Suap dan Gratifikasi

Manik Sukoco
Senang membaca. Sesekali menulis.
Konten dari Pengguna
26 Agustus 2017 0:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Manik Sukoco tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Suap dan Gratifikasi
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Foto: Fanny Kusumawardhani, Kumparan
Belakangan publik dikejutkan dengan penangkapan Dirjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Antonius Tonny Budiono, Rabu (23/8) malam. KPK menyita uang lebih dari Rp. 20 miliar dalam 33 tas. Nominal tersebut menjadi rekor barang bukti terbanyak sepanjang sejarah OTT KPK.
ADVERTISEMENT
Pemberitaan mengenai kasus ini cukup bervariasi. Sebagian mengatakan bahwa kasus Antonius Tonny Budiono merupakan kasus suap, sebagian lainnya mengatakan bahwa ini merupakan kasus gratifikasi. Apakah suap dan gratifikasi adalah tindak pidana yang sama ataukah berbeda? Untuk itu perlu diperjelas kembali apa itu suap dan apa itu gratifikasi.
Apakah suap itu?
Seseorang dikatakan menerima suap jika ia menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum (Pasal 3 UU No. 3 Tahun 1980).
Misalnya jika seseorang menerima sesuatu atau dijanjikan untuk menerima sesuatu supaya mendapat kemudahan ijin atau investasi, maka ini merupakan suap. Misalnya lagi, jika seseorang menerima suatu atau dijanjikan untuk menerima sesuatu supaya pihak-pihak tertentu dilarang perijinannya atau investasinya, maka ini pun merupakan kasus suap.
ADVERTISEMENT
Suap diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73), UU No. 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap, UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta diatur pula dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU Pemberantasan Tipikor).
Ancaman terhadap tindak pidana suap tidak main-main. Pelaku bisa dijerat dengan Pasal 11 UU Tipikor dengan ancaman hukuman penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp. 50 juta dan paling banyak Rp. 250 juta.
Perlu ada kehati-hatian bagi para pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji. Mengapa? Karena patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
ADVERTISEMENT
Lalu, apa itu gratifikasi?
Gratifikasi selama ini sering dianggap hanya berupa oleh-oleh, cinderamata, atau uang terima kasih dalam nilai kecil. Pemahaman tersebut nampaknya kurang tepat.
Gratifikasi sejatinya adalah segala bentuk pemberian, baik bernilai besar maupun bernilai kecil. Gratifikasi memiliki karakterisktik tidak transaksional, sehingga pemberi seolah-olah tidak menginginkan imbal balik apapun dari penerima, padahal pemberian tersebut diberikan karena melihat posisi ataupun jabatan penerima.
Sebagian ahli menyebut gratifikasi sebagai “investasi”, upaya mencari perhatian, bahkan “suap yang tertunda” kepada pejabat dengan tujuan dapat mempengaruhi kebijakan dalam jangka panjang.
Dalam keseharian bermasyarakat, terdapat beberapa situasi dimana lazim terjadi kegiatan saling memberi dan menerima hadiah. Misalnya pada saat perayaan hari raya, pernikahan, serta momen agama dan budaya lainnya.
ADVERTISEMENT
Para penyelenggara negara dan pegawai negeri diharapkan dapat memahami pemberian yang merupakan gratifikasi dan pemberian yang merupakan bagian dari aktivitas bermasyarakat. Salah satu indikator utamanya adalah adakah keterkaitan antara pemberian dengan jabatan penerima. Sebab jika tidak berhati-hati, penerimaan gratifikasi dapat dijerat pasal 12B UU Tipikor, yakni pidana penjara minimal empat tahun dan maksimal 20 tahun serta denda sebesar Rp. 200 juta hingga Rp. 1 miliar.
Di negara-negara maju, gratifikasi kepada kalangan birokrat dilarang keras dan kepada pelaku diberikan sanksi cukup berat, karena akan mempengaruhi pejabat birokrat dalam menjalankan tugas dan pengambilan keputusan yang dapat menimbulkan ketidakseimbangan dalam pelayanan publik. Bahkan di kalangan privat pun larangan juga diberikan, contoh pimpinan stasiun televisi swasta melarang dengan tegas reporter atau wartawannya menerima uang atau barang dalam bentuk apa pun dari siapapun dalam menjalankan tugas pemberitaan.
ADVERTISEMENT
Pemidanaan gratifikasi pernah terjadi pada Gayus H Tambunan, seorang pegawai di Dirjen Pajak Kementerian Keuangan. Pidana gratifikasi digunakan untuk memproses kekayaan yang tidak dapat dijelaskan asal-usulnya secara wajar bila dibandingkan dengan penghasilan yang sah.
Pegawai negeri sebaiknya menolak pemberian gratifikasi pada kali pertama dengan menjelaskan kepada pemberi bahwa dirinya tidak diperkenankan menerima hal tersebut. Namun jika dalam keadaan tidak dapat menolak, penerimaan tersebut wajib dilaporkan kepada KPK dalam jangka waktu maksimal 30 hari kerja.
Dengan demikian pidana penjara dan denda tidak lagi dapat menjerat penerima gratifikasi, karena dengan melaporkannya kepada KPK telah menggugurkan ancaman pidana tersebut. Selanjutnya KPK yang akan menentukan status gratifikasi tersebut menjadi milik negara atau milik penerima.
ADVERTISEMENT
Masih bingung tentang "hadiah" apa saja yang tergolong gratifikasi?
KPK pernah menerbitkan Buku Saku Memahami Gratifikasi yang menjelaskan secara cukup rinci mengenai hal ini. Contoh pemberian yang dapat digolongkan sebagai gratifikasi antara lain:
1. Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat pada saat hari raya keagamaan, oleh rekanan atau bawahannya;
2. Pemberian hadiah atau sumbangan pada saat perkawinan anak dari peja­bat oleh rekanan kantor pejabat tersebut;
3. Pemberian tiket perjalanan kepada pejabat atau keluarganya untuk keperluan pribadi secara cuma-cuma;
4. Pemberian potongan harga khusus bagi pejabat untuk pembe­lian barang dari rekanan;
5. Pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada pe­jabat;
6. Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadi lainnya dari rekanan;
ADVERTISEMENT
7. Pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat pada saat kun­jungan kerja;
8. Pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih kare­na telah dibantu;
9. Pembiayaan kunjungan kerja bagi lembaga legislatif;
10. Pemberian cinderamata bagi guru (PNS) setelah pembagian rapor/kelulusan;
11. Pemberian sejumlah uang atau fee 10-20 persen dari nilai proyek kepada pejabat;
12. Pemberian parsel ponsel canggih keluaran terbaru dari pengusaha ke pejabat;
13. Pembiayaan perjalanan wisata bagi bupati menjelang akhir jabatan;
14. Pemberian uang tambahan untuk pengurusan KTP/SIM/Paspor supaya bisa “dipercepat”;
15. Pembiayaan konferensi internasional bagi para pejabat yang terkadang jumlahnya tidak masuk akal;
16. Pembiayaan pembangunan tempat ibadah di kantor pemerintah (karena biasanya sudah tersedia anggaran untuk pembangunan tempat ibadah dimana anggaran tersebut harus dipergunakan sesuai dengan pos anggaran dan keperluan tambahan dana dapat menggunakan kotak amal);
ADVERTISEMENT
17. Penerimaan uang retribusi untuk masuk pelabuhan tanpa tiket yang dilakukan oleh Instansi Pelabuhan, Dinas Perhubungan, dan Dinas Pendapatan Daerah;
18. Penerimaan pungutan liar di jalan raya dan tidak disertai tanda bukti dengan tujuan sumbangan tidak jelas. Oknum yang terlibat bisa jadi dari petugas kepolisian (Polisi Lalu Lintas), retribusi (Dinas Pendapatan Daerah), LLAJR (Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya), dan masyarakat (preman).
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Karet, Jakarta Selatan (Foto: Marcia Audita)
zoom-in-whitePerbesar
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Karet, Jakarta Selatan (Foto: Marcia Audita)
Usaha KPK Memberantas Gratifikasi
Sejak tahun 2015, KPK telah melakukan kajian urgensi penyusunan peraturan pemerintah untuk mengurai gratifikasi dari beragam aspek yakni hukum pidana, budaya, keagamaan dan adat-istiadat masyarakat Indonesia. Kajian ini juga bertujuan meletakkan ketentuan tentang pengendalian gratifikasi secara terintegrasi dengan ketentuan disiplin pegawai seperti reward and punishment, sebagai salah satu perangkat dalam menjalankan reformasi birokrasi. Kajian ini disusun dengan pendekatan yuridis normatif melalui studi pustaka, wawancara ahli yang memiliki kualifikasi di beberapa bidang.
ADVERTISEMENT
Pertemuan dengan para pakar sebagai narasumber juga telah digelar, antara lain dengan pakar hukum pidana, hukum tata negara, ilmu perundang-undangan, hukum administrasi negara, filsafat hukum, antropologi hukum, budayawan dan pihak lain yang terkait. Dengan adanya peraturan pemerintah tentang gratifikasi ini, nantinya diharapkan agar pegawai negeri, penyelenggara negara, masyarakat, dan pelaku usaha dapat memahami dan menerapkan pengendalian gratifikasi di institusi masing-masing.
Kegiatan pengendalian gratifikasi tidak hanya dilakukan bagi para penyelenggara negara dan pegawai negeri, melainkan juga melibatkan pihak korporasi/swasta. Sebab, keterlibatan sektor swasta pada sejumlah kasus korupsi, seolah menggambarkan fenomena supply dan demand. Dua pihak yang melakukan korupsi tersebut berasal dari sektor publik dan sektor swasta. Faktanya, 24 persen pelaku korupsi yang ditindak oleh KPK pada 2015 berasal dari sektor swasta.
ADVERTISEMENT
Statistik tersebut diamini Global Corruption Barometer Survey tahun 2013 dan juga Global Corruption Barometer Research tahun 2016 yang menyebutkan bahwa dalam 4 tahun terakhir, 30-39.9 persen responden di Indonesia menyatakan pernah membayar suap terkait dengan pelayanan publik. Karenanya, pihak swasta juga harus dilibatkan dalam memberantas praktik gratifikasi.
Pada tahun 2017 ini, upaya untuk meningkatkan akuntabilitas lembaga publik harus ditingkatkan melalui berbagai sosialisasi terhadap masyarakat mengenai gratifikasi. Pemerintah melalui KPK dapat melakukan riset lebih lanjut untuk mengkaji model seperti apa, strategi seperti apa, struktur seperti apa, dan sistem seperti apa yang diperlukan oleh KPK untuk dapat secara efektif memberikan informasi yang jelas dan kredibel tentang gratifikasi pada masyarakat, termasuk tata cara penyerahannya. Dengan sosialisasi diharapkan berbagai pihak yang terkait dapat memberikan kontribusi secara positif dalam menciptakan transparansi sistem pemerintahan serta pelayanan publik yang lebih baik. Transparansi dan akuntabilitas kelembagaan inilah yang merupakan prasyarat utama untuk mewujudkan good corporate governance.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, pada KPK kita berharap dan melakukan apa yang kami bisa untuk bersama-sama melawan korupsi.