Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Perempuan-Perempuan yang Berpengaruh (Bagian II)
23 Desember 2017 5:46 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
Tulisan dari Manik Sukoco tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tulisan ini adalah bagian kedua dari rangkaian tulisan yang mengulas mengenai peranan beberapa sosok feminis yang giat memperjuangkan hak-hak perempuan dalam berbagai bidang.
ADVERTISEMENT
1. Emmeline Pankhurst (14 Juli 1858 – 14 Juni 1928)
Ilustrasi Emmeline Pankhurst (Foto: Pinterest)
“Argumen kaca jendela yang pecah adalah argumen paling berharga dalam politik modern.”
Emmeline Pankhurst adalah pemimpin gerakan perjuangan hak suara perempuan di Inggris. Ia tak ragu-ragu mendorong penggunaan kekerasan, demonstrasi publik, dan mogok makan dalam kampanyenya memperjuangkan hak pilih bagi perempuan.
Emmeline berulangkali dijebloskan ke penjara karena sangat vokal menyuarakan pendapatnya terkait hak perempuan. Ia lahir dalam keluarga kelas menengah di Manchester, Inggris. Ayahnya adalah seorang pengusaha dengan pandangan politik radikal yang berkampanye menentang perbudakan dan Corn Laws. Ibunya adalah seorang feminis yang juga getol memperjuangkan hak-hak politik, khususnya hak pilih bagi kaum perempuan.
ADVERTISEMENT
Setelah menyelesaikan sekolahnya di Manchester, Emmeline melanjutkan studi ke Paris, sebagaimana umumnya perempuan muda yang lahir dalam keluarga berada pada masa itu. Tahun 1878, ia kembali ke Inggris dan bertemu dengan Richard Marsden Pankhurst.
Richard M. Pankhurst merupakan seorang pengacara di Manchester yang memiliki kesamaan pandangan dengan Emmeline terkait dengan hak perempuan. Mereka menikah pada tahun berikutnya.
Richard menyusun rancangan amandemen atas Municipal Franchise Act 1869, yang memungkinkan para kepala rumah tangga perempuan yang tidak menikah untuk ikut memberikan suara dalam pemilu lokal. Richard juga menulis undang-undang Married Women’s Property Acts pada tahun 1870 dan 1882.
Dahulu, ketika kaum pejuang hak pilih bagi perempuan mogok makan di penjara, mereka akan diwajibkan makan, bahkan disuapi secara paksa, sehingga beberapa orang tewas. Praktik paksa itu dikategorikan sebagai penyiksaan.
ADVERTISEMENT
Selama Perang Dunia I, Emmeline dibiayai Pemerintah Inggris untuk berkampanye agar kaum perempuan mau mengambil alih pekerjaan laki-laki yang banyak mengalami kekosongan. Hal ini dikarenakan pada masa itu, banyak laki-laki yang pergi berperang.
Pada tahun 1889, Richard Pankhurst meninggal karena penyakit lambung akut dan di tahun yang sama, Emmeline mendirikan Women’s Franchise League. Empat tahun kemudian, ia bersama putri pertamanya, Christabel, mendirikan Women’s Social and Political Union (WSPU).
Pada tahun 1859, Emmeline menjadi pekerja sosial Poor Law. Pekerjaannya meliputi kunjungan ke berbagai rumah kerja tahanan. Ia sangat tersentuh melihat betapa prihatinnya kondisi para tahanan perempuan. Emmeline semakin yakin bahwa hak politik merupakan kunci bagi kaum perempuan guna memperbaiki nasib sekaligus mengatasi berbagai masalah sosial. Dari keyakinan inilah, ia kemudian gigih berjuang agar perempuan memiliki status politik yang sama dengan laki-laki, dan berhak memilih dalam pemilu.
ADVERTISEMENT
Pada awalnya, gerakan yang dipimpin oleh Emmeline merupakan gerakan damai dan tidak menggunakan cara-cara kekerasan; biasanya mereka hanya menyeruak masuk ke berbagai pertemuan politik. Kebanyakan pendukung gerakan ini adalah kaum perempuan terhormat dari keluarga yang sudah mapan.
Gerakan ini mulai menarik perhatian khalayak ketika pada tahun 1905, kedua orang anggotanya, Christabel Pankhurst dan Annie Kenney dijebloskan ke penjara. Sebelumnya mereka diusir dari sebuah kampanye pemilu setelah menuntut hak untuk memilih.
Mereka ditahan atas tuduhan penyerangan karena seorang polisi mengaku telah diludahi. Mereka pun didenda dan dimasukkan ke penjara setelah menolak membayar denda. Kasus ini mengejutkan masyarakat dan motif perjuangan mereka mulai diperhatikan.
Antara tahun 1908 hingga 1909, Emmeline tiga kali masuk penjara. Lalu pada 1910, ia dan sekelompok anggota WSPU mencoba masuk ke Rumah Parlemen untuk menemui Perdana Menteri Herbert Asquith guna menyampaikan protes atas dihentikannya RUU Konsiliasi yang sedianya akan mengakui hak pilih perempuan. Mereka dicegat masuk dan kerusuhan terjadi ketika para perempuan ini mencoba menembus garis batas polisi.
ADVERTISEMENT
Lebih dari 100 orang perempuan ditahan dengan tuduhan mengganggu ketertiban dan melakukan penyerangan. Sebaliknya, para demonstran perempuan menuduh polisi telah bertindak brutal. Peristiwa ini dikenal dengan nama Black Friday.
Sejak tahun 1912, Emmeline dan para pengikutnya kian sering menggunakan kekerasan dalam kampanye yang dilakukan. Mereka tidak segan-segan menghantam pecah kaca jendela, mengikat diri sendiri ke pagar, bahkan menyerang para politisi secara fisik.
Christabel Pankhurst banyak berperan dalam aksi-aksi ini. Ia mengkoordinasikan kegiatan dari Paris untuk menghindari penangkapan atas tuduhan berkomplot merongrong pemerintah.
Sementara Emmeline Pankhurst sendiri, berulangkali ditahan dan sempat melakukan aksi mogok makan. Selama tahun 1912 saja, ia masuk penjara sebanyak dua belas kali. Berdasarkan UU Narapidana 1913 atau yang pada saat itu disebut “UU Kucing dan Tikus”, tahanan yang mogok makan dapat dibebaskan agar dapat memulihkan diri, lalu dimasukkan kembali ke penjara sampai hukumannya berakhir.
ADVERTISEMENT
Memasuki tahun 1913, WSPU kian dikenal karena kenekatannya melakukan aksi-aksi kekerasan, termasuk merusak rumah dan harta benda pihak-pihak yang tidak menyetujui hak pilih bagi para perempuan, termasuk menyasar tempat penting seperti Katedral Westminster Abbey. Pada tahun inilah ia menyampaikan pidatonya yang paling terkenal, “Aku berdiri disini bukan sekedar sebagai prajurit yang meninggalkan medan pertempuran; aku berada disini, sebagai seseorang yang menuntut hukum di negaraku sendiri, yang tidak punya nilai sama sekali di masyarakat.”
Dengan pecahnya Perang Dunia I, Emmeline dan Christabel mengubah taktik kampanye. Pada tahun 1917, WSPU melakukan reformasi internal lalu mengganti nama organisasi mereka menjadi Partai Perempuan. Selama perang berlangsung, Emmeline menggalang mobilisasi perempuan sebagai tenaga kerja andalan di saat kaum laki-laki pergi ke medan pertempuran. Akhirnya, pada bulan Juni 1918, perempuan berusia diatas 30 tahun diperkenankan untuk memberikan suara mereka dalam pemilu di Inggris.
ADVERTISEMENT
Emmeline hidup di AS, Kanada, dan Bermuda selama beberapa tahun. Ia baru kembali ke Inggris pada tahun 1926. Tanggal 2 Juli 1928, tiga minggu setelah kematiannya, sebuah UU yang mengakui hak pilih seluruh perempuan berusia diatas 21 tahun, akhirnya diberlakukan.
2. Marie Curie (7 November 1867 – 4 Juli 1934)
Ilustrasi Marie dan Pierre Curie (Foto: Wikimedia Commons)
“Tidak ada hal dalam hidup ini yang perlu ditakuti; semuanya hanya perlu dipahami.”
Penemuan radium oleh Marie Curie membantu merevolusionalisasikan bidang pengobatan. Ia adalah perempuan pertama yang mendapatkan hadiah Nobel, orang pertama yang memenangkannya sebanyak dua kali, dan merupakan satu-satunya perempuan yang meraih Nobel dalam dua kategori yang berbeda.
Marie Curie, memiliki nama asli Marya Sklodowska. Ia lahir di Warsawa, Polandia sebagai anak bungsu dari lima bersaudara serta berasal dari keluarga guru. Karena krisis di Polandia, ia jatuh miskin dan harus hidup hemat. Yang lebih menyedihkan lagi, ia harus sembunyi-sembunyi untuk belajar karena pada masa itu, perempuan tidak boleh masuk universitas.
ADVERTISEMENT
Marya terlibat pergaulan dengan sekelompok pemuda yang mengatur sendiri pendidikan mereka. Organisasi ini disebut dengan Floating University. Ia merasa tidak puas dengan pola pendidikan yang serba ala kadarnya sehingga pada tahun 1891, Marya melanjutkan studinya tentang Fisika dan Matematika di Universitas Sorbonne, Paris. Ia lantas merubah namanya ke dalam versi Perancis, Marie, dan tinggal bersama saudaranya, Bronya, yang sedang menempuh ilmu kedokteran.
Pada tahun 1894, ia merasa memerlukan sebuah laboratorium untuk melakukan riset yang ia perlukan. Disinilah ia bertemu dengan Pierre Curie.
Marie dan Pierre lalu memutuskan untuk menikah dan ini merupakan awal kerjasama ilmiah yang luar biasa. Mereka terlibat dalam sejumlah proyek riset hingga bertahun-tahun sehingga akhirnya menemukan fenomena radioaktif baru.
ADVERTISEMENT
Pasangan Curie melakukan penelitian atas suatu substansi campuran antara ekstraksi uranium dan thorium. Mereka terkejut ketika mendapati bahwa substansi itu ternyata lebih bersifat radiokatif dilihat dari kandungan uranium dan thorium. Tak lama kemudian mereka menemukan elemen-elemen lain, yakni radium dan polonium (mengambil nama kampung halaman Marie).
Makalah dan karya ilmiah terus mengalir dari pasangan Curie tentang penemuan-penemuan mereka. Bukan saja tentang elemen-elemen baru, namun juga tentang dampak radiasi terhadap sel. Salah satu temuan mereka yang sangat penting adalah bahwa sel kanker menjadi penyakit yang lebih mudah hancur oleh radiasi daripada sel-sel yang masih sehat. Inilah fondasi awal penerapan teknologi radioterapi dalam metode penyembuhan penyakit kanker.
November 1903, Royal Society of London menganugerahkan Medali Davy kepada pasangan Curie. Bulan berikutnya mereka memenangkan hadiah Nobel Fisika atas penemuan mereka.
ADVERTISEMENT
Pierre Curie segera dinobatkan menjadi Direktur Riset dan Guru Besar Fisika di Universitas Paris dan terpilih menjadi anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Perancis yang sangat bergengsi.
Tahun 1906, Pierre tewas mendadak setelah tertabrak kereta kuda yang penuh muatan. Marie, kemudian menggantikan posisinya sebagai Guru Besar Fisika dan menjadi perempuan pertama yang berhasil menduduki jabatan tersebut.
Tahun 1908, Marie memberikan kuliah perdana dan saat itu menjadi jurusan satu-satunya di dunia tentang radioaktivitas.Ia pun menerbitkan salah satu karyanya yang paling terkenal, Traité de Radioactivité pada tahun 1910.
Marie terus melakukan penelitian dan pada tahun 1911 memenangkan hadiah Nobelnya yang kedua, kali ini untuk bidang kimia atas karyanya mengisolasi radium dan mempelajari sifat-sifat kimianya. Pada tahun 1914, ia mendirikan Institut Radium di Paris.
ADVERTISEMENT
Marie menyadari bahwa sinar-X dapat membantu memperlihatkan benda-benda asing dalam tubuh manusia dan memudahkan pembedahan. Oleh karena itu, selama Perang Dunia I, ia membuat sejumlah mobil ambulans untuk memudahkan pengobatan bagi prajurit yang terluka. Untuk memperoleh dana bantuan bagi para prajurit di medan perang, ia rela menjual medali emas hadiah Nobel miliknya dan milik almarhum suaminya.
Marie adalah sosok yang pendiam, kikuk jika diwawancara, dan enggan berpidato. Namun pada tahun 1921, ia bersedia berpidato di sejumlah pertemuan saat berkunjung ke Amerika. Tahun 1933, Marie membela kemajuan ilmiah terhadap beberapa kritik yang mencemaskan bahaya radioaktif yang berpotensi menghancurkan kemanusiaan.
Pada 4 Juli 1934, Marie Curie wafat dalam usia 67 tahun akibat penyakit leukimia yang kemungkinan ia derita karena terlalu sering terkena paparan radioaktif tingkat tinggi selama menjalani risetnya.
ADVERTISEMENT
3. Helen Keller (27 Juni 1880 – 1 Juni 1968)
Helen Keller (Foto: Perkins School for the Blind)
“Semangatnya akan terus berlanjut selama orang masih bisa membaca kisahnya, tentang seorang perempuan yang menunjukkan kepada dunia bahwa tak ada batasan untuk keberanian dan keyakinan.” (Senator Lister Hill, Alabama)
Helen Keller menjadi buta dan tuli pada usia 19 bulan. Anak yang tabah dan selalu ingin tahu ini, belajar berkomunikasi dengan jari-jari tangan, membaca huruf Braille, dan berusaha bicara keras-keras. Ia berjuang sedemikian rupa sehingga akhirnya mampu lulus sarjana dari sebuah perguruan tinggi terkemuka di Amerika Serikat. Sepanjang hidupnya, ia berusaha berkampanye guna memperbaiki fasilitas umum untuk para penyandang tuna netra dan tuna rungu.
ADVERTISEMENT
Anne Sullivan, guru Helen, juga mengalami trakhoma saat masih anak-anak, dan mengalami kebutaan total pada tahun 1935. Anne mulai menangani pendidikan Helen pada tahun 1887 dan inilah awal dari cerita persahabatan yang panjang diantara keduanya.
Helen Keller dan Anne Sullivan (Foto: Perkins School for the Blind)
Pada tahun 1893, Helen sudah mampu membaca huruf Braille dalam Bahasa Inggris, Perancis, Jerman, Yunani, dan Latin. Tahun berikutnya, bersama Anne ia mengunjungi sekolah tunarungu Wright Humason School for the Deaf dan tinggal disana selama dua tahun.
Selanjutnya pada tahun 1896, Helen mendaftarkan diri ke Cambridge School for Young Ladies serta belajar berbagai mata pelajaran termasuk Sejarah Inggris, Sastra Inggris, Bahasa Jerman, dan Latin. Meskipun dihadapkan pada keterbatasan versi Braille untuk berbagai buku yang harus dibacanya, Helen berusaha mengikuti tes ke Radcliffe College, yang bernaung di bawah Universitas Harvard sejak tahun 1897.
ADVERTISEMENT
Akhirnya Helen diterima pada tahun 1900. Ia pun menyelesaikan studinya dengan predikat cum laude pada tahun 1904.
Setelah lulus, karyanya mulai diterbitkan, termasuk The Story of My Life, Optimism, dan The World I Live. Ia mengirimkan artikelnya ke sejumlah majalah dan berkampanye untuk kepentingan kaum tunanetra, tunarungu, dan kaum difabel. Upayanya menggalang dana dan dukungan publik untuk berbagai organisasi yang membantu kaum tunanetra dan tunarungu, dilakukannya tanpa kenal lelah. Helen tak keberatan untuk berkeliling AS memberikan ceramah. Pada tahun 1924, ia membentuk Helen Keller Endowment Fund.
Tahun 1932, huruf Braille secara resmi diterima sebagai huruf standar bagi kaum tunanetra di seluruh dunia dan tahun 1935 US Sosial Security Act memberikan tunjangan pengangguran, tunjangan pensiun, dan bantuan cuma-cuma untuk anak-anak dan kaum difabel.
ADVERTISEMENT
Tahun 1936 adalah tahun yang buruk bagi Helen Keller karena sahabat sekaligus gurunya, Anne Sullivan, wafat. Kepergiannya diratapi Helen karena mereka berdua telah bekerjasama selama hampir 50 tahun.
Tahun 1946, Helen kembali berkampanye ke luar negeri mewakili American Foundation for Overseas Blind dan berkeliling ke 35 negara di lima benua. Kampanyenya di berbagai belahan dunia diapresiasi oleh sejumlah negara seperti Brazil, Jepang, dan Filipina.
Tahun 1961, Helen menghabiskan waktunya bersama keluarga serta teman-temannya di Connecticut dan ia dianugerahi Presidential Medal of Freedom dari Presiden Lyndon B. Johnson pada tahun 1964.
4. Eleanor Roosevelt (11 Oktober 1884 – 7 November 1962)
Eleanor Roosevelt (Foto: Wikimedia Commons)
“Sepanjang waktu, dari hari ke hari, kita harus terus berjuang bagi kebebasan beragama, kebebasan berbicara, dan kebebasan dari berbagai kebutuhan – semua hal ini sama pentingnya di masa perang maupun di masa damai.”
ADVERTISEMENT
Eleanor Roosevelt adalah istri Presiden Amerika Serikat, Franklin D. Roosevelt. Ia merupakan penasihat politik sekaligus pejuang hak-hak asasi manusia. Eleanor adalah pemanah yang mahir dan merupakan salah satu perempuan pertama yang ikut ambil bagian dalam kegiatan berburu menggunakan panah. Sebuah survei yang dilakukan Gallup menyatakan bahwa Eleanor adalah perempuan yang paling dikagumi di dunia.
Eleanor mulai aktif di bidang politik saat suaminya, Franklin D. Roosevelt merebut satu kursi senat untuk negara bagian New York. Franklin kemudian diangkat sebagai Asisten Sekretaris Jenderal Angkatan Laut tahun 1913.
Tahun 1918 ia disibukkan dengan kampanye terkait penghapusan buruh anak-anak, penetapan standar upah minimum, dan memperjuangkan UU yang lebih melindungi keselamatan para pekerja. Tahun 1920, Eleanor mendukung kampanye Franklin sebagai calon wakil presiden.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1921, suaminya terserang kelumpuhan kaki akibat penyakit polio. Namun, Eleanor justru kian aktif berpolitik dan berkeliling ke penjuru AS untuk melaksanakan misi pencari fakta bagi kepentingan Franklin.
Tahun 1932, Franklin berhasil terpilih sebagai Presiden AS. Sepanjang masa kampanye, Eleanor rajin membantu suami dalam berbagai kegiatan sosial dan politik. Bahkan setelah menjadi ibu negara, ia tetap aktif mengadakan jamuan resmi, memberikan ceramah, siaran radio, dan menulis artikel di surat kabar.
Eleanor merupakan sosok yang anti rasis dan menentang hukum internment (pengucilan dalam kamp-kamp tahanan) bagi warga Amerika keturunan Jepang selama berlangsungnya Perang Dunia II. Ia memperjuangkan persamaan hak untuk kaum perempuan dan merupakan istri Presiden AS pertama yang mengadakan konferensi pers khusus untuk jurnalis perempuan.
ADVERTISEMENT
Setelah Franklin wafat pada tahun 1945, ternyata pendapatnya tetap diminta. Pada tahun 1946, Eleanor didaulat menjadi Ketua Komisi HAM PBB yang baru terbentuk. Ia pun aktif merancang Universal Declaration of Human Rights (UDHR). Eleanor juga membangun kelompok pendukung yaitu Americans for Democratic Action yang berfokus pada masalah domestik seperti reformasi sosial, berusaha mambendung pengaruh Rusia, dan mencegah meluasnya Perang Dingin.
Tahun 1952, Eleanor sempat mengundurkan diri dari PBB untuk mendukung kampanye Adlai Stevens sebagai Presiden. Lalu tahun 1961, Presiden John F. Kennedy mengangkat kembali Eleanor sebagai perwakilan AS di PBB guna mengetuai Komisi Status Perempuan. Pada tahun terakhirnya, ia masih memimpin Commission of Inquiry into Administration of Justice in the Freedom Struggle, yang bertugas memantau dan melaporkan kemajuan gerakan hak-hak sipil.
ADVERTISEMENT