Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Rasialisme di Dunia Sepakbola
30 Desember 2020 7:06 WIB
Tulisan dari Marcellino Jhonanda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Rasisme atau rasialisme adalah suatu paham yang merasa ras diri sendiri merupakan ras yang paling tinggi daripada ras lainnya. Rasisme biasanya dikaitkan dengan paham diskriminasi suku, agama, ras, antar golongan (SARA) dan ciri-ciri fisik pada seseorang. Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), rasisme diartikan sebagai rasialisme. Dimana rasialisme adalah prasangka berdasarkan keturunan bangsa; perlakuan berat sebelah terhadap (suku) bangsa yang berbeda-beda.
ADVERTISEMENT
Rasisme dalam dunia sepakbola sangat sering terjadi baik di Indonesia maupun didunia. Misalnya pemain sepakbola berkulit hitam yang diteriaki “monyet”, dilempari kulit pisang atau disoraki ketika membawa bola oleh para supporter. Hal ini tentunya dapat mengganggu konsentrasi dan mental pemain, serta dapat mengganggu jalannya pertandingan dan merusak sportivitas dalam sepakbola.
Rasisme dalam sepakbola sering terjadi dalam sebuah pertandingan khususnya di Eropa karena disebabkan oleh banyak faktor seperti sejarah masa lalu, ego etnis dan adanya kesenjangan ekonomi antar dua Negara (Bambang, 2020).
Dalam sepakbola yang katanya menyatukan dunia, diskriminasi terhadap warna kulit justru kerap terjadi. Rasisme dalam dunia sepakbola tidak hanya terjadi dalam teriakan penonton di stadion atau liputan media massa, melainkan juga terjadi di media sosial. Seperti yang diungkapkan kapten Leicester City Wes Morgan yang dilansir Antara dari Reunters, Jumat (18/10/2019)
ADVERTISEMENT
Seperti yang terjadi terhadap penyerang Crystal Palace Wilfried Zaha, pemain asal Pantai Gading itu memiliki ketakutan saat membuka akun media sosialnya setelah mendapatkan perilaku rasisme.
ADVERTISEMENT
Selain Zaha masih banyak pemain sepakbola berkulit hitam lain yang mengalami hal serupa, seperti Raheem Sterling, Paul Pogba, Troy Deeney hingga Moise Kean. Bahkan seorang pemain akademi sepakbola inggris tingkat 9 Ipwich Wanderers juga merasakan hal yang sama.
Contoh kasus rasisme yang lain terjadi pada lanjutan pertandingan UEFA Champions League antara Paris Saint-Germain vs Istanbul Basaksehir (8/12). Pada pertandingan itu laga terpaksa harus dihentikan pada menit ke-14 karena diduga wasit keempat (Sebastian Coltescu) pada pertandingan itu melakukan tindakan rasial kepada asisten pelatih Istanbul (Pierre Webo) dengan menyebut Webo dengan kata “Negro”. Melihat hal tersebut para pemain Istanbul Basaksehir dan para pemain PSG enggan melanjutkan pertandingan sehingga laga harus ditunda sampai lusa (10/12) dimulai dari menit ke-14.
ADVERTISEMENT
Banyaknya perlakuan rasisme terhadap pemain sepakbola membuat beberapa klub dan pemain bintang ikut bersuara. Seperti Manchester United yang memprotes keras perilaku rasisme yang menimpa gelandang andalannya, Paul Pogba. Lalu, Raheem Sterling yang gencar mengkampanyekan untuk melawan rasisme. Di Indonesia sendiri ada Persipura Jayapura yang mengampanyekan “Stop Rasisme” setelah terjadi penyerangan asrama Mahasiswa Papua di Surabaya.
Federasi sepakbola dunia Federation Internationale de Football Association (FIFA) juga tak tinggal diam, mereka mulai mengkampanyekan slogan “Say no to Racism” pada tahun 2002 dan ttak ketinggalan Federasi sepakbola eropa Union of European Football Associations (UEFA) yang menggandeng Football Against Racism in Europe (FARE) satu tahun sebelumnya. Namun, kedua otoritas tertinggi sepakbola di dunia dan di eropa itu belum ada langkah yang benar-benar serius mengenai tindakan rasisme ini. seperti contoh ketidak seriusan FIFA ketika membubarkan gugus tugas anti-rasisme dan diskriminasi (Task Force Against Racism and Discrimination) yang padahal baru berusia 3 tahun.
ADVERTISEMENT
Dengan ini klub dan para pemain harus memanfaatkan loyalitas para penggemarnya dengan terus mengajak dan mengkampanyekan perlawanan terhadap tindakan rasisme. Raheem Sterling dan Marcus Rashford menjadi pemain yang paling sering menyuarakan perlawanan terhadap rasisme dengan ikut mengkritisi pemberitaan media yang dianggap rasis, berkampanye dan ikut serta dalam mengkampanyekan Black Lives Matter melalui media sosial.
Selain di dunia sepakbola rasisme sempat menjadi perbincangan banyak orang setelah kematian seorang warga kulit hitam Minneapolis George Floyd yang sempat terekam kamera saat mendapatkan tindakan berlebihan dari seorang polisi Derek Chauvin yang menekan lehernya dengan lutut hingga tewas kehabisan napas. Beragam slogan seperti “Justice for Floyd” hingga tagar #BlackLivesMatter berkumandang didunia maya dan dunia nyata.
ADVERTISEMENT
Setelah banyak perlakuaan rasisme dalam sepakbola, kini Federasi sepakbola dunia mulai menunjukkan taringnya terhadap pemain dan ofisial yang melakukan tindakan rasisme. FIFA menggandakan hukuman dua kali lipat menjadi larangan 10 pertandingan bagi oknum yang terbukti melakukan tindakan rasisme.