Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
KPBU Jadi Alternatif Solusi Pengembangan SDM di Bidang Kesehatan Mental
11 Oktober 2021 11:37 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari LPEM FEB UI tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
JAKARTA, 10 Oktober 2021. Isu kesehatan mental menjadi salah satu isu krusial yang perlu diperhatikan di tengah berlangsungnya pandemi COVID-19. Melambatnya roda perekonomian serta meningkatnya kondisi ketidakpastian memberikan dampak yang cukup signifikan pada kesehatan mental masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pada tanggal 10 Oktober, tiap tahunnya World Mental Health Day (WMHD) diperingati sebagai upaya peningkatan kesadaran akan masalah kesehatan mental dan untuk memobilisasi upaya dalam mendukung kesehatan mental di seluruh dunia. World Mental Health pada tahun ini mengangkat tema mengenai Mental Health in an Unequal World.
Menanggapi adanya WMHD 2021, Chairina Hanum Siregar, Peneliti dan Lead for Survei and Big Data on the Impact of COVID-19 LPEM FEB UI, mengatakan bahwa dari hasil survei LPEM FEB UI ditemukan bahwa selama pandemi ini sebanyak 39% orang khawatir mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) dan sebanyak 26% orang khawatir upahnya dikurangi.
“Pada tahun 2021 ini, rata-rata orang mengalami kekhawatiran dalam bentuk rasa cemas akan masa depan (seperti) dikurangi upahnya dan takut usaha rugi, berbeda dengan 2020 di mana orang-orang mengalami kecemasan akibat adanya social distancing dan takut tertular (virus COVID-19),” jelas Hanum.
ADVERTISEMENT
Menurut Hanum, sejauh ini perhatian pemerintah Indonesia sudah cukup baik pada isu kesehatan mental, terbukti dari Indonesia telah memiliki Undang-Undang Kesehatan Jiwa, yang di dalamnya juga mengatur mengenai kesehatan mental. Namun undang-undang tersebut masih membutuhkan peraturan-peraturan turunan.
“Petunjuk untuk terkait mental health dapat menjadi isu lagi (yang perlu diperhatikan pemerintah),” ujar Hanum.
Di samping itu, Hanum juga menambahkan bahwa anggaran kesehatan adalah 5 persen dari belanja negara dan anggaran kesehatan mental besarnya sekitar 1 persen dari anggaran kesehatan tersebut dirasa masih belum cukup untuk mengatasi permasalahan kesehatan mental yang ada di Indonesia.
“Dari sisi SDM-nya sendiri pada tahun 2020, Indonesia hanya memiliki kurang dari 1,000 psikiater, 2,000 psikolog klinis terdaftar, dan kurang dari 7,000 perawat jiwa komunitas, padahal data dari Riskesdas menunjukkan bahwa dari 1000 rumah tangga, 7 di antaranya terdapat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Apakah (anggaran) itu cukup?,” tutur Hanum.
ADVERTISEMENT
“Dengan fasilitas yang masih kurang, Indonesia masih banyak mengandalkan budget pemerintah. Mungkin Indonesia dapat meniru satu yang dilakukan India (dengan menerapkan) Public Private Partnership dalam bentuk tidak hanya dari infrastruktur, tetapi juga pemberian training untuk meningkatkan kualitas SDM,'' lanjut Hamu
Kerja sama dari pemerintah pusat dan daerah, menurut Hanum, juga harus melibatkan akademisi dan dari pihak swasta, sebab urusan kesehatan jiwa tidak hanya kuratif saja, tetapi juga termasuk promotif dan pencegahan (preventif). Di skala mikro, seperti di tingkat perusahaan, setelah sesi jam kerja, perusahaan dapat mengadakan, sharing session atau pembekalan yang dibantu oleh profesional di bidang kesehatan mental atau bekerja sama dengan wellness center. Menyediakan psikolog atau psikoterapis khusus bagi karyawan dapat menjadi opsi lain. Sudah banyak studi yang menunjukkan pengaruh kesehatan jiwa terhadap produktivitas pekerja.
ADVERTISEMENT
Kebijakan pemerintah yang ada saat ini, menurut Hanum, seperti BPJS Kesehatan sebenarnya juga telah menanggung pembiayaan penyakit terkait kesehatan mental. Namun sayangnya, tidak semua orang mengetahui perihal tersebut sehingga sosialisasi menjadi penting agar masyarakat mengetahui hal tersebut. Di samping itu, pemerintah melalui Kartu Prakerja juga terbukti telah dapat mengurangi rasa cemas karena dapat memberikan jaminan serta dapat menjadi salah satu coping mechanism kecemasan masyarakat, khususnya masyarakat usia produktif pencari kerja.
Terakhir, Hanum juga menyinggung dampak pandemi terhadap kesehatan mental para peserta didik yang menjalankan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Hasil studi LPEM menemukan bahwa salah satu yang menyebabkan PJJ tidak efektif adalah daya tangkap dan pemahaman pelajaran yang rendah. Hal tersebut ditambah adanya kekhawatiran orang tua bahwa anak akan rentan stress dan munculnya kecanduan anak terhadap gawai. “Mengubah kurikulum bukan solusi yang implementasi untuk saat ini tetapi mungkin bagaimana sekolah dan tenaga pendidik dapat menyiasatinya dengan menyesuaikan cara belajar mengajar (melalui) misalnya, lebih banyak praktik dengan material yang ada di rumah yang membuat anak bisa merasa fun atau di sela-sela pembelajaran (terdapat) ice breaking sehingga anak tidak terlalu terbebani” pungkas Hanum.
ADVERTISEMENT