Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Perlunya Menghentikan Penggunaan Energi Fosil
16 Agustus 2018 9:36 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
Tulisan dari Manik Sukoco tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menjadi permasalahan global bagi seluruh negara di dunia, baik bagi negara maju, maupun negara berkembang, sehingga dalam upaya penanganannya memerlukan kerja sama secara menyeluruh dan terpadu dari setiap negara di dunia.
ADVERTISEMENT
Isu lingkungan telah menjadi perhatian dan kekhawatiran masyarakat internasional saat Dewan Ekonomi Sosial PBB mengadakan peninjauan terhadap hasil-hasil gerakan Dasawarsa Pembangunan Dunia Pertama (1960-1970), untuk merumuskan strategi Dasawarsa Pembangunan Dunia Kedua (1970-1980).
Ledakan penduduk, integrasi yang tidak memadai antara teknologi yang amat kuat dengan keperluan lingkungan, kerusakan lahan budidaya, pembangunan tidak berencana dari kawasan perkotaan, menghilangnya ruang terbuka dan bahaya kepunahan yang terus bertambah mengenai banyak bentuk kehidupan satwa dan tumbuhan. Apabila proses ini berlangsung terus maka kehidupan yang akan datang di bumi ini akan terancam.
Nicholas Stern dalam laporan tahun 2006 telah menggambarkan berbagai dampak mengerikan dari perubahan iklim, mulai dari meningkatnya banjir dan kekeringan, krisis pangan, merebaknya malaria serta malnutrisi di berbagai belahan negara, naiknya permukaan air laut yang akan mengancam eksistensi pulau-pulau kecil dan beberapa kota besar di dunia (New York, London, dan Tokyo), kepunahan berbagai spesies, maupun kegagalan ekosistem.
Dampak Perubahan Iklim. (Foto: Stern Report 2006)
ADVERTISEMENT
Dalam menyikapi hal tersebut, berbagai konferensi, perjanjian, komitmen, dan kerja sama internasional di bidang lingkungan diselenggarakan seperti Declaration of the United Nations Conference on the Human Environment pada tahun 1972, United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) pada tahun 1992, Johannesburg Summit the World Summit on Sustainable Development pada tahun 2002.
UN Montreal Climate Change Conference pada tahun 2005, Bali Action Plan pada tahun 2007, Copenhagen Accord pada tahun 2009, Cancun Agreement pada tahun 2010, Durban Platform pada tahun 2011, Doha Platform pada tahun 2012, Warsaw Framework for REDD+ pada tahun 2013, Paris Agreement pada tahun 2015.
Marakesh Accord pada tahun 2016, serta perjanjian internasional lainnya sebagai tindak lanjut konferensi tersebut di atas seperti The Convention on Biological Diversity (CBD), United Nations Framework Convention on Climate Change.
ADVERTISEMENT
Indonesia bukan merupakan negara yang berdasarkan annex I Kyoto Protocol to the United Nation Framework Convention on Climate Change 1997 (Protokol Kyoto) yang memiliki kewajiban untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
Namun, sebagai negara yang dimungkinkan terkena dampak negatif perubahan iklim, Indonesia berkepentingan dalam menanggulangi dan mencegah dampak negatif dari pemanasan global melalui komitmen dari negara dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bagi warga negaranya.
Indonesia merupakan pengguna energi terbesar, yaitu lebih dari 36 persen penggunaan energi primer di Asia Tenggara. Antara tahun 2000 dan 2015, produk domestik bruto (PDB) Indonesia bertambah dua kali lipat dan kebutuhan listrik meningkat 150 persen.
ADVERTISEMENT
Pertumbuhan ekonomi mendorong kebutuhan energi Indonesia. Sehingga, diperkirakan perlu ada tambahan kapasitas pembangkit listrik 4.1 gigawatts (GW) per tahun sampai tahun 2030, di mana 50 di antaranya berasal dari PLTU Batubara yang kotor dan menjadi salah satu penyebab terjadinya polusi.
Polusi udara merupakan isu penting dalam dunia kesehatan yang akar permasalahannya terletak pada sektor energi. Sekitar 6.5 juta kematian setiap tahun diakibatkan karena rendahnya kualitas udara, membuat polusi menjadi ancaman terbesar keempat di dunia setelah tekanan darah tinggi, risiko diet, dan merokok. Tanpa merubah cara penggunaan dan produksi energi, maka angka kematian yang diakibatkan oleh polusi udara akan terus meningkat (IEA, 2016b ).
Seorang wanita menggunakan master sedang melintasi kawasan industri di Beijing. (Foto: REUTERS/Kim Kyung-Hoon)
ADVERTISEMENT
Produksi dan penggunaan energi sebagian besar belum diatur, dikelola dengan regulasi yang buruk, atau tidak efisien sehingga menjadi sumber polutan emisi udara. 85 persen partikel dan hampir semua sulfur oksida dan nitrogen oksida dihasilkan dari penggunaan energi.
Jutaan ton polutan ini dilepaskan ke atmosfer setiap tahun, baik secara langsung maupun bertransformasi menjadi polutan lain melalui reaksi kimia. Penyebab utama dari penyebaran polutan ini adalah:
ADVERTISEMENT
Pertumbuhan perekonomian dan kemajuan industri juga meningkatkan laju transportasi di kawasan urban. Akibatnya, sering sekali terjadi kemacetan di berbagai ruas jalan utama. Bukan hanya itu, berbagai aktivitas pertambangan, industri manufaktur, konstruksi, perdagangan, dan pariwisata juga berkontribusi pada semakin padatnya arus lalu lintas.
Akibatnya warga harus rela menghabiskan berjam-jam waktu mereka di jalanan yang macet. Jakarta bahkan menempati peringkat kedua di Asia dalam hal kemacetan. Kondisi ini juga menyebabkan berbagai dampak lingkungan dalam kaitannya dengan emisi karbon (INRIX, 2016).
Salah satu ironi yang jamak dijumpai di kota-kota besar adalah tabiat warga yang cenderung lebih memilih untuk menggunakan kendaraan pribadi daripada transportasi publik.
Ada banyak alasan yang membuat mereka tidak menyukai kendaraan umum, mulai dari keterbatasan rute, kondisi angkutan yang kurang baik, sampai dengan faktor gengsi. Faktor budaya ini membuat pengguna jumlah kendaraan pribadi terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
ADVERTISEMENT
Mobil misalnya, meningkat dari jumlah 10.432.259 pada tahun 2012, menjadi 11.484.514 pada tahun 2013, 12.599.038 pada tahun 2014, 13.480.973 pada tahun 2015, dan 14.580.666 pada tahun 2016 dengan angka pertumbuhan per tahun mencapai 8.73 persen.
Demikian pula dengan jumlah sepeda motor yang meningkat dari 76.381.183 pada tahun 2012, menjadi 84.732.652 pada tahun 2013, 92.976.240 pada tahun 2014, 98.881.267 pada tahun 2015, dan 105.150.082 pada tahun 2016. Angka pertumbuhannya mencapai 8.32 persen per tahun.
Jumlah mobil barang meningkat dari 5.286.061 pada tahun 2012, menjadi 5.615.494 pada tahun 2013, 6.235.136 pada tahun 2014, 6.611.028 pada tahun 2015, dan 7.063.433 pada tahun 2016 dengan angka pertumbuhan mencapai 7.52 persen per tahun.
ADVERTISEMENT
Sedangkan pertumbuhan jumlah bis termasuk paling kecil. Dari 2.273.821 pada tahun 2012, menjadi 2.286.309 pada tahun 2013, 2.398.846 pada tahun 2014, 2.420.917 pada tahun 2015, dan 2.486.898 pada tahun 2016.
Angka pertumbuhan kendaraan bermotor di Indonesia. (Foto: Statistik Transportasi Darat Tahun 2016, BPS)
Mengingat bahwa energi fosil merupakan energi kotor, efisiensi sangat penting dilakukan untuk menghemat energi, biaya, serta mengurangi emisi. Pelaksanaan kebijakan efisiensi energi mutakhir yang diterapkan secara efektif diperkirakan dapat mengurangi 2 persen penggunaan energi di tahun 2025.
Penguatan terhadap kebijakan yang ada saat ini dan rencana kebijakan yang belum dijalankan diperkirakan dapat mengurangi 4.5 persen penggunaan energi bila dibandingkan dengan skenario tanpa perubahan kebijakan (IEA, 2017 ).
ADVERTISEMENT
Efisiensi tersebut dapat dilakukan dengan berbagai jalan, antara lain: peralihan ke penggunaan lampu hemat energi jenis CFL dan LED, penggunaan teknologi pendingin ruangan yang lebih efisien, penghematan energi di sektor transportasi, serta penerapan tingkat efisiensi bahan bakar untuk kendaraan angkutan barang berat (heavy duty vehicle)—truk sedang dan besar (IEA, 2017 ).
Selain melakukan efisiensi energi, tiga hal yang dibutuhkan dalam proses penurunan emisi adalah: mempercepat transisi dan pengembangan energi baru terbarukan (EBT), meningkatkan produktivitas energi, agar sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, dan mempersempit gap antara negara-negara yang telah menerapkan energi bersih dengan negara yang mengalami keterbatasan dalam mendapatkan akses dasar (WRI, 29/5 ).
Aksi yang dapat dilakukan individu untuk mengurangi emisi
Walaupun sudah banyak publikasi yang mengulas tentang emisi gas rumah kaca, polusi udara, perubahan iklim beserta dampaknya, mayoritas masyarakat tampaknya belum mengetahui langkah-langkah apakah yang bisa dilakukan dalam upaya mengurangi emisi karbon.
ADVERTISEMENT
Berikut adalah skala prioritas mengenai aksi yang dapat dilakukan masyarakat. (Seth Wynes and Kimberly A Nicholas, 2017 ).
Langkah yang paling efektif untuk mengurangi emisi:
Langkah moderat dalam menekan emisi:
ADVERTISEMENT
Langkah minimal dalam menekan emisi:
Hal lain yang dapat dilakukan warga:
Target dan Harapan
Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 29 persen di bawah business as usual pada tahun 2030 dan 41 persen dengan bantuan internasional. Namun, sampai dengan tahun 2018, 62 persenn bauran energi listrik kita masih didominasi oleh penggunaan energi batubara yang kotor. Angka ini meningkat 6.4 persen dari proyeksi bauran energi dalam RUPTL tahun sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Sedangkan sampai dengan 2027, proyeksi bauran energi baru terbarukan hanya mencapai 23 persen dari total energi nasional. Angka ini hanya meningkat sebesar 0,6 persen dari proyeksi bauran energi dalam RUPTL tahun 2017-2026.
Mengingat risiko yang mengerikan dari perubahan iklim, harapannya pemerintah dapat menghentikan penggunaan energi fosil, melakukan konversi ke energi baru terbarukan (EBT), serta sesegera mungkin merealisasikan dan meningkatkan target penurunan emisi sebagaimana yang telah disepakati dalam Konvensi Paris.