adalah sebesar USD 1,67 miliar (Rp.15,9 triliun). Sumber dana tersebut berasal dari pemerintah pusat, pemerintah lokal, pembiayaan investasi, dan subsidi pajak untuk energi panas bumi & biofuel. Berdasarkan kerangka ini, pemerintah hanya mampu membiayai 23% dari total mitigasi yang dibutuhkan (UNDP, 2012).
Kerangka Awal Sumber Pendanaan Perubahan Iklim (Foto: Situs Kemenkeu dan RAN-GRK, 2011).
ADVERTISEMENT
Sekitar 55% dana perubahan iklim dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan sektor swasta (umumnya dalam bentuk pinjaman). Sedangkan 32% anggaran disalurkan secara tidak langsung untuk membiayai kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta organisasi yang terlibat dalam pengembangan kapasitas SDM (konsultan swasta, organisasi internasional, maupun LSM).
Pada tahun 2011, yang merupakan periode awal perencanaan anggaran fiskal untuk mitigasi, setidaknya USD 951 juta (Rp.8.377 miliar) telah digelontorkan untuk pembiayaan perubahan iklim di Indonesia. Mitra pembangunan internasional berkontribusi secara signifikan terhadap sumber pendanaan publik domestik, yaitu sebesar USD 324 juta (Rp.2.851 miliar). Dari total anggaran perubahan iklim, 66% bersumber dari pendanaan nasional dan 34% didapatkan dari sumber internasional.
Pembiayaan Publik Perubahan Iklim (Foto: The Landscape of Public Climate Finance in Indonesia, 2014).
ADVERTISEMENT
Berdasarkan laporan Climate and Development Knowledge Network (CDKN), salah satu mekanisme pembiayaan perubahan iklim adalah melalui Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) yang dibentuk pada tahun 2009. Lembaga ini bertugas mengumpulkan dan mengkoordinasikan dana dari berbagai sumber untuk membiayai kebijakan dan program perubahan iklim di Indonesia, baik yang bersifat mitigasi maupun adaptasi.
Sejak didirikan pada 2009, ICCTF terlibat dalam penyelenggaraan 63 proyek mitigasi dan adaptasi nasional di 19 provinsi di seluruh Indonesia. Untuk melaksanakan proyek tersebut, lembaga ini berkolaborasi dengan institusi pemerintah, universitas, dan organisasi masyarakat sipil.
Upaya mitigasi perubahan iklim menemukan momentum setelah Indonesia menyepakati Konferensi Paris (COP 21) dan meratifikasinya pada tahun 2016. Dalam tiga tahun terakhir, ICCTF mengelola 42 proyek mitigasi, adaptasi, dan ketangguhan dengan dukungan pendanaan dari berbagai sumber, mulai dari: Pemerintah Indonesia, Kerajaan Denmark melalui DANIDA, Pemerintah Amerika Serikat melalui USAID, Pemerintah Inggris melalui UKCCU, serta bantuan teknis dari Kementerian Lingkungan Hidup Jerman, Konservasi Alam, dan Keselamatan Nuklir (BMU) melalui GIZ INFIS.
ADVERTISEMENT
Total anggaran yang dikelola ICCTF pada tahun 2017 adalah sebesar Rp.58,3 miliar. Kegiatan yang dilaksanakan diantaranya pengelolaan hutan dan gambut, rehabilitasi lahan kritis, pencegahan kebakaran hutan dan lahan, pengelolaan air, kegiatan terkait sumber penghidupan, pemodelan iklim, serta pemetaan kerawanan di sektor pertanian dan perikanan.
Pada tahun 2018, lembaga ini akan melanjutkan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim melalui penyelenggaraan proyek peningkatan skala yang berdampak signifikan, serta memperluas hutan dan program pengelolaan lahan gambut ke daerah baru. ICCTF juga akan berkoordinasi dengan banyak pihak dalam mengembangkan opsi alternatif untuk mengakses sumber pendanaan perubahan iklim seperti Green Climate Fund (GCF) dan Global Environment Facility (GEF). Secara keseluruhan, proyek ICCTF memiliki potensi untuk mengurangi emisi GRK sebesar 9,5 juta ton karbon dioksida (CO2eq).
ADVERTISEMENT
Menurut studi yang dilakukan International Budget Partnership (IBP) dan United Nations Development Programme (UNDP), ada beberapa kelemahan yang terdapat dalam sistem pembiayaan perubahan iklim , antara lain: kurangnya transparansi mengenai anggaran yang tersedia maupun cara penggunaannya, terbatasnya kesempatan warga negara maupun organisasi masyarakat sipil untuk turut berpartisipasi dalam perencanaan anggaran, permasalahan terkait penyusunan dan pemantauan anggaran, serta rendahnya kualitas SDM.
Selain membutuhkan perbaikan dalam sistem pendanaan, ada beberapa hal yang juga perlu dicermati dalam pendanaan perubahan iklim, antara lain: pengalihan subsidi energi, infrastruktur hijau, pengembangan riset dan teknologi, pembangunan kemitraan, dan percepatan investasi untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.
A. Pengalihan Subsidi Energi
Akibat kenaikan harga minyak, negara harus mengucurkan subsidi sekitar Rp.163,49 triliun, membengkak Rp.94,53 triliun dari target. Sampai dengan paruh tahun pertama , realisasi subsidi energi telah mencapai Rp.59,51 triliun atau 63% APBN. Sehingga pada paruh kedua, diperkirakan akan mencapai Rp.103,98 triliun. Adapun subsidi nonenergi diasumsikan akan mencapai Rp.64,65 triliun atau membengkak Rp.2,95 triliun dari target yang sebesar Rp.61,703 triliun. Secara total, belanja subsidi diprediksi akan mencapai Rp.228,15 triliun atau membengkak Rp.71,92 triliun dari target yang sebesar Rp.156,23 triliun.
ADVERTISEMENT
Subsidi sebesar ini dapat dialihkan ke bidang yang lebih tepat sasaran, seperti: pemberian bantuan dalam pembelian kompor gas, pembagian lampu hemat energi secara cuma-cuma bagi penduduk miskin, atau konversi ke energi baru terbarukan (EBT).
Sebagai perusahaan penyedia listrik negara, PLN bertanggungjawab memasok kebutuhan listrik warga. Dalam rangka memenuhi permintaan yang terus meningkat, PLN melalui program 35.000 MW akan membangun berbagai proyek pembangkit yang didominasi oleh batubara. Proyek ini menuai kontroversi karena dianggap berpotensi merugikan negara baik dari segi ekonomi, sosial, maupun lingkungan.
Dari segi ekonomi, IEEFA menyebutkan bahwa PLN harus membayar sekitar USD 3,16 miliar untuk setiap gigawatt dari kapasitas terpasang yang tidak terpakai di sistem pembangkitan Jawa-Bali. Berdasarkan laporan RUPTL 2017-2026, total 24 GW akan dialokasikan untuk Independent Power Producer (IPP). Padahal konsumsi listrik masyarakat sedang mengalami penurunan. IPP adalah skema perjanjian jual-beli yang menjamin pembayaran atas minimal 80% dari kapasitas listrik yang disepakati, walau listrik tersebut tak terserap atau tak termanfaatkan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, untuk mengamankan kontrak PPA (power purchase agreement) dalam kurun waktu 25 tahun ke depan, PLN perlu mengeluarkan dana sekitar USD 76 milyar. Pembayaran kontrak jangka panjang tersebut akan menghambat PLN untuk dapat segera beralih ke EBT dan berpotensi menyebabkan kerugian sebesar Rp.219 triliun sampai dengan akhir masa perjanjian jual beli listrik di tahun 2040.
Pemanfaatan batubara sebagai sumber energi di Indonesia, ditopang dengan berbagai bentuk subsidi. Dalam laporan International Institute for Sustainable Development (IISD) dijelaskan bahwa subsidi batubara di tahun 2015 mencapai USD 644 miliar yang tentu akan membebani kesehatan fiskal dan keuangan negara.
Dari segi sosial, penambahan kapasitas terpasang PLTU batubara akan meningkatkan perluasan pembongkaran batubara melalui aktivitas penambangan. Untuk memenuhi 57 persen dari kebutuhan proyek 35.000 megawatt, dibutuhkan 166,2 juta ton batubara. Peningkatan penambangan akan mengancam keselamatan rakyat bahkan merampas lahan pangan produktif Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sebuah kajian yang dilakukan oleh Waterkeeper Alliance dan JATAM mengungkapkan bahwa produksi beras nasional akan turun sebanyak 7,7 juta ton akibat pengalihan fungsi lahan pertanian produktif menjadi tambang batubara. Belum lagi pencemaran air yang diakibatkan oleh aktivitas tambang yang dilakukan di dekat lahan pertanian. Saat ini, seluruh Izin Tambang Batubara (IUP) telah menempati sekitar 10 persen dari luas daratan Indonesia (17,5 juta ha) dan apabila beroperasi akan meninggalkan 16.055 lubang bekas tambang, atau setara dengan 91 kali luas Bandara Soekarno Hatta.
Dari segi kesehatan, pemanfaatan batubara serta pembangunan PLTU baru diperkirakan akan menyebabkan 24.000 kematian dini per tahun di Indonesia. Menurut studi yang dilakukan oleh Universitas Harvard , partikulat jahat yang dihasilkan dari pembakaran batubara dapat meningkatkan resiko kematian akibat penyakit stroke, jantung iskemik, kanker paru-paru, kanker tenggorokan, dan penyakit kardiovaskular lainnya.
ADVERTISEMENT
Penggunaan energi terbarukan kini lebih menguntungkan daripada energi batubara yang kotor atau energi minyak yang harganya fluktuatif. Dalam laporan BNEF (Bloomberg New Energy Finance) dikatakan bahwa 98.000 GW pembangkit listrik tenaga surya telah dipasang pada tahun 2017. Jumlah ini meningkat 31% dari tahun sebelumnya karena harga energi solar yang makin terjangkau . Sementara laporan Lazard menyebutkan bahwa biaya yang harus dikeluarkan untuk energi angin kini jauh lebih murah dari energi nuklir atau batubara. Berbagai kajian tersebut sejalan dengan publikasi IRENA yang menyebutkan bahwa hampir seluruh harga rata-rata energi terbarukan kini berada dalam rentang harga energi fosil dan secara konsisten akan lebih murah dari bahan bakar fosil pada tahun 2020.
B. Infrastruktur Hijau
ADVERTISEMENT
Investasi dalam infrastruktur mendasari pertumbuhan ekonomi modern. Infrastruktur rendah karbon sangat penting untuk mengurangi laju emisi. Namun, banyak negara gagal memobilisasi pembiayaan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur karena kurangnya kapasitas pembiayaan publik dan persepsi pasar bahwa investasi merupakan sesuatu yang berisiko tinggi.
Upaya Indonesia memberikan kesempatan pada publik untuk berinvestasi dalam pendanaan infrastuktur hijau melalui penerbitan obligasi hijau (green bond) dan sukuk hijau (green sukuk) adalah langkah yang sangat baik. Melalui Green Infrastructure Investment Opportunities (GIIO), para investor dapat berinvestasi pada berbagai proyek yang ramah lingkungan, seperti: energi terbarukan, transportasi rendah karbon, agrikultur, pengelolaan air, maupun daur ulang sampah.
Investasi dalam pengembangan infrastruktur tentu diperlukan untuk menunjang pertumbuhan ekonomi, sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan urbanisasi. Investasi tersebut diharapkan dapat mengusung nilai-nilai keberlanjutan dan resisten terhadap perubahan iklim.
ADVERTISEMENT
C. Pengembangan Riset dan Teknologi
Negara perlu mendorong tumbuhnya inovasi, riset, dan pengembangan IPTEK. Dengan menambah alokasi anggaran di bidang risbang maupun inovasi, diharapkan semakin banyak tercipta terobosan baru di berbagai bidang, termasuk dalam pengembangan energi bersih seperti yang telah dilakukan di kawasan Yogyakarta.
Pada tahun 2010, di daerah Pantai Baru Pandansimo, Kecamatan Srandakan, Kabupaten Bantul, dibangun pembangkit listrik tenaga angin berkapasitas 60 KW dan pembangkit listrik tenaga matahari berkapasitas 27 KW. Pembangkit listrik tersebut digunakan untuk penerangan jalan, pembuatan es, dan warung kuliner. Selain itu, daerah ini juga menerapkan sistem terintegrasi bagi pertanian, perikanan, kawasan wisata alam, serta penggunaan bahan bakar ramah lingkungan yang mengunakan biogas dari sisa kotoran ternak sapi.
Pengembangan energi surya di kawasan Pandansimo, Bantul (Foto: Dokumentasi Pribadi).
Pengembangan energi surya di kawasan Pandansimo, Bantul (Foto: Dokumentasi Pribadi).
Bak penampungan air di bawah instalasi panel surya kawasan Pandansimo, Bantul (Foto: Tommy Apriando, Mongabay Indonesia).
Pengembangan energi bayu di kawasan Pandansimo, Bantul (Foto: Dokumentasi Pribadi).
ADVERTISEMENT
Pengembangan tenaga hybrid di kawasan ini melibatkan berbagai pihak, mulai dari: Kementerian Riset dan Teknologi, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Bappeda Bantul, Universitas Gadjah Mada, jajaran pemerintahan daerah Bantul (Dinas Sumberdaya Air, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pertanian, Dinas Perikanan, Dinas Pariwisata, Dinas Perindustrian dan Perdagangan), para pemuka masyarakat (Kepala Dukuh/Dusun), beserta warga di sekitar pantai Pandansimo.
Walau dikatakan tidak layak bangun , tetapi proyek ini tetap diteruskan untuk keperluan riset dan pengembangan. Dengan terwujudnya proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga hybrid ini, diharapkan teknologi serupa dapat diterapkan di daerah atau pulau terpencil yang mempunyai potensi energi angin dan matahari.
Salah satu kendala dalam pengembangan riset energi bersih adalah soal anggaran. Saat ini, Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) memang termasuk dalam 10 besar Kementerian atau lembaga penerima anggaran prioritas dengan total anggaran dalam RAPBN tahun 2018 sebesar Rp.41,28 triliun, dimana Pendidikan Tinggi (Dikti) mendapatkan Rp.40,39 triliun serta Riset dan Teknologi (Ristek) mendapat Rp.0,89 triliun. Namun, dari total dana tersebut, alokasi anggaran untuk risbang dan inovasi adalah sebesar Rp.1,7 triliun , dengan rincian anggaran untuk risbang sebesar Rp.1,59 triliun dan inovasi sebesar Rp.145,2 miliar. Jika dipersentase, anggaran riset dan pengembangan (R & D) hanyalah sebesar 0,089 persen dari APBN.
ADVERTISEMENT
Kita harus belajar dari Hong Kong, Malaysia, Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan yang dalam beberapa dekade terakhir telah mengembangkan model dalam negaranya untuk pengembangan ilmu dan teknologi. Korea Selatan bahkan mengalokasikan sebesar 4,24% dari PDB mereka untuk riset dan pengembangan. Tidak heran jika publikasi internasional mereka juga mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari tahun ke tahun. Selain masalah anggaran, pemerintah juga diharapkan mampu menerbitkan regulasi yang dianggap perlu untuk mempercepat akselerasi inovasi, bukan yang berpotensi menghambat.
Kerjasama antara berbagai sektor, mulai dari: pemerintah, otoritas kota, badan usaha, organisasi internasional, dan masyarakat sipil untuk mengembangkan IPTEK, memperluas pasar, mengurangi biaya, meningkatkan daya saing internasional, dan meningkatkan pendanaan diperlukan agar dapat mempercepat transisi dari energi fosil ke energi terbarukan.
ADVERTISEMENT
D. Melibatkan Pemerintah Daerah dan Meningkatkan Kemitraan
Pada APBN tahun 2018, transfer dana dari pusat ke daerah mencapai Rp.766,2 triliun (40.44% APBN). Mengingat dana tersebut cukup besar, pemerintah berpeluang mempercepat upaya transisi energi dengan mendorong daerah untuk dapat lebih ambisius dalam upaya transisi energi melalui penyelenggaraan berbagai program yang relevan, melakukan terobosan-terobosan dalam bidang lingkungan dan energi, termasuk juga mengadopsi berbagai regulasi yang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan.
Usaha pengadopsian kesepakatan internasional di tingkat lokal sudah dilakukan sebelumnya saat propinsi dan kota merealisasikan kesepakatan UNFCCC 1992 yang merupakan soft law ke dalam Perda, seperti misalnya: Perda Bangka Belitung No.2 tahun 2009 tentang program pembangunan etalase kelautan dan perikanan di wilayah Bangka Belitung, Perda Kota Jambi No.6 tahun 2009 tentang Hutan Kota, dan Perda Kota Jambi No.7 tentang Penetapan Hutan Kota. Berikut adalah empat prinsip yang perlu diperhatikan dalam proses pengadopsian soft law ke dalam Perda.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana tertulis dalam buku Andreas Pramudianto mengenai Hukum Perjanjian Lingkungan Internasional, ada beberapa kendala yang bisa ditemui terkait pengadopsian soft law ke dalam Perda.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, kedepan pemerintah perlu meningkatkan sosialisasi dan diseminasi perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup kepada pemerintah daerah, memperbaiki dan mempermudah pertukaran informasi dari berbagai instansi, memperbesar kapasitas lembaga dan networking, mengembangkan kelembagaan daerah, serta meningkatkan sinergitas antara pemerintah pusat dan daerah untuk mempercepat skala pencapaian target penurunan emisi, memberikan kemudahan akses dan pemahaman terhadap berbagai instansi yang dianggap perlu, meningkatkan sumber daya manusia, dan memperbaiki sistem, prosedur, maupun tata cara pengadopsian kebijakan.
ADVERTISEMENT
Merujuk pada laporan New Climate Economy , berikut sepuluh hal yang dapat dilakukan untuk mendukung upaya penurunan emisi.
ADVERTISEMENT
E. Percepatan Investasi untuk Mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
Mengingat betapa mendesaknya masalah perubahan iklim, sudah selayaknya pemerintah meningkatkan investasi (baik dalam jumlah, luas, maupun kecepatan) pada proyek infrastruktur yang berkelanjutan dengan berfokus pada lima hal yaitu: energi, kota, ketahanan pangan dan penggunaan lahan, air, maupun industri untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, mencapai poin-poin yang tertera dalam Sustainable Development Goals (SDGs), serta mengurangi resiko yang diakibatkan oleh perubahan iklim.