LPEM FEB UI: Pemerintah Perlu Membangun Ketahanan Gelombang Kedua Pandemi

LPEM FEB UI
LPEM FEB UI adalah lembaga penelitian di bawah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia dan komunitas peneliti akademik terbesar di Universitas Indonesia.
Konten dari Pengguna
5 Agustus 2021 17:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari LPEM FEB UI tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
JAKARTA, 4 Agustus 2021, LPEM FEB UI telah melakukan konferensi pers “Indonesia Economic Outlook Q3 2021 dan Labor Market Brief” dalam rangka menyajikan hasil analisis Kelompok Kajian Makroekonomi dan Ekonomi Politik LPEM FEB UI. Analisis ini membahas perkembangan kondisi ekonomi dalam kuartal terakhir dan juga proyeksi kondisi perekonomian di kuartal selanjutnya, yaitu kuartal ke-3 2021. Kepala Kajian Makroekonomi dan Ekonomi Politik LPEM FEB UI, Jahen F. Rezki, menjabarkan paparan terkait Indonesia Economic Outlook Q3 2021 bersama dengan Teuku Riefky, Peneliti Makroekonomi LPEM FEB UI. Selain itu, Muhammad Hanri, Kepala Kajian Perlindungan Sosial dan Ketenagakerjaan LPEM FEB UI memaparkan analisa Labor Market Brief.
Press Conference: Indonesia Economic Outlook Q3-2021 | Sumber: LPEM FEB UI
Jahen memulai pemaparan dengan menyampaikan beberapa perkembangan perekonomian yang telah terjadi hingga Q2 2021. Ia menyampaikan bahwa Indonesia telah melalui empat kuartal dengan pertumbuhan ekonomi yang terkontraksi. LPEM FEB UI memproyeksikan Indonesia dapat keluar dari resesi. “Ada beberapa hal yang mendorong tercapainya kondisi ini, yaitu gencarnya vaksinasi yang juga menjadi strategi utama pemerintah, kasus COVID-19 yang relatif landai selama April-Mei, dan support dari pemerintah. Selain itu juga pengaruh dari low-base effect.” ujar Jahen. Selain itu, Jahen menambahkan bahwa Bulan Ramadan mendorong masyarakat untuk berbelanja di Q2 lalu dan juga relaksasi atas kebijakan restriksi mobilitas dan stimulus pemerintah.
ADVERTISEMENT
Jahen menambahkan bahwa Indonesia perlu bersiap-siap pada Q3 2021 karena pertumbuhan PDB akan mengalami penurunan secara substansial karena pemberlakuan PPKM Darurat. “Tapi hal itu (PPKM) perlu dilakukan agar dapat menekan jumlah kasus. Beberapa negara yang mampu menekan jumlah kasus, ekonomi mereka juga tumbuh lebih baik. Selain itu di Amerika juga pertumbuhan ekonomi lebih baik seiring dengan gencarnya vaksinasi.” tambah Jahen. Jahen menekankan bahwa kedepannya Pemerintah perlu senantiasa meningkatkan vaksinasi karena dengan capaian yang ada saat ini secara teori belum mampu memenuhi status kekebalan kelompok (herd immunity)
Mendorong Pelandaian Kurva Kasus
Riefky menyampaikan paparan dengan menunjukkan perkembangan indikator-indikator strategis di Q2 2021. Riefky menyampaikan bahwa jumlah kasus terkonfirmasi COVID-19 per sejuta penduduk di Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan beberapa negara lain termasuk Inggris Raya. Namun tingkat kematian per sejuta penduduk di Indonesia jauh lebih tinggi. “Hal ini mengindikasikan bahwa risiko kematian di Indonesia akibat COVID-19 relatif lebih tinggi dibandingkan dengan di Inggris. Ini bisa terjadi karena fasilitas kesehatan yang tidak mencukupi bersamaan dengan faktor lain seperti pasokan oksigen tidak mencukupi dan keterlambatan pengendalian gejala.” ujar Riefky.
ADVERTISEMENT
Seiring dengan hadirnya gelombang kedua COVID-19, Pemerintah Indonesia perlu mempercepat penanganan pandemi dengan mendorong kegiatan testing untuk mendiagnosis penyakit dan diiringi dengan tracing kontak pasien serta mengimplementasikan karantina wilayah yang lebih tegas. Hal ini mempertimbangkan fasilitas kesehatan Indonesia yang masih belum memadai, di mana pada 2020 Indonesia hanya memiliki 1,33 tempat tidur RS per 1000 orang - tingkat yang lebih rendah dibandingkan Tiongkok, Jepang, Inggris Raya, dan Turki.
Kebijakan Kesehatan adalah Kebijakan Ekonomi
Riefky melanjutkan pemaparan dengan menyampaikan adanya kekhawatiran pemangku kebijakan terkait dengan trade-off dalam mengutamakan kebijakan kesehatan dan ekonomi. Studi LPEM menunjukkan bahwa dalam periode satu tahun, negara-negara yang berhasil meminimalisir jumlah kematian juga mengalami kerugian ekonomi yang relatif sedikit. “Dengan melihat temuan tersebut, sejatinya kebijakan kesehatan adalah kebijakan ekonomi. Walaupun akan terjadi kontraksi ekonomi dalam jangka pendek, kita akan melihat pertumbuhan ekonomi yang lebih sustainable dan konsisten dalam jangka panjang.” menurut Riefky. Dalam menghadapi varian delta, Riefky menyarankan agar upaya-upaya dalam aspek kesehatan masih perlu diutamakan.
ADVERTISEMENT
Membangun Ketahanan
Kedepannya, Riefky memaparkan kebutuhan Indonesia untuk membangun ketahanan dalam menghadapi gelombang kedua pandemi. Ia menekankan bahwa asumsi-asumsi yang digunakan dalam mengukur kondisi perekonomian akan berubah secara dinamis seiring dengan perkembangan yang ada di lapangan-yang saat ini sangat dipengaruhi oleh bagaimana pemerintah dapat melakukan tindakan penekanan kasus COVID-19. “Dalam jangka pendek, fokus kita tidak ada hal lain selain membangun ketahanan dalam menghadapi gelombang kedua pandemi.” tegas Riefky. Beberapa tindakan yang dapat diupayakan adalah meningkatkan sistem pengawasan kasus aktif dan pemutakhiran pencatatan data, kegiatan testing dan tracing, mengupayakan program vaksinasi, memberlakukan pembatasan perjalanan dan aturan karantina yang jelas, serta meningkatkan infrastruktur kesehatan dan transportasi. “Memang hal ini merupakan hal yang relatif basic yang sudah berkali-kali disampaikan oleh ahli. Namun memang tidak ada rumusan yang lain dan memang (menjadi) hal yang harus dijalankan dalam mengatasi kondisi faskes yang juga sudah overloaded ini.” saran Riefky. Riefky mengakui bahwa berbagai peningkatan telah tercapai dari rekomendasi yang disampaikan, namun ia menegaskan bahwa dengan terbatasnya ruang fiskal yang dimiliki pemerintah saat ini, implementasi kegiatan-kegiatan yang telah dijalankan secara efektif mampu memberikan dampak yang lebih besar.
ADVERTISEMENT
Estimasi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
LPEM FEB UI memprediksi pertumbuhan ekonomi di Q2 2021 akan bertumbuh sebesar 6,4% yoy di mana secara interval akan bertumbuh diantara 6,2-6,7% yoy. Walau terdapat peningkatan kasus COVID-19, kegiatan ekonomi di Q2 2021 didukung oleh stimulus pemerintah, aspek musiman karena ada Bulan Ramadan dan Idul Fitri, dan pemberlakukan kebijakan restriksi. Selain itu, angka tersebut juga dipengaruhi oleh low-base effect di mana diketahui angka pertumbuhan PDB di Q2 2020 jauh lebih rendah. LPEM FEB UI menekankan bahwa proyeksi pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Q2 2021 ini secara bertahap akan turun di kuartal selanjutnya (Q3 2021) karena pemberlakuan PPKM Darurat. Namun, diestimasikan bahwa pertumbuhan pada Q3 2021 nanti masih berada dalam teritori positif dengan mempertimbangkan asumsi dan data yang dimiliki hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
Pekerja Informal Meningkat di Awal 2021
Selanjutnya, Hanri menyampaikan pemaparan mengenai kondisi ketenagakerjaan di Indonesia. Ia menyampaikan beberapa temuan dari hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS Februari 2021. “Sesuai dengan hasil-hasil studi yang telah ada, kondisi ketenagakerjaan pada saat krisis menunjukkan adanya peningkatan informalities, di mana ditunjukkan dengan menurunnya jumlah buruh/karyawan/pegawai pada Februari 2021 jika dibandingkan dengan Februari 2020.” kata Hanri. Secara umum, kelompok pekerja bebas di pertanian relatif tidak terlalu terpengaruh dibandingkan dengan pekerja bebas di sektor non-pertanian, terutama dengan mempertimbangkan rata-rata jam kerja per minggu dan rata-rata pendapatan bersih.
Dari segi sektoral, pekerja di industri non-manufaktur dan jasa, terutama pariwisata mengalami penurunan pendapatan bersih pada Februari 2021 dibandingkan dengan Februari 2020. Hal ini berimplikasi secara regional, di mana daerah-daerah dengan relasi kuat ke sektor jasa dan pariwisata mengalami penurunan pendapatan yang relatif tinggi seperti di NTB, Bali, dan DKI Jakarta. Di sisi lain, daerah dengan sektor yang didominasi oleh pertanian dan manufaktur masih memiliki tren positif dalam hal peningkatan pendapatan bersih seperti di Kepulauan Riau, Gorontalo, dan Jawa Timur.
ADVERTISEMENT
Tingkat Pengangguran Turun, Namun PPKM Darurat Berpotensi Meningkatkan Angka PHK
Tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Februari 2021 turun 0,81 persen menjadi 6,26 persen dibandingkan dengan TPT di Agustus 2020 (7,07 persen). TPT pada pekerja laki-laki relatif lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan pada Februari 2021 dan pengangguran masih banyak ditemukan di daerah perkotaan dibandingkan dengan pedesaan.
Dalam mengukur dampak PPKM Darurat dan Level 3 dan 4 terhadap sektor ketenagakerjaan, studi yang dilakukan LPEM memperkirakan bahwa terdapat sekitar 63 ribu orang yang bekerja di bioskop dan 3,3 juta pekerja di mall/ruko yang terdampak pemberlakuan kebijakan tersebut. Pekerja-pekerja tersebut diperkirakan merupakan pekerja dengan pendapatan menengah ke bawah dan kelompok rentan dengan upah/gaji harian. Dominasi pekerja terdampak diestimasikan adalah laki-laki dan berlokasi di Jabodetabek dan Bandung. Hanri menegaskan bahwa walaupun relatif kecil jika dibandingkan dengan angkatan kerja yang Indonesia miliki, namun orang yang terdampak relatif lebih rapuh dan mengalami disrupsi dalam memenuhi kebutuhan kehidupannya. “Tentunya hal ini masih abu-abu, dengan ketersediaan data (aktual) yang terbatas kita tidak bisa secara spesifik menghitung jumlah orang yang bekerja di subsektor lebih spesifik seperti restoran dan lainnya” ujar Hanri.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, Hanri menyampaikan bahwa tenaga kerja yang terdampak PPKM Darurat merupakan pekerja dengan kategori low-skilled white collar dan blue-collar worker. “Setidaknya sekitar 90,47% orang yang terdampak tidak memiliki kontrak kerja yang memiliki kekuatan yang sama besarnya dengan 10-an persen yang lain misalnya seperti manajer” tambah Hanri. Hal ini dapat berimplikasi pada kerentanan mereka dalam menghadapi pemotongan upah dan pemutusan hubungan kerja seiring dengan pembatasan aktivitas usaha. Hanri menambahkan bahwa kurang dari 1 persen dari tenaga kerja terdampak ini yang dapat mengakses bantuan program Kartu Pra Kerja. “Utamanya bantuan yang diperlukan bagi tenaga kerja terdampak adalah fresh money dalam bentuk BLT dan bantuan pemerintah tanpa syarat lainnya di mana itu semua dibutuhkan untuk membayar tagihan bulanan.” tambah Hanri.
ADVERTISEMENT
Subsidi Gaji dan Jaminan Kehilangan Pekerja sebagai Perlindungan untuk Pekerja
Pemerintah telah menggulirkan beberapa jenis program selama 2021. Pertama adalah Subsidi Upah sebesar Rp500.000 per bulan selama dua bulan per orang dengan upah dibawah Rp3,5 juta. “Dari 30,5 juta peserta aktif BP Jamsostek, hanya 8,7 juta yang diperkirakan eligible untuk mendapatkan subsidi upah ini.” menurut Hanri. Dengan subsidi upah tersebut, diharapkan penerima dapat melakukan penyesuaian konsumsi. “Studi LPEM di 2020 dengan BKF menunjukkan bahwa rata-rata pengeluaran rumah tangga pekerja penerima upah bulanan adalah Rp 1-5 juta per bulan, sehingga diharapkan subsidi upah dapat membantu penerima melakukan consumption smoothing.” tambah Hanri. Selain itu, terdapat juga program jaminan kehilangan pekerjaan di mana penerima yang mengalami PHK mendapat uang tunai selama 6 bulan.
ADVERTISEMENT
Kendala Menargetkan Penerima Bantuan
Dengan adanya pandemi COVID-19, terdapat perubahan lanskap komposisi status pekerjaan, di mana terdapat peningkatan jumlah pekerja yang berusaha sendiri, pekerja yang dibantu buruh tidak tetap/buruh tidak dibayar, dan pekerja keluarga. “Orang-orang yang tadinya bekerja, karena dampak pandemi, tumbuh menjadi entrepreneur baru, dan mulai membuka usaha mikro. Di sisi lain, pemerintah telah menetapkan bantuan untuk UMKM dalam alokasi Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar Rp184,83 Triliun. Pemerintah diharapkan dapat memperhatikan perubahan komposisi status tenaga kerja ini, karena dikhawatirkan entrepreneur baru ini belum tercatat sebagai penerima.”
Dukungan dalam Menekan TPT Agustus 2021
Kedepannya, TPT pada Agustus 2021 sangat dipengaruhi oleh pemberlakuan PPKM Darurat dan adanya PEN belum dapat memberikan pengaruh langsung. “Kemungkinan masih akan terjadi peningkatan pengangguran karena PPKM masih sangat baru diterapkan, dan PEN masih belum bisa kick in atau memberikan jump-start pelaku usaha sebagai pemberi kerja.“ menurut Hanri. Namun ia tetap optimis bahwa faktor dukungan pemerintah berperan besar dalam menekan TPT agar tidak mencatatkan tingkat pengangguran yang lebih tinggi. “Realisasi PEN untuk insentif usaha yang baik akan melindungi sisi permintaan tenaga kerja, sehingga diharapkan dapat mendorong meredam angka pengangguran. Meskipun demikian, kami perkirakan TPT di Agustus 2021 akan kembali naik, namun tidak akan jauh lebih tinggi dari 7 persen, dengan syarat bahwa realisasi stimulus PEN terus berjalan dengan baik.” tutup Hanri.
ADVERTISEMENT