Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Partai Politik adalah Sumber Kegaduhan Politik Kita
22 Agustus 2024 18:34 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Muhammad Aqshadigrama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Polemik “cawe-cawe” membawa implikasi panjang, tidak hanya berhenti pada kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 yang berhasil mengubah aturan main pencalonan untuk maju sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Bahkan, dua bulan sebelum lengsernya Presiden Jokowi, politik cawe-cawe ternyata berlanjut ke gelaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024. Strategi untuk mengamankan posisi politik di Jakarta, dengan menggoyang Koalisi Perubahan serta menarik Nasdem, PKB, dan PKS untuk bergabung ke dalam koalisi pemerintah (KIM Plus), membuat Anies Baswedan tidak dapat maju di Pilkada Jakarta, karena ketidakcukupan kursi di DPRD. Dari partai-partai besar yang ada, hanya tersisa PDIP sendiri yang menolak bergabung dengan KIM Plus.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, nampaknya, politik cawe-cawe Jokowi di Pilkada Jakarta seperti kecolongan, pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Setidaknya ada dua putusan MK yang tengah menjadi sorotan. Pertama perihal pengubahan dengan menurunkan ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah, yang didasarkan pada jumlah penduduk dalam DPT. Artinya, konsekuensi ini dapat membawa Anies Baswedan berpelung kembali maju dalam Pilkada Jakarta yang berpotensi besar diusung oleh PDIP sendiri. Kedua, terkait keputusan usia minimal pencalonan untuk maju Pilkada Gubernur/Wakil Gubernur yang berusia paling rendah 30 tahun ketika ditetapkan KPU sebagai calon. Hal ini berarti membuat Kaesang (putra bungsu Jokowi) terjegal untuk maju di Pilkada Provinsi Jawa Tengah.
Dalam merespon putusan tersebut, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI tidak secara total mengikuti dua poin putusan MK tersebut. Alhasil, partai-partai yang ada di KIM Plus menyiasati dengan membentuk Panitia Kerja (Panja) untuk merevisi UU Pilkada di Baleg DPR RI. Kalau RUU Pilkada ini berhasil akan membawa angin segar bagi Kaesang untuk maju Pilkada 2024 dan menjegal Anies Baswedan untuk maju Pilkada di Jakarta.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, mengamati pertarungan kepentingan politik yang terjadi hari ini, hanya akan terlihat ada dua kepentingan besar, yaitu antara Kubu Jokowi dan PDIP. Namun kontestasi politik yang ada di “pusat” ini, akan membawa snowball effect pada potensi perubahan peta politik pilkada yang ada di masing-masing daerah di seluruh Indonesia.
Carut-marutnya realitas politik hari ini, mempertontonkan kepada publik bahwa lolosnya agenda-agenda politik Jokowi yang sejauh ini berjalan mulus, tidak lain, karena adanya dukungan dari para anggota DPR RI yang menjadi bagian dari kader-kader partai politik (parpol).
Partai Politik dan Praktik Politik Kartel
Fenomena politik di Jakarta, setidaknya menjadi cerminan untuk menunjukkan bahwa partai-partai politik di Indonesia terlihat sangat lemah sekali, terutama selama masa periode kedua pemerintahan Jokowi. Para elite politik yang terpilih di DPR banyak yang gagal berperan sebagai representasi masyarakat, dalam menjalankan amanat konstituennya. Nyaris tidak ada satupun elite partai di DPR yang berani mengakomodir kepentingan rakyat, ketika melihat adanya kebijakan pemerintah yang menindas, tidak adil, dan mendapat penolakan dari publik. Semua elite taat pada partai politiknya. Hal ini bisa disebabkan partai politik masih bergantung pada insentif pemerintah, sehingga membuat partai politik tidak memiliki power yang otonom. Perilaku semacam ini layaknya kartel, yaitu persekutuan partai politik yang memiliki kepentingan yang sama, bertujuan untuk membatasi persaingan politik dan menjamin keberhasilan pemilu dengan menggunakan sumber daya negara, demi menjaga kelangsungan hidup secara kolektif.
ADVERTISEMENT
Karakter dari politik kartel adalah partai-partai cenderung masuk ke dalam koalisi besar yang dihargai jatah kursi menteri, dihadiahi posisi di BUMN, atau pemberian konsesi-konsesi ekonomi. Alhasil, cengkraman kuat kartel yang terjadi selama ini, membuat partai politik tidak ada yang mandiri ataupun berani mau mandiri, sehingga membuat parpol selalu bergantung dengan penguasa, yang menguasai sumber daya politik dan ekonomi yang sangat besar. Dengan begitu, hal ini membuat partai menjadi sangat mudah diperalat untuk mengamankan kepentingan yang berkuasa, baik dalam menyusun regulasi maupun mengamankan kebijakan. Semua kebijakannya, termasuk penentuan personel, bisa dengan mudah diintervensi. Hal ini sangat berdampak negatif pada meritokrasi dan kultur demokrasi di partai.
Partai-partai sekarang lebih mencari aman dibanding bersaing. Kesempatan ini pun dimanfaatkan Jokowi, untuk semakin mencengkram pengaruh politiknya pada partai-partai koalisi, sehingga dirinya masih memiliki pengaruh politik yang kuat, meski sudah tidak lagi menjabat sebagai presiden. Pertama, Kaesang Pangarep yang dapat dengan mudah menjadi Ketua Umum PSI, meski baru dua hari sebagai anggota, dan saat ini tengah diupayakan untuk maju sebagai Calon Wakil Gubernur Jawa Tengah. Kedua, Jokowi mulai mengintervensi Golkar dengan berhasil melengserkan Airlangga sebagai ketua umum dan menggantinya dengan Bahlil. Terakhir, puncaknya adalah Jokowi sukses menempatkan Gibran menjadi Wakil Presiden terpilih.
ADVERTISEMENT
Momen Pilkada Serentak 2024 mejadi the last battleground bagi para parpol ini untuk semakin saling mengamankan posisinya di 2029 nanti. Dengan begitu, artinya semua partai politik harus all out and stand out, karena ini adalah pilkada serentak, sehingga tidak ada momen peluang lagi bagi partai politik untuk merebut kekuasaan sampai 2029. Ditambah lagi, situasi pilkada ini juga dilaksanakan berdekatan dengan pemilihan presiden, konsekuensinya adalah seluruh financial budgeting partai terkuras habis untuk dikerahkan pada pilpres, sehingga pilihan berkonsolidasi bersama dipandang lebih baik, terutama, apalagi bisa berkonsolidasi dengan kekuatan negara, yang sumber dayanya sangatlah besar, dalam hal ini adalah Presiden Jokowi. Konsolidasi di pusat lebih mudah dibanding di daerah. Para elite politik di level daerah tidak lebih dari sekadar membebek untuk mengikuti keputusan partai politik di pusat.
Kekecewaan Publik Diujung Masa Jabatan
Manuver politik dari para elite parpol di DPR inilah yang membuat instabilitas pada politik sekarang. Kebijakan MK yang merubah aturan main pada pilpres kemarin membuat kekecewaan publik sudah berada diujung anak panah, lalu ditambah lagi dengan akrobat politik semacam ini, amarah masyarakat sudah tidak lagi terbendung. Cara DPR dalam merespon putusan MK dengan ingin mempercepat pengesahan RUU Pilkada bisa berjalan lancar, sementara urusan yang menyangkut publik bisa sangat lambat terealisasi menunjukan bahwa ini semata hanya untuk kepentingan elite penguasa, bukan kepentingan publik.
ADVERTISEMENT
Sikap berpolitik yang ditunjukkan dari para elite parpol sangatlah pengecut dan pecundang, padahal sikap kesatrialah yang dibutuhkan dalam iklim berdemokrasi. Kalau memang KIM Plus yakin dan percaya diri dengan sosok yang diusung beserta dengan seluruh sumber dayanya, maka beranilah maju bertarung dan bersaing secara adil. Tidak perlu takut sampai merekayasa aturan main, sehingga tindakan politik ini menimbulkan konflik yang unnecessary atau tidak perlu.
Secara lebih ekstrem, momen Pilkada Jakarta bisa jadi ajang cek ombak, untuk mengukur peluang potensi penghapusan pilkada secara langsung oleh rakyat, menjadi tidak langsung oleh DPRD. Apabila RUU Pilkada diloloskan ini bisa menjadi gambaran kecil, bahwa parpol yang berembuk saja bisa mengusung pasangan, dengan dalil efisiensi, apalagi jika ditambah rakyat tidak melakukan perlawanan. Oleh sebab itu, setidaknya amarah masyarakat saat ini menunjukkan bahwa publik masih punya resistensi sebagai parlemen dan ruang sidang terakhir dalam mengawal jalannya eksekutif, bahkan legislatif dan yudikatif sekalipun. Aksi publik menunjukkan bahwa masih ada gerakan civil society yang konsisten menjunjung semangat demokrasi dan menjaga reformasi.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, partai politik punya peran sangat penting dan strategis terhadap banyak aspek di negara ini, termasuk menentukan hitam-putihnya DPR. Namun, di bawah bayang-bayang kartel politik seperti itu tidak banyak yang bisa diharapkan pada partai politik kita hari ini. Tanpa reformasi dari tubuh partai politik itu sendiri, DPR akhirnya akan jalan mundur, kembali seperti masa Orde Baru: menjadi tukang stempel pemerintah.