Perempuan-Perempuan yang Berpengaruh (Bagian III)

Manik Sukoco
Senang membaca. Sesekali menulis.
Konten dari Pengguna
24 Desember 2017 8:49 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Manik Sukoco tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tulisan ini adalah bagian ketiga dari rangkaian tulisan yang mengulas mengenai peranan beberapa sosok feminis yang berpengaruh di berbagai bidang.
ADVERTISEMENT
1. Amelia Earhart (24 Juli 1897 – 2 Juli 1937)
Amelia Earhart. (Foto: Wikimedia Commons)
“Perempuan harus mencoba melakukan hal-hal yang telah dilakukan laki-laki. Kalau pun ia gagal, kegagalan itu akan menjadi tantangan bagi perempuan yang lain.”
Amelia Earhart adalah perempuan pertama yang melintasi Atlantik dengan pesawat terbang dan merupakan pilot perempuan pertama yang melakukan penerbangan solo trans-Atlantik dan trans-Pasifik. Ia merupakan pionir sekaligus pahlawan penerbang perempuan berkebangsaan Amerika.
Amelia dibesarkan dalam keluarga yang dihimpit masalah keuangan. Ayahnya, Edwin Earhart adalah pemabuk yang tidak bisa bertahan lama di satu pekerjaan. Amelia dan Muriel (saudara perempuannya), terpaksa hidup dengan kakek-neneknya selama 12 tahun.
Di sekolah, Amelia adalah murid yang pintar namun sering bermasalah dengan otoritas karena watak pemberontaknya. Ia suka melakukan hal-hal yang biasanya dilakukan oleh anak lelaki, sesuatu yang tidak lazim pada zamannya.
ADVERTISEMENT
Selama Perang Dunia I, Amelia dan Muriel pergi ke Toronto dan bekerja sebagai asisten perawat yang mengobati para serdadu yang terluka. Seusai perang, ia mulai belajar ilmu kedokteran di California, namun berhenti di tengah jalan karena ketertarikannya pada dunia penerbangan.
Desember 1920, saat ia berusia 23 tahun, Amelia naik pesawat terbang untuk pertama kalinya sebagai penumpang. Ia berkata, “Begitu saya ada di ketinggian dua ratus atau tiga ratus kaki, saya tahu bahwa saya harus terbang.”
Amelia kemudian belajar pada sekolah penerbangan di California dan “memaksa” untuk diajari oleh instruktur perempuan. Neta Hook memberinya pelajaran pertama pada Januari 1921. Pada tahun yang sama, Amelia telah menabung cukup uang untuk membeli pesawat terbang sendiri. Ia pun memutuskan untuk membeli pesawat Kinner Airstar dengan dua tempat duduk. Pesawat itu dicat kuning cerah dan Amelia menamainya Canary.
ADVERTISEMENT
Tahun 1924, Amelia pindah ke Boston dimana ia mulai mengerjakan pekerjaan sosial namun terbang tetap merupakan panggilan hidupnya. Pada akhir tahun 1920-an, dunia penerbangan sedang maju pesat sehingga selalu menarik perhatian media. Tanggal 20 Mei 1927, Charles Lindbergh melakukan penerbangan solo non-stop melintasi Samudera Atlantik dan mendarat di Paris.
Amy Guest, salah satu orang berada di Amerika, menawarkan diri untuk mensponsori penerbangan trans-Atlantik oleh perempuan. Ia menghubungi George P. Putnam, seorang tokoh media, untuk mencarikan calon yang tepat. Saat itu, Amelia baru dikenal sebagai pilot amatir. George memintanya bergabung dengan Wilmer Stultz dan Louis Gordon guna melakukan penerbangan trans-Atlantik.
Pada 17 Juni 1928, tim ini berangkat dari Newfoundland dengan Fokker F7 menuju Kepulauan Britania. Mereka mendarat di Burry Port, Wales setelah melakukan penerbangan non-stop selama 21 jam. Perjalanan ini meraih perhatian publik sehingga mereka disambut dengan meriah saat kembali. Walau Amelia tidak mengemudikan pesawat tersebut, tetapi ia tetap merupakan perempuan pertama yang berhasil terbang melintasi Atlantik. Amelia dan George yang tampaknya memiliki ketertarikan yang sama pada petualangan, akhirnya menikah pada tahun 1931.
ADVERTISEMENT
Pada 20 Mei 1932, Amelia lepas landas dari Newfoundland untuk melakukan penerbangan solo melintasi Atlantik. Meniru penerbang sebelumnya, Lindbergh, ia langsung menuju Paris. Amelia berhasil melintasi Samudera Atlantik, tetapi cuaca dingin dan masalah mesin memaksanya mendarat di Irlandia. Upaya ini kian melambungkan namanya. Pada tahun 1935, ia menjadi orang pertama yang melakukan penerbangan solo melintasi Pasifik. Amelia melakukannya dua kali; pertama dari Honolulu ke California, lalu kedua dari Mexico City ke Newark.
Sebelum Amelia melakukan berbagai penerbangan solo, dunia penerbangan semula dianggap sebagai dunia pria. Apa yang ia lakukan adalah pencapaian baru bagi kaum perempuan. Ia pernah berkata, “Sekarang perempuan harus melakukan sendiri apa yang dilakukan laki-laki, atau bahkan melakukan apa yang belum pernah dilakukan laki-laki, guna mengukuhkan dirinya sebagai manusia.”
ADVERTISEMENT
Terbang mengelilingi dunia adalah tantangan bagi Amelia. Pada 1 Juni 1937, ia lepas landas dari Miami bersama ko-pilot yang bernama Fred Noonan. Perjalanan ini menempuh jarak 46.000 km.
Setelah beberapa kali berhenti di Amerika Selatan, Afrika, India, dan Asia, pada tanggal 2 Juli mereka melintasi bagian akhir penerbangan trans-Pasifik sejauh 11.000 km. Perjalanan mereka hampir berhasil ketika keduanya mengalami kebingungan tentang lokasi mereka, walau pada saat itu cuaca sedang tidak begitu buruk. Pesawat mereka lalu hilang kontak dan diduga jatuh ke laut.
Usaha pencarian dan penyelamatan dilakukan selama 16 hari, melibatkan 4.000 orang dari angkatan laut dan dinas penjaga pantai, namun jejak pesawat Amelia tak pernah ditemukan.
Tampaknya Amelia dan Noonan kehilangan arah, kehabisan bahan bakar, dan hilang pada sebuah titik di Samudera Pasifik. Tahun 2005, David Jourdan mencoba menggunakan peralatan sonar untuk menyisir wilayah dimana pesawat Amelia diperkirakan jatuh, namun misteri ini belum terungkap sampai dengan saat ini.
ADVERTISEMENT
2. Dorothy Hodgkin (12 Mei 1910 - 29 Juli 1994)
Dorothy Hodgkin di laboratoriumnya tahun 1964. (Foto: Encyclopedia Britannica)
“Ia akan dikenang sebagai ahli kimia yang hebat, pecinta sesama manusia yang toleran, lembut, dan tulus, serta pejuang perdamaian yang bersungguh-sungguh.”
Penelitian yang dilakukan Dorothy Hodgkin, pemenang Nobel perempuan pertama yang berkebangsaan Inggris, memungkinkan dilakukannya produksi massal antibiotik, insulin, dan vitamin B12. Setelah pensiun, ia terus aktif berkampanye untuk mendukung pelucutan senjata dan menggalang dukungan bagi negara-negara terbelakang.
Dorothy lahir di Kairo, Mesir sebagai anak sulung dari empat bersaudara. Ayahnya merupakan arkeolog dan ilmuwan yang bekerja untuk Kementerian Pendidikan. Ibunya adalah aktivis perdamaian yang mendukung gerakan anti-senjata.
Selama 4 tahun pertama, keluarga Dorothy hidup nyaman sebagai ekspatriat Inggris di negara asing. Namun, ketika Perang Dunia pecah, ibunya yang khawatir akan keselamatan putri-putrinya kemudian menitipkan mereka pada mertuanya. Ia sendiri kembali ke Mesir untuk mendampingi suami. Pengalaman tersebut mengajarkan Dorothy untuk hidup mandiri dan bertekad kuat.
ADVERTISEMENT
Pertengahan tahun 1920, orangtua Dorothy bermukim di Sudan. Sementara ia dan saudara-saudaranya bersekolah di Inggris. Ibunya mendorong minat Dorothy terhadap ilmu kimia dengan menghadiahinya dua kumpulan kuliah Sir William Bragg yang berjudul On the Nature of Things dan Old Trades and New Knowledge, yang menjelaskan bagaimana cara ilmuwan menggunakan sinar-X untuk mengeksplorasi atom dan molekul.
Dorothy lulus pada tahun 1927 dan memperoleh nilai terbaik untuk 6 mata pelajaran. Tahun berikutnya, ia diterima sebagai mahasiswi kimia di Somerville College, Oxford.
Dorothy yang kemudian belajar sendiri tentang ilmu kristal akhirnya mengikuti kuliah khusus tentang kristalogafi, sebuah metode penentuan struktur molekul. Jika sebuah struktur dapat diidentifikasi, maka cara untuk membuat versi sintetik dari suatu materi pun bisa ditemukan. Hal ini memungkinkan produksi massal atas zat kimia atau obat-obatan.
ADVERTISEMENT
Dorothy pun mulai meneliti struktur talium yang sangat beracun. Ia lulus pada tahun 1932 sebagai lulusan terbaik. Di tahun yang sama, Dorothy pindah ke Universitas Cambridge untuk memulai riset doktoralnya. Ia meneliti struktur protein dan steroid yang ia pelajari dengan menggunakan kristalografi sinar-X. Tahun 1933, Somerville College memberinya beasiswa riset selama setahun di Cambridge dan setahun lagi di Oxford.
Tugas pertamanya di Oxford adalah melakukan sesuatu yang dilarang saat ia berada di Cambridge, yakni mempelajari kristal tertentu dengan menganalisis strukturnya secara menyeluruh. Robert Robinson, salah satu rekannya yang melakukan riset di bidang kimia organik, memberinya sampel protein untuk difoto. Sampel tersebut adalah insulin.
Dorothy merupakan tenaga ahli dalam mengatasi subjek-subjek bermasalah. Tiga molekul yang menjadi fokusnya, insulin, penisilin, dan vitamin B12 adalah molekul yang sangat rumit. Tahun 1934, ia berhasil mengkristalkan dan memfoto molekul insulin. Ini adalah tahap penting dalam riset lanjutan yang terus ia geluti selama hampir 40 tahun.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1937, Dorothy meraih gelar PhD dari Cambridge dan menikah dengan Thomas Hodgkin. Rumah mereka terbuka bagi mahasiswa dan tamu serta selalu ramai dengan berbagai kegiatan.
Tahun 1942, Dorothy meneliti penisilin dan tiga tahun setelahnya ia berhasil mengidentifikasi struktur penisilin. Penemuan Dorothy membuka jalan bagi para ilmuwan lain untuk memodifikasi struktur penisilin dan menciptakan beragam antibiotik yang sesuai dengan jenis infeksi yang hendak diobati.
Selain sibuk meneliti, Dorothy juga menjadi dosen kimia dan anggota pengelola Somerville College. Ia pernah dilarang mengikuti sebuah konferensi ilmiah di Amerika Serikat pada tahun 1953 karena keanggotaannya dalam Science for Peace, sebuah kelompok yang memiliki hubungan dengan komunis.
Pada tahun 1956, Dorothy untuk pertama kalinya berhasil memfoto vitamin B12. Namun, diperlukan waktu 5 tahun lagi sebelum ia dapat mengidentifikasi struktur vitamin tersebut secara lengkap. Ia akhirnya mampu menyelesaikannya dengan bantuan Kenneth Trueblood, seorang kristalografer muda Amerika.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1964, Dorothy mendapatkan hadiah Nobel di bidang kimia. Ia diganjar Nobel atas kesungguhannya menggunakan teknik sinar-X dalam mengungkap struktur zat kimia yang penting.
Tahun 1967, Dorothy akhirnya berhasil menjelaskan molekul ketiga yang menjadi fokusnya, yaitu insulin. Hasil risetnya memberikan pemahaman tentang bagaimana insulin dapat mengurangi gelaja diabetes. Tiga tahun kemudian ia terpilih menjadi ketua dewan pengelola Universitas Bristol dan memegang jabatan ini sampai dengan pensiun pada tahun 1977.
Setelah pensiun, sepanjang tahun 1977 hingga 1989, ia aktif mendukung kampanye bagi perdamaian dunia. Ia pun ikut memperjuangkan bantuan untuk negara-negara berkembang. Ia terus mengkampanyekan sains sebagai alat untuk menjalin hubungan antar bangsa-bangsa, hingga wafat pada tahun 1994.
3. Rosa Parks (4 Februari 1913 – 25 Oktober 2005)
Rosa Parks duduk dalam sebuah bis yang melaju di kawasan Montgomery, Alabama, 1956. (Foto: Underwood Archives/Getty Images)
ADVERTISEMENT
“Perlakuan buruk terhadap kami tidak benar dan saya sudah muak dengan perlakuan ini.”
Rosa Parks, mengubah perjalanan sejarah Amerika Serikat ketika ia menolak memberikan kursi bus kepada seorang kulit putih dalam sebuah perjalanan rutin pada tahun 1955. Ia pun menjadi simbol perjuangan berbagai generasi kulit hitam Amerika.
Aksi Rosa Parks menandai dimulainya gerakan hak-hak sipil modern di Amerika Serikat. Pada 1 Desember 1955, Rosa yang bekerja sebagai penjahit di Montgomery, Alabama, menolak memberikan bangkunya di bus umum karena saat itu ia sangat lelah karena telah bekerja berat sepanjang hari dan muak dengan perlakuan yang diterimanya terkait implementasi hukum rasial yang memberlakukan pemisahan antara kulit putih dan kulit hitam di tempat umum.
ADVERTISEMENT
Akibat penolakan itu, Rosa ditahan dan didenda atas perilaku yang dianggap mengganggu. Tindakan pemberontakan pribadinya ternyata bukan saja menginspirasi para pecinta kebebasan, namun juga andil dalam menghapus segregasi sosial di Amerika Serikat.
Ayah Rosa adalah seorang tukang kayu dan ibunya adalah seorang guru. Kakek neneknya sempat menjadi budak. Ia tumbuh di masa yang sangat sulit bagi warga kulit hitam karena rasisme dipraktikkan secara vulgar di depan umum serta segregasi sosial masih diberlakukan dengan ketat.
Dalam sebuah wawancara, ia mengenang ketakutan yang selalu ia rasakan pada masa kanak-kanak, “Saat itu kami belum memiliki hak sipil apapun. Kami sekedar bertahan hidup dari hari ke hari. Ketika masih kecil, aku sering ketakutan pada malam-malam menjelang tidur karena mendengar derap kaki Ku Klux Klan yang menangkap dan membunuh orang kulit hitam. Saya selalu takut rumah kami akan mereka bakar.”
ADVERTISEMENT
Pada usia 11 tahun, Rosa masuk ke Montgomeru Industrial School for Girls, sekolah swasta liberal untuk anak-anak perempuan kulit hitam. Sekolah ini mengajarkan falsafah akan perlunya menghargai diri sendiri, prinsip yang mempengaruhi kehidupan Rosa selanjutnya. Ia selalu terdorong untuk mengoreksi kesalahan di masyarakat. Dalam otobiografinya yang terbit pada tahun 1993, Rosa mengatakan, “Sekolah mengajarkan bahwa saya adalah seseorang yang bermartabat dan punya kehormatan, dan saya tidak perlu rendah diri hanya karena saya berkulit hitam.”
Rosa meneruskan pendidikan ke Alabama State Teacher College namun harus berhenti di tengah jalan karena merawat neneknya yang sedang sakit. Ia menikah dengan Raymond Parks, anggota NAACP (National Association for the Advancement of Colored People). Pasangan ini bekerja keras untuk meningkatkan kualitas hidup warga Afrika-Amerika.
ADVERTISEMENT
Rosa ikut berkampanye membela kasus Scottsboro pada tahun 1931. Ini adalah kasus sembilan pemuda kulit hitam yang didakwa memperkosa perempuan kulit putih. Meskipun bukti menunjukkan mereka tidak bersalah, termasuk pengakuan dari seorang korban, para pemuda itu tetap dijatuhi hukuman mati. Perlu perjuangan panjang selama 20 tahun guna mengajukan banding dan kasasi hingga para pemuda tersebut akhirnya dibebaskan.
Dalam sebuah wawancara yang dilakukan setelah insiden bus dialami Rosa pada tahun 1955, ia ditanya apakah ia marah ketika diminta memberikan bangkunya hari itu. Ia menjawab, “Saya tidak ingat apakah saya marah, tetapi saya merasa terdorong untuk menggunakan kesempatan tersebut guna menunjukkan bahwa saya tidak ingin diperlakukan dengan perlakuan buruk yang sudah terlalu lama diderita oleh orang-orang kulit hitam. Namun, ketika saya ditahan, saya tidak membayangkan sedikit pun, akan seperti apa reaksi orang.”
ADVERTISEMENT
Reaksi orang ternyata sangat cepat. Hari berikutnya, Montgomery Improvement Association langsung dibentuk, dipimpin oleh Dr. Martin Luther King Jr. Mereka menyerukan boikot oleh seluruh warga kulit hitam terhadap bus-bus umum milik pemerintah kota Montgomery. Boikot berlangsung selama 382 hari, sehingga bus-bus terpaksa berhenti beroperasi selama berbulan-bulan. Keputusan Mahkamah Agung akhirnya menyudahi boikot. Rosa tetap didenda, namun segregasi rasial dalam transportasi umum akhirnya dihapuskan.
Gerakan hak-hak sipil yang dipicu oleh Rosa berpuncak pada pembunuhan terhadap Martin Luther King. Pembunuhan terhadap Martin Luther menimbulkan duka yang sangat mendalam bagi seluruh warga kulit hitam yang saat itu terlibat dalam serangkaian protes tanpa kekerasan.
Rosa tidak pernah mendukung kekerasan. Pada bulan Agustus 1994, ketika ia sudah berusia 80 tahun, Rosa diserang di rumahnya oleh seorang pemuda. Alih-alih mengutuk, ia justru bersimpati dan menyalahkan “kondisi negara yang memaksanya berbuat demikian.”
ADVERTISEMENT
Empat dekade setelah aksi boikot bus Rosa masih merasa tidak nyaman akan penghargaan yang diberikan orang kepadanya. Ia mengatakan pada tahun 1995, “Jalan kita masih panjang. Masih banyak rintangan dan tantangan yang harus kita hadapi. Keadaan masih jauh dari sempurna dan mungkin tidak akan pernah sempurna. Namun, selama kita melakukan yang terbaik untuk memperbaiki kondisi ini, orang banyak akan merasakan manfaatnya.”
Rosa wafat dengan tenang di rumahnya pada tanggal 25 Oktober 2005. Ia disemayamkan di Detroit dalam usia 92 tahun.
4. Margaret Thatcher (13 Oktober 1925 – 8 April 2013)
Margaret Thatcher, November 1976. (Foto: Hulton Archive/Getty Images)
“Dalam politik, jika Anda ingin sesuatu dikatakan, mintalah kepada seorang pria; jika Anda ingin sesuatu dikerjakan, mintalah kepada seorang perempuan.”
ADVERTISEMENT
Masa pemerintahan Margaret Tatcher sebagai perdana menteri perempuan pertama di Inggris, telah mengubah tatanan sosial dan ekonomi di negara itu. Wanita yang pernah dijuluki wanita besi (iron lady) ini dikenal akan ketegasan dan tekadnya. Ia pernah mengatakan, “Silakan berpaling kalau Anda mau. Ibu ini tak suka berpaling.”
Margaret lahir dalam keluarga pengusaha grosir yang berdikari dan makmur di Lincolnshire. Ayahnya, Alfred Roberts, aktif dalam politik lokal. Margaret kecil bersekolah di Grantham Girls’ School sebelum akhirnya masuk ke Universitas Oxford untuk belajar ilmu kimia. Ketika kuliah, Margaret menjadi ketua University Conservative Association. Ia adalah perempuan ketiga yang memegang posisi tersebut.
Sejak tahun 1947, Margaret bekerja sebagai peneliti di bidang kimia, sembari tetap melanjutkan aktivitas politiknya. Pada tahun 1950-1951, ia gagal terpilih sebagai calon Partai Konservatif untuk mewakili Dartford di Kent walau secara statistik ia berhasil meningkatkan perolehan suara bagi Partai Konservatif hingga 50%.
ADVERTISEMENT
Di tengah aktivitasnya di Partai Konservatif, ia bertemu dengan Denis Thatcher, seorang pengusaha dan kemudian menikah dengannya pada tahun 1951. Denis mendukung Margaret ketika ia melanjutkan studi untuk menjadi pengacara. Ia tetap kuliah walaupun saat itu sedang hamil. Pada tahun 1953, ia lulus sebagai pengacara dengan spesialisasi pajak. Setelah beberapa kali pindah daerah pemilihan, ia akhirnya terpilih menjadi anggota parlemen mewakili Distrik Finchley, London Utara pada April 1958.
Setelah menjabat menjadi menteri muda, Margaret menjadi menteri dalam kabinet Edward Heath pada tahun 1970. Selama pemerintahan konservatif pada tahun 1970-1974, Margaret menjabat sebagai Menteri Negara Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan. Pada periode 1974-1979, Margaret menjadi juru bicara bayangan dalam masalah lingkungan hidup dan keuangan. Pada masa inilah ia kerap menantang Heath untuk memperebutkan posisi ketua partai.
ADVERTISEMENT
Siapa menyangka ternyata Margaret menang dalam putaran pertama pemilihan. Dalam sisa masa sebagai oposisi, Margaret menyatukan partainya dalam menentang anggaran belanja pemerintah, mengecam kebijakan pembatasan serikat buruh, dan menekan imigrasi.
Pada pemilu tahun 1979, Partai Buruh mengalami era yang kurang menyenangkan karena banyak ketidakcocokan dengan serikat buruh. Partai Konservatif pun menang dengan didukung suara mayoritas. Sejak awal Margaret berpendapat bahwa Inggris memiliki pemerintahan yang terlalu gemuk dan warganya dibebani pajak yang terlalu tinggi. Ia menetapkan tujuan untuk menjadikan industri dan pelayanan publik lebih efisien dengan mengurangi subsidi, memprivatisasi industri milik negara, mengurangi kekuasaan serikat pekerja, menekan inflasi, dan mendorong kepemilikan rumah.
Margaret berhasil menurunkan inflasi dengan biaya yang sangat besar, pengangguran melonjak tiga kali lipat selama dua kali masa jabatannya yang pertama. Pada tahun 1981, terjadi resesi terburuk di Inggris sejak tahun 1930-an. Hal ini disusul dengan kerusuhan di pemukiman warga miskin. Serangkaian jajak pendapat menyatakan bahwa Margaret adalah menteri yang paling tidak populer sejak 1945.
ADVERTISEMENT
Invasi Argentina pada tahun 1982 ke Kepulauan Falkland yang dikuasai Inggris memberi kesempatan pada Margaret untuk menunjukkan ketegasannya dalam menangani masalah eksternal. Publik berbalik mendukungnya. Ia pun dipercaya untuk menjabat perdana menteri satu masa jabatan lagi.
Selanjutnya Margaret berhasil memenangkan negoisasi untuk mendapatkan annual rebate dari Uni Eropa sebesar £2 Miliar pada tahun 1984 dimana Inggris terus memetik keuntungan dari perjanjian tersebut. Sekalipun demikian, ia banyak dikritik atas kegagalannya mengatasi tuntutan para pekerja tambang yang berujung pada pemogokan berlarut-larut pada tahun 1984-1985. Pemerintah akhirnya mengalah demi mencegah kelangkaan batu bara.
Bidang kesenian dan pendidikan juga terpukul akibat kebijakan pengurangan anggaran yang dilakukan Margaret. Sebagai bentuk protes, Universitas Oxford dua kali menolak menganugerahi Margaret gelar doktor kehormatan yang lazim diberikan kepada seorang perdana menteri.
ADVERTISEMENT
Walau Margaret merupakan penentang komunisme, ia menghormati pemimpin Uni Soviet, Mikhail Gorbachev, yang digambarkannya sebagai “orang yang bisa diajak bekerjasama”. Ia juga bersahabat dengan Ronald Reagan karena karakternya yang humoris dan ramah. Margaret memastikan komitmen Inggris terhadap NATO dan mendukung pentingnya pembatasan nuklir. Anehnya julukan iron lady yang sebetulnya merupakan olok-olok pers Uni Sovyet, malah membuatnya senang dan akhirnya identik dengan namanya.
Tahun 1989, Margaret mengeluarkan kebijakan pajak yang sangat tidak populer dan bertikai dengan sesama tokoh konservatif. Akibatnya, ia didesak untuk turun dari jabatannya sebagai perdana menteri. Kegagalannya dalam memenangi Pemilu pada putaran pertama, membuat Margaret terkejut, dan ia pun memutuskan untuk mengundurkan diri.
Di masa pensiun, Margaret tetap aktif, termasuk mendirikan Thatcher Foundation yang mengkampanyekan kebebasan berusaha dan demokrasi di seluruh dunia. Ia berhasil membuktikan bahwa kaum perempuan bisa menduduki posisi puncak dalam sistem politik Inggris dan bertahan. Sebuah pencapaian yang jarang bisa disamai oleh para penerusnya, yang semuanya laki-laki.
ADVERTISEMENT