Perempuan-Perempuan yang Berpengaruh (Bagian I)

Manik Sukoco
Senang membaca. Sesekali menulis.
Konten dari Pengguna
23 Desember 2017 0:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Manik Sukoco tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perjuangan kaum perempuan untuk membuat suara mereka didengar telah melintasi periode waktu yang panjang, melawan batasan masyarakat, dan asumsi tradisional tentang peran perempuan. Berikut adalah sebagian dari para perempuan yang mengubah wajah dunia, menerjang berbagai hambatan, dan memperjuangkan kesetaraan.
ADVERTISEMENT
1. Cleopatra (Januari 60 SM – Agustus 30 SM)
Ilustrasi Cleopatra (Foto: Wikimedia Commons)
“Kalau saja hidung Cleopatra agak pesek, seluruh wajah dunia akan berubah.” (Blaise Pascal)
Cleopatra adalah penguasa Mesir terakhir dari dinasti Ptolomeus yang bertahan membendung ekspansi kekuasaan Romawi yang terus meluas. Namanya selalu dikaitkan dengan nama dua orang pemimpin yang terkenal pada masanya, Julius Caesar dan Marcus Antonius. Hubungan mereka lebih diwarnai oleh pertimbangan politik strategis daripada hubungan percintaan biasa.
Kecantikannya diperdebatkan oleh beberapa kalangan. Mata uang kuno Mesir memperlihatkan bentuk hidungnya yang kaku, sehingga justru wajahnya tampak kasar seperti pria.
Kematiannya menandai berakhirnya suatu era yang penting dalam sejarah Mesir. Kisah hidupnya menjadi sumber inspirasi banyak naskah drama, termasuk karya terkenal Shakespeare yang berjudul Antony and Cleopatra serta The World Well karya Dreyden. Cleopatra bunuh diri sewaktu Augustus (Oktavianusus) naik takhta dan menyerang Mesir, dengan cara memasukkan tangannya sendiri ke dalam keranjang penuh ular berbisa (sejenis Cobra asal Afrika Utara).
ADVERTISEMENT
2. Ratu Elizabeth I (7 September 1533 – 24 Maret 1603)
Ilustrasi Ratu Elizabeth I (Foto: Wikimedia Commons)
“Saya sebenarnya telah menikah dengan seorang suami, namanya Kerajaan Inggris.”
Ratu Elizabeth I mengawali zaman kejayaan dan keemasan Kerajaan Inggris Raya yangditandai oleh kreativitas dan stabilitas. Ia dengan berani menegoisasikan peralihan kekuasaan yang sulit sebagai pemangku tahta kerajaan.
Selama berkuasa, Ratu Elizabeth mendapat berbagai julukan seperti Good Queen Bess (Ratu Bess yang baik), Virgin Queen (karena Elizabeth tidak pernah menikah), dan Gloriana (karena di masanya Inggris disegani sebagai kekuatan utama di Eropa, bahkan dunia).
Ratu Elizabeth I memerintah Inggris selama lebih dari setengah abad dan menyaksikan Inggris maju pesat di berbagai bidang termasuk politik, ekonomi, dan seni. Ia memerintah secara lebih moderat dibandingkan ayah dan saudara-saudaranya.
ADVERTISEMENT
Salah satu slogannya adalah "video et taceo" (saya melihat dan tidak mengatakan apa-apa). Ia toleran terhadap kepercayaan lain dan tidak melakukan penganiayaan atas dasar tersebut.
3. Mary Wollstonecraft (27 April 1759 – 10 September 1797)
Ilustrasi Mary Wollstonecraft (Foto: Wikimedia Commons)
“Kalau hak-hak pria yang abstrak itu memang ditopang diskusi dan penjelasan, maka hak-hak perempuan atas dasar logika yang sama juga harus dikedepankan. Sayangnya pendapat yang ada di negara ini tidak begitu.”
Mary Wollstonecraft adalah perintis pemikiran politik feminis yang secara berani menolak berbagai macam batasan dan nilai-nilai yang diterapkan bagi kaum perempuan dan cara hidupnya oleh masyarakat Inggris pada abad kedelapan belas.
Karyanya yang terkenal adalah Thoughts on the Education of Daughters dan A Vindication of the Rights of Women. Tulisan dan perilakunya menimbulkan amarah di masanya, namun ia diakui sebagai pionir salam perjuangan hak-hak perempuan.
ADVERTISEMENT
Dalam berbagai tulisannya, ia memaparkan metode perubahan praktis khususnya melalui pendidikan. Ia berpendapat bahwa agar dapat setara dengan laki-laki, kaum perempuan harus memiliki pendidikan yang sama baiknya.
4. Jane Austen (16 Desember 1775 – 18 Juli 1817)
Ilustrasi Jane Austen (Foto: Wikimedia Commons)
“Gadis muda itu punya bakat memaparkan keterlibatan berbagai perasaan dan karakter dalam kehidupan sehari-hari, yang menurut saya merupakan sesuatu yang paling mengesankan.” (Sir Walter Scoot)
Jane Austen meneguhkan novel Inggris sebagai media hiburan, hobi, dan potret sosial. Kisahnya pada umumnya menceritakan kehidupan kelas menengah Inggris di pedesaan, yang tidak tersentuh hiruk pikuk politik dan kekacauan yang melanda Eropa saat itu.
Pada usia dua puluhan, Jane menulis Pride and Prejudice (awalnya ditulis dengan judul First Impression, berfokus pada harapan, gairah, dan cinta para tokoh serta dampak yang ditimbulkan oleh penempatan sebuah barisan militer di sebuah kota kecil terhadap warga setempat), Sense and Sensibility (mengulas berbagai keterbatasan yang mengungkung kebebasan para perempuan romantis di masyarakat Inggris), dan Northanger Abbey (ironi simpatik tentang tokoh muda dari keluarga mapan yang selalu dipusingkan dengan urusan perjodohan dan pernikahan).
ADVERTISEMENT
5. Ratu Victoria (24 Mei 1819 – 22 Januari 1901)
Ilustrasi Ratu Victoria (Foto: Wikimedia Commons)
“Ia adalah bagian dari kemapanan – suatu bagian penting, atau bahkan elemen utamanya, menyerupai suatu almari yang tidak bisa dipindahkan dalam ruang kenegaraan yang sangat besar.” (Lyton Strachey)
Ratu Victoria identik dengan puncak kejayaan Kerajaan Inggris yang ditandai dengan kemajuan luar biasa di bidang ekonomi, sosial, dan teknologi yang menjadikan Inggris sebagai kekuatan global utama di dunia. Ia pun yang menentukan peran monarki konstitusional di suatu negara demokratis.
Ratu Victoria berhasil lolos dari delapan kali percobaan pembunuhan (semuanya dengan tembakan). Pangeran Albert berperan besar dalam meringankan hukuman bagi mereka yang mengancam keselamatan monarki dari hukuman mati. Bahkan kebanyakan pelaku utama pembunuhan dinyatakan gila sehingga hukumannya dipersingkat, dan tak ada seorang pun yang benar-benar dicambuk.
ADVERTISEMENT
Selama masa pemerintahannya yang panjang, wilayah Australia, Kanada, sebagian Afrika, dan Pasifik Selatan menjadi wilayah kekuasaan Inggris. Sebagian besar putra-putri dan cucu-cucu Victoria dan Albert menikah dengan anggota keluarga kerajaan-kerajaan lain di Eropa sehingga banyak keturunan mereka yang menduduki takhta kerajaan-kerajaan Eropa. Hal ini menyebabkan Victoria dijuluki "Nenek Raja-Raja Eropa".
Cucu-cucunya yang menduduki takhta kerajaan-kerajaan Eropa antara lain Kaisar Wilhelm II dari Jerman, Ratu Sophie dari Yunani, Raja George V dari Inggris, Ratu Maud dari Norwegia, Tsarina Alexandra Feodorovna dari Rusia, dan Ratu Marie dari Rumania. Hampir semua keluarga-keluarga kerajaan di Eropa saat ini merupakan keturunan Victoria atau besannya Raja Christian IX dari Denmark.
6. Florence Nightingale (12 Mei 1820 – 13 Agustus 1910)
Ilustrasi Florence Nightingale (Foto: Wikimedia Commons)
ADVERTISEMENT
“Demikianlah, dunia dibangun dari jenazah orang-orang yang mau mengorbankan diri guna menjadikan bakat istimewa mereka sebagai sesuatu yang biasa.”
Florence Nightingale merombak total praktik keperawatan di Inggris dan ikut membantu didirikannya berbagai institusi yang hingga saat ini masih mendidik para pekerja medis. Berkat intervensinya dalam manajemen dan perawatan para korban Perang Crimea, sosoknya menjadi sangat dihormati karena keberhasilannya memuliakan profesi perawat.
Florence memelihara 60 ekor kucing, termasuk 3 ekor kucing Persia yang masing-masing dinamai Bismarc, Disraeli, dan Gladstone. Semula keluarganya mengharapkan Florence untuk melakukan hal-hal yang sesuai dengan kedudukannya sebagai putri keluarga kaya, yakni menikah baik-baik lalu menjalani kehidupan konservatif. Namun, Florence justru menaruh minat pada masalah-masalah sosial, mencintai matematika, dan statistik.
ADVERTISEMENT
Pada pertengahan abad kesembilan belas, profesi perawat bukanlah profesi yang elitis, bahkan dipandang bagaikan buruh cuci, kasar, dan serampangan. Pada saat Perang Crimea pecah, ia diangkat sebagai pengawas pada sebuah rumah sakit wanita dan bersama 38 orang perawat berkeahlian khusus, berangkat ke RS Barrack di Turki. Perannya sangat besar dalam mengatasi wabah kolera dan tipus yang berjangkit luas di rumah sakit.
Florence juga dijuluki Lady with the Lamp, suatu panggilan romantis kepada Florence yang selalu membawa lampu setiap sore guna memeriksa keadaan para tentara yang dirawat. Kerja kerasnya bahkan menggerogoti kesehatan fisik dan emosinya. Ketika kembali ke London pada Agustus 1856, ia sudah menjadi seorang yang cacat.
ADVERTISEMENT
Dalam keadaan seperti itu, Florence masih menyusun bukti statistik tentang perbaikan kondisi sanitasi di semua RS militer sehingga pada tahun 1857, dilaksanakan suatu penyelidikan resmi atas permintaannya.
Tahun 1860, Florence mendirikan lembaga pendidikan di RS St. Thomas dan King’s College, London dengan uang Nightingale Fund yang merupakan sumbangan publik atas kerja kerasnya selama berada di Crimea. Pada 1883, ia dianugerahi medali kehormatan Royal Red Cross dan merupakan perempuan pertama yang menerima medali kehormatan Order of Merit pada tahun 1907.
7. Susan B. Anthony (15 Februari 1820 – 13 Maret 1906)
Ilustrasi Susan B. Anthony (Foto: Wikimedia Commons)
“Tidak akan ada persamaan kedudukan yang utuh sampai kaum perempuan sendiri ikut membuat hukum dan memilih para pembuat hukum.”
ADVERTISEMENT
Susan B. Anthony adalah penganjur penghapusan perbudakan sekaligus tokoh reformis pendidikan, aktivis perburuhan, pejuang hak-hak memilih untuk para perempuan. Bersama Elizabeth Cady Stanton, ia gigih memperjuangkan pemberian hak pilih bagi kaum perempuan di Amerika Serikat.
Susan melakukannya melalui penggalangan berbagai kelompok aktivis, penerbitan surat kabar, dan buku-buku khusus tentang pentingnya hak politik (termasuk hak pilih dalam Pemilu), serta berkeliling ke seluruh pelosok Amerika guna menyampaikan pidato dan ceramah.
Susan dididik sebagai guru dan dalam usia 26 tahun diangkat menjadi kepala departemen anak perempuan pada Akademi Canajoharie. Pada tahun 1852, ia bertemu Elizabeth Cady Stanton, seorang pemimpin gerakan hak perempuan, yang kemudian menjadi sahabat dan rekan seperjuangannya untuk membantu tercapainya Amandemen ke-13 yang secara resmi menghapuskan dan melarang perbudakan di Amerika Serikat; namun keduanya sangat terkejut dan marah ketika harapan tersebut tidak terkabul.
ADVERTISEMENT
Dari tahun 1856-1861, Susan bekerja sebagai agen Perkumpulan Anti-Perbudakan di New York dan sering berhadapan dengan cemoohan serta mendapat ancaman kekerasan setiap tampil di depan umum. Boneka yang mirip dirinya digantung, bahkan di Syracuse, gambarnya diseret-seret di jalanan.
Pada tahun 1860, Susan dan Elizabeth berhasil mengajukan petisi ke Dewan Legislatif New York tentang hak hukum kepemilikan bagi perempuan. Sepanjang 1868-1870, Susan dan Elizabeth menerbitkan koran mingguan, The Revolution, untuk menyuarakan desakan agar pekerja perempuan mendapatkan gaji yang sama dengan pekerja laki-laki. Namun, koran ini keburu bangkrut. Susan memberikan ceramah ke seluruh penjuru negeri selama 6 tahun guna menutup utangnya yang mencapai US$ 10.000.
Pada tahun 1870, Susan bersama dengan Elizabeth serta sejumlah rekannya menyusun buku History of Women’s Suffrage yang terdiri dari empat seri. Ia menggunakan hampir seluruh hartanya untuk membeli sebagian besar terbitan edisi pertama untuk dibagikan ke berbagai universitas dan membantu seorang penyusun biografi untuk menulis buku yang terdiri dari 3 volume tentang dirinya sendiri.
ADVERTISEMENT
Susan terus aktif hingga memasuki usia 80-an. Bahkan sebulan sebelum kematiannya, ia masih mengikuti Konvensi Hak Pilih Perempuan yang terakhir dan merayakan ulang tahunnya yang ke-86.
Ketika ia wafat, pada 13 Maret 1906, hak pilih perempuan sudah mulai diakui di 4 negara bagian AS, Selandia Baru, dan Australia. Tidak diragukan lagi, kerja kerasnya telah membuka jalan bagi pemberlakuan Amandemen ke-19 Konstitusi AS yang mengakui sepenuhnya hak pilih perempuan di AS pada tahun 1920.